EMPAT BELAS

59 8 2
                                    

Sudah dua hari lamanya sejak terakhir kali aku melihat matahari, namun mendung putih itu tak juga menghilang. Jutaan manik air itu turun tanpa henti membasahi semua yang ada di atas bumi. Perbukitan ini semakin suram bahkan kabut putih ini tak juga menghilang. Jalanan aspal yang licin memaksa Bayu mengemudi dengan hati-hati, hingga tugu putih itu kembali terlihat dan juga dua beringin yang mengapit jalan masuk Desa Menanga.

Dari jendela mobil yang basah, di ujung jalan belasan warga desa berkumpul di depan rumah. Beberapa dari mereka memakai jas hujan sedangkan beberapa pria tersisa berlindung dibawah naungan payung hitam. Wajah -wajah cemas itu saling bicara.

Seketika pandanganku beralih pada si gempal yang langsung mengangkat bahu dari belakang kemudi. Mobil akhirnya sampai menarik atensi keramaian. Seorang pria jangkung bergegas menghampiriku yang baru saja menutup pintu mobil.

Sedikit berlari aku menghindari curah hujan dan berhasil sampai di teras meskipun dengan bahu dan punggung yang basah. Si gempal menyusul di belakang.

"Pak! Gimana ini? Semuanya rusak!" Aku mengernyit pada Hartono yang bicara tergesa sembari mengekorku. Saat melihat engsel pintu yang jebol, aku langsung paham maksudnya.

Tepat di tengah ruang tamu seorang pemuda menunduk, memungut lembaran kertas yang berserakan satu persatu. Dadaku seketika bergemuruh, di sudut ruangan beberapa laptop kami tergeletak di lantai dengan layar yang retak, milikku bahkan terbagi menjadi dua bagian. Radio HT itu pun tak luput dari kerusakan, berhamburan di semua penjuru.

Bangsat! Aku sumpah serapah bukan karena kerugian tapi karena hasil kerja kami semuanya hilang. Sialnya lagi, aku belum sempat membuat cadangan data. Harapanku hanya satu, hardisk itu bisa kami pulihkan.

"Begitu kami kembali dari rumah sakit, semuanya sudah hancur Pak." Yudi bicara tanpa menoleh sedikitpun, tangannya masih sibuk memungut lembaran kertas di lantai.

"Bangsat!" Bayu mengumpat sedangkan Hartono hanya pasrah, pemuda itu duduk bersandar di dinding teras lalu terduduk lemas. Padahal hatiku masih terasa pegal tapi sepertinya Tuhan enggan memberikan waktu untukku bernapas. Keparat mana yang berani melakukannya?

Tatapanku beralih pada kerumunan yang segera menunduk, menyangkal jika mereka bukan pelakunya tapi sikap para pria ini justru membuatku meradang. Sungguh! Aku tak berniat menunduh tapi setidaknya bicaralah bukannya diam seperti ini. Jika menatapku saja kalian tak berdaya apalagi melawan mereka - pengikut sekte gila yang bahkan tega membunuh sesamanya. Sialnya lagi aku harus melindungi mereka? orang-orang pengecut ini, yang benar saja! Dadaku terbakar amarah.

Sedetik sebelum aku meledak seseorang pria tua berpakaian hitam menyibak kerumunan lalu bergegas menuntunku masuk ke dalam. "Mrene le!" Bisik Paklek Hari sembari mengait lenganku.

Di ruang tengah Ujang berdiri sambil sedikit merunduk. Memeriksa theodolite yang sudah tak berbentuk, pemuda itu berkali-kali menghela napasnya, menyadari jika benda itu sudah tak bisa diperbaiki, salah satu penyangga itu bahkan patah.

Paklek Hari mengarahkanku masuk ke dalam kamar dan bergegas menutup pintunya rapat-rapat. Ruangan ini pun tak jauh berbeda bahkan tumpukan pakaianku sudah berhamburan di lantai.

"Le, sebaiknya kalian cepat pergi!" Bisiknya.

Beberapa kali ekor matanya melirik pada jendela yang terbuka, suaranya yang lirih bersahutan dengan derai hujan. Tentu saja aku menggeleng. "Pergi? Ndak akan Paklek, Yayang dan Kamal belum saya temukan. Sekalipun cuma mayatnya, saya harus membawa mereka pulang." Bisikku tegas.

"Tapi le, kita ndak tahu siapa dalang semua ini." Pria ini masih terus bersikeras dengan suara lirihnya.

"Justru itu kita harus mulai bergerak!" Tegasku lagi namun kakek ini kembali menggeleng.

RAHASIA MAMAK (HIATUS) T_TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang