TUJUH

57 10 0
                                    

Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam, dengan cepat kami memutuskan untuk kembali. Ujang sudah bangkit untuk membayar tagihan namun aku sudah mendahuluinya menuju kasir. Dasar apes, gadis itu duduk sambil merebahkan kepalanya di atas meja.

"Mbak, maaf mau bayar." Gadis itu masih bergeming, mungkin dia sudah tertidur. Akhirnya aku memutuskan untuk meletakkan uang saja namun dia sudah keburu mengangkat wajahnya. Guratan meja tercetak di pipinya yang basah. Aku sontak tertawa dan gadis itu segera menyadari kekacauan wajahnya.

Dengan cepat dia mengusap air liurnya lalu menyalak. "Om sih kelamaan ngopi, gue udah ngantuk tapi masih dipaksa nunguin. Mana uangnya? Kita udah mau tutup tahu." Galaknya!

"Maaf Mbak, ini nggih."

Gadis itu menerima dengan kasar, mencari kembalian dengan cepat lalu menyodorkannya. "Ini!" Ketusnya lagi.

"Matur suwun nggih."

"Matur suwun tuh apaan?"

"Terima kasih Mbak'e."

"Oh, Eh! Jangan panggil gue Mbak. Gua bukan mbak-mbak."

"Lah, terus?"

"Ratna, panggil gue Ratna."

"Nggih Mbak Ratna, eh salah Ratna." Gadis itu kembali memelotot dengan mata merahnya.

"Iya, udah sana pergi!" Ketusnya untuk kesekian kali.

"Walah, judesnya."

"Biarin! lagian sama om-om gak boleh ramah-ramah nanti gue dikira godain suami orang lagi! Udah sono pergi!"

Seketika aku seperti bernostalgia, tatapan galaknya juga wajah merengut itu hampir sama. Sedikit kehangatan meresap dalam dada. Ah, biarpun dimarah setiap hari aku rela.

Kami kembali ke arah desa, jalanan ini lengang dengan kabut yang semakin pekat. Kami sudah berbelok dan sorot lampu mobil membiaskan dua beringin raksasa yang berdiri mengapit jalan. Mungkin karena ini sudah tengah malam ditambah hujan gerimis suasana menjadi singup. Otakku langsung berkhayal jika ada sesosok wanita bergaun putih yang duduk di salah satu dahan sambil mengayunkan kedua kakinya.

Mobil terus maju hingga tiba-tiba head unit dashborad mobil menyala, suara gemeresak mengejutkan kami bertiga. Tanpa jeda aku langsung menekal tombol daya, suasana kembali senyap namun itu hanya sesaat. Sayup suara meringkik menggema di kegelapan. Awalnya lirih tapi semakin lama berubah menjadi derai tawa yang lantang. Seakan berputar-putar di sekeliling kami. Ketakutanku datang. Jangan-jangan?

Aku hanya berdoa jika itu hanya ketakutanku saja. Tapi Ujang yang panik segera berkata, "Opo iku?" Menyadarkanku jika bukan hanya aku yang mendengarnya.

"Diem aja bisa nggak!" Yayang segera menegurnya dari kaca tengah juga bias lampu jalan aku bisa melihat pemuda itu mengangguk memintaku bersiap, seakan tahu jika sesuatu akan terjadi.

Benar saja, tepat saat kami berada di bawah naungan pohon beringin, hanya sepersekian mili detik setelah mataku menatap lurus seseorang atau sesuatu jatuh dari atas menghantam kap mesin mobil lalu berguling jatuh ke depan. Berbaju putih juga berambut panjang. 

Sial! Khayalanku jadi kenyataan. 

"Allahuakbar!" Jeritan Ujang justru membuat suasana semakin menegangkan.

Aku bersiap seandainya saja sosok itu muncul dari arah depan, dari kaca tengah aku melihat Yayang memeriksa ke arah belakang sedangkan ujang menoleh ke samping, hanya sekian detik tubuh Ujang bergetar hebat. Sontak saja sikapnya yang aneh membuatku segera beralih menatap arah yang sama.

Tepat di samping batang beringin yang besar dalam samar kabut juga rintik hujan, wanita hitam itu melayang begitu juga rambutnya yang panjang.

"Kamu kenapa Jang?" Yayang menepuk bahunya sekuat mungkin tapi Ujang hanya tergagap sambil menunjuk ke arah luar.

"Iku ... Iku ...."

"iku-iku? Apaan?" Yayang tak sabar menatap arah telunjuk Ujang namun wanita itu sudah tak ada di sana. Aku bergegas menginjak gas tapi sial, sungguh sial. Sosok wanita itu muncul dari atas mobil dengan kepala terbalik membuat Ujang histeris.

Wanita itu menyeringai sambil mengikik lantang dan tangannya yang membusuk merayap-rayap di kaca mobil lalu menggedornya sekuat mungkin. Teriakan Ujang semakin menjadi bersahutan dengan lengkingan wanita yang meringis menikmati ketakutan kami.

"Amba orak bakal iso nutupi awakmu meneh. KUE IKU ANAKKU!" Jertinya parau, darah hitam itu mengalir membasahi wajahnya. Seperti dihipnotis aku membeku dan menatap lekat wajahnya yang pucat dengan jarak yang sangat dekat.

"PAK GAS! PAK!" Jeritan Yayang menyadarkanku seketika.

Secepat kilat mobil melaju dari kaca tengah aku melihat wanita itu melayang ke atas lalu menghilang di dalam kabut. Ujang masih terus bertakbir sedangkan mobil terus menghantam lubang membuat kami terguncang-guncang.

Hingga kami sampai di halaman rumah, pintu dan jendela itu sudah tertutup rapat. Tanpa banyak bicara kami bergegas masuk, beruntung pintu itu tidak terkunci. Di ruang tengah Hartono masih terjaga, menunggu kami kembali. Pria itu asik memainkan gawainya.

"Piye Jang, sudah kenyang?" Kelakar Hartono tak dijawab, pemuda itu masih pucat dan segera merebahkan diri diatas kasur lalu meringkuk dalam sarungnya, sedangkan Yayang segera mengait tanganku ke arah kamar.

"Pak saya mau bicara," tegasnya.

Sedetik setelah Yayang menutup pintu dengan suara lirih dia mulai buka suara. "Pak sebelumnya saya minta maaf tapi demi keselamatan Bapak saya harus bilang sekarang juga."

Yayang menarik napas menyiapkan diri sebelum melanjutkan ucapannya, "Sehari sebelum Bapak dan Pak Bayu sampai, saya memang bertemu dengan sosok anak-anak di waduk. Mereka mengatakan Pancer berulang-ulang."

Aku masih diam menyimak semua ucapan Yayang, pemuda itu bicara semakin lirih. "Pak, keluarga Pandawa itu punya lima anak lelaki, sedangkan sosok anak-anak itu hanya ada empat."

Yayang berusaha menjelaskan semudah mungkin. "Terus?" Tanyaku perlahan.

"Pancer itu artinya menungso atau wadah atau bisa juga ... yang utama. Semalam saya mimpi Bapak memotong tangan sendiri, itu pertanda buruk Pak. Jadi kalau ada apa-apa tolong cerita sama saya. Meski pengetahuan saya ini masih seujung kuku setidaknya saya gak mau Pak Cahyo kenapa-napa." Tegas pemuda itu sekali lagi.

"Eh, maksudmu opo to?" Aku semakin tak mengerti arah pembicaraan Yayang namun pemuda ini segera menjelaskan.

"Ah itu, sebenarnya dari kecil saya sudah peka Pak, jadi saya sudah biasa dengan hal seperti ini. Satu lagi yang harus saya sampaikan sama Bapak. Aura perlindungan Bapak sudah sedikit pudar."

"Opo meneh toh Yayang? Aku nambah bingung iki." Jujurku begitu saja.

"Sejak pertama bertemu saya sudah tahu kalau ada seseorang yang melindungi Bapak. Waktu itu saya gak tahu tujuannya tapi sekarang saya paham, sosok wanita hitam yang kita temui itu jawabannya, mungkin Pak cahyo kenal atau tahu sesuatu dengan kata-kata amba?"

Seketika Yayang menyadarkanku tapi mungkinkah?

"Pak?" Yayang menyadarkanku, meski berat dan penuh keraguan aku mengatakannya.

"Nama lengkap Mamak itu Ambara, tapi ndak mungkinlah?"

"Pak, bisa saja Mamak punya suatu rahasia yang dia simpan. Setidaknya Bapak harus cari tahu, firasat saya ndak mungkin salah, mimpi motong tangan sendiri itu firasat buruk Pak."

Sepanjang malam aku tertegun dan tak bisa memejamkan mata barang sedetikpun. Mungkinkan ucapan Yayang benar jika ada sesuatu yang Mamak sembunyikan. Apakah kecelakaan itu hanya alasan saja. Tapi kenapa dan untuk apa?

Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika selama ini Mamak menyembunyikan sesuatu, tentang jati diriku? Tapi mungkinkah aku akan mendapatkan jawabannya di sini, sosok ayah?

Aku hanya menghela dan untuk kesekian kalinya bergerak berulang kali di atas ranjang. Wajah keempat anak itu kembali teringat, tapi satu hal yang mengusikku jika benar keempatnya meninggal bersamaan dengan sang ibu kenapa sosok mereka tak pernah terlihat bersama?

Wanita hitam itu benarkah dia ibuku seperti ucapannya? Lalu Mamak, dia siapa? 

RAHASIA MAMAK (HIATUS) T_TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang