ENAM

64 8 0
                                    

Hujan berderai jatuh di atap genting, berirama dengan gemuruh guntur yang bersahutan. Di luar kabut turun semakin tebal, sembari melingkar dalam sarung kami berkumpul di ruang tamu dengan laptop yang menyala juga lembar kertas yang berserakan.

Meneruskan pekerjaan membuat rencana kertas kerja sambil ditemani kopi hitam yang tinggal separuh tak lupa kacang kulit dan beberapa biskuit untuk menolak kantuk.

Di kursi tamu, Hartono dan Kamal duduk berdampingan menghadap layar laptop yang menyala. Keduanya sesekali melirik buku catatan milikku, menyalin rencana penanganan yang sudah aku siapkan.

"Har, teknis pasangan talud Ikak ni pakai Cofferdam Double Wall bae ...." Bayu menunjuk pada monitor.

"Mahal Bay! Pakai single ae!" Ucapku cepat pun tanpa menoleh, selepas isya aku sudah sibuk membuat kertas kerja di program Autocad. Jika mengikuti masukan Bayu artinya aku harus mengulang, padahal sudah separuh jalan.

Tapi pria tambun itu menjawab dengan mudahnya. "Mintanya begitu Yo." Kami langsung beradu pandang dan sungguh, Bayu tak menyukai keputusanku.

Ah, dia mulai lagi! "Bay, aku udah buat draft gambar kerjanya! Ini lihat ..." Aku memutar layar pada ketiga pria di meja tamu, di sudut ruangan Ujang dan Yudi juga ikut menyimak.

"Selain diperbaiki pasangan talud ini juga harus naik, kenapa? Karena lerengnya ndak kita timbun. Taludnya kita buat bertingkat, lagian kalau mau pakai Cofferdam double wall nanti dikira kita ndak bisa kerja. Ini kan bukan sungai deras!"

Hartono segera mengangguk setuju begitu juga tiga orang sisanya kecuali Kamal dan Bayu tentu saja. Pria gempal itu menatap sengit, aku tahu jika terkadang kami tak satu suara tapi ini demi kebaikan tim.

Aku menghela napas lalu mendekat pada Bayu, mengait tangan gempalnya dan menuntun pria itu menuju teras. "Yo! Cak mano? Aku sudah sanggupin dari awal." Dengan suara rendah Bayu kembali bersikeras.

"Bay, awakmu kepiye sih? Ndak usah ikut-ikut urusan mereka. Kalau ketahuan kita bisa di blacklist kementrian." Meski merendahkan suara, aku tak bisa menahan emosiku yang merambat naik. "Ngopo awakmu ndak bilang dulu ke aku?" Sesalku lagi.

"Kau kan idak bakalan setuju."

"Nah awakmu wes weruh ngopo malah bablas Bay? Kita kerja bukan buat mereka. Ngerti!"

"Tapi Yo, kita biso nitip anggaran-"

"Bayu! Cukup, aku ngerti kalau awakmu butuh uang tapi ndak gini caranya! Sebelum setor ke PPK kerjaan kasih aku dulu. TITIK!"

Pria gempal di hadapanku ini membisu dengan tatapan yang tak menyenangkan. Aku menghela napas, menguasai diri karena amarahku semakin membesar. "Bay, awakmu ngerti ora talud itu longsor bukan karena hujan tapi human eror!"

Si gempal memelotot tak percaya, "Ai kau ini ngawur bae!"

"Kamu pikir aku ndak bisa bedain longsor karena hujan sama gagal talud? Pohonnya masih banyak Bay. Anak kecil aja tahu, itu dirusak Bay, cuma satu yang masih ngeganjel, kenapa dan siapa?"

Bayu menunduk, pandangannya berubah. Sekian tahun bekerja denganku membuat Bayu paham jika aku tak akan mengalah untuk hal seperti ini. Bukan menolak uang atau berlagak sok suci, tapi aku tak ingin masuk dalam lingkaran setan.

Sekali saja berkecimpung sudah bisa dipastikan kami tak akan bisa keluar dan selamanya menjadi budak mereka. Lintah-lintah yang mengeruk uang rakyat.

Aku kembali masuk ke dalam, pandangan keempat pemuda itu langsung menunduk kecuali Kamal. Entah kenapa sejak malam itu, sosoknya terasa berbeda. Kamal berubah dingin dan penuh kebencian entah pada siapa, sedangkan Yayang dan Yudi saling melirik memberikan kode. 

RAHASIA MAMAK (HIATUS) T_TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang