DELAPAN

60 10 1
                                    

Sudah semalaman aku penat karena prasangka hatiku yang semakin menjadi, seluruh pertanyaan bagaimana, apa dan kenapa memenuhi kepalaku. Dadaku sesak memikirkan kemungkinan yang paling buruk, bagaimana jika ucapan kuntilanak itu benar?

Bagaimana jika selama ini Mamak mendustaiku, artinya semua itu ... Bohong?

Ngak Mungkin! Mamak tak akan melakukannya, semua itu pasti cuma pikiran burukku saja. Lagi pula hanya orang bodoh yang percaya dengan ucapan setan. Mereka itu pendusta tapi, jika aku pikir lagi ucapan Yayang memang ada benarnya, apa aku harus mengatakan tentang temuanku tadi siang juga tingkah Kamal?

Juga Pancer, entah kenapa kata-kata itu tak asing. Tidak bukan hanya itu tapi juga seluruh tempat ini, pohon beringin, waduk, semuanya!

Argh! Kepalaku berdenyut.

Aku meneguhkan tekad pekerjaan ini harus cepat selesai, paling lambat lusa aku harus sudah menyetornya pada PPK. Aku juga cemas dengan Mamak meskipun Mba Ning memberi kabar jika keadaannya sudah lebih baik.

Besok aku tinggal menemui Mas Tarjo juga Pak Sartiman tapi jika pekerjaan ini cepat selesai artinya aku tak akan bertemu dengannya lagi. Ratna! 

Ealah, isi otakku malah kemana-mana. Bodoh! Sadarlah Cahyo, dia gak akan mau dengan bujang tua sepertimu. Tegasku seperti orang bodoh.

Aku kembali memejamkan mata, sepertinya kali ini berhasil. Aku mulai terayun dalam kegelapan lalu sayup suara tawa anak-anak menyambutku.

Saat aku membuka mata, pandanganku terkunci pada dua anak laki-laki yang berkejaran memutari pagar bambu sembari berceloteh riang, kaki-kaki kecil itu menginjak tanah hitam menghamburkan debu.

Seorang yang lebih besar menggenggam sebuah pisang mengangkat tinggi-tinggi lalu meledek sang adik. "Ayo! Dek kejar Mamas," ucapnya dengan celat lalu tertawa-tawa.

"Mas Angga, iku pisang'e Putra, balikno!" Rengek lawan bicaranya sambil melompat-lompat tapi bukannya iba, Angga justru semakin senang meledek. Aku seperti menonton sebuah pertunjukkan hingga tanpa sadar seulas senyum terukir di wajahku.

Sebersit perasaan hangat merambat naik hingga seorang anak laki-laki yang lain keluar dari dalam rumah sembari membawa buku tulis dengan bibir yang tertekuk. "Kang, tulisan Ari apik orak?" Ucapnya memelas sembari menunjukkan hasil kerjanya.

Begitu melihat lengkungan garis buatannya aku langsung tertawa, terang saja anak dihadapaku ini merengut. Bagaimana tidak, tulisan tangannya sungguh buruk bahkan aku sampai kesulitan.

"Iki huruf O opo A?" Aku bicara begitu saja, seakan menjadi bagian dari mereka, aneh!

Anak laki-laki dihadapanku segera menarik bukunya melihat sesaat dan menjawab, "Iki huruf A kang."

"Tapi bentuk'e koyo huruf O, mrene Kakang ajari ... " Sambil tertawa aku meraih pensil dari tangannya, memberikan contoh sambil menerangkan, "Huruf A awale iku lengkung dulu baru garis lurus dan ekornya, begini ... Nah coba ulangi?" Sekali lagi aku bicara begitu saja dan tubuhku pun bergerak sendiri. 

Anak laki-laki di depanku melihat dengan tekun, mengikuti arahanku sedikit demi sedikit . Meski masih kaku tulisannya kini jadi lebih baik. "Nah iku lumayan," ucapku sambil mengusap kepalanya, membuat Ari tertawa memperlihatkan giginya yang gigis. 

"Iyo Kang, suwun." Ujarnya tulus.

"Nggih-"

Belum juga aku selesai bicara, seorang pria mendehem, keluar dari dalam rumah. Memakai sarung kota-kotak cokelat juga kemeja putih lengan pendek, mendekat padaku juga Ari lalu ikut duduk di atas bale bambu. Bunyi derik kayu dan bambu berdecit menopang berat tubuh kami bertiga. 

Rahang pria ini keras dengan garis wajah yang tegas seketika gemuruh kerinduan menghantamku. "Piye sekolahe Le?" Suaranya berat, sikapnya tenang seperti air yang dalam, menatap kami bergantian. Luapan kerinduan menerpa dadaku. Siapa laki-laki ini?

"Apik Pak," Jawab Ari takzim.

Bapak? Pria ini ... Ayahku?

"Hm, pinter anak Bapak." Dua telapak tangannya yang kasar mengusap kepala kami, meski begitu rasanya sungguh lembut dan hangat juga kuat seakan berkata 'aku akan melindungi kalian semua.' 

Aku mulai menimatinya, meskipun ini hanya mimpi setidaknya aku punya seorang ayah. 

Sampai tangisan bocah di halaman menarik perhatian kami bertiga, rupanya Putra jatuh tersandung karena terus mengejar Angga. Secepatnya anak itu berlari mendekat sambil mengusap wajahnya yang basah. "Mamas Angga nakal, pisangku di rebut Pak," rengeknya manja.

"Owalah Le, lah di dalem aja banyak ngopo ngikutin Mamas Angga, wes cup meneng." Dengan lembut pria ini menyambut lalu mamangku tubuhnya yang mungil, mengusap air mata itu dengan tangannya yang lebar dan hangat, sedangkan Angga mendekat takut-takut karena merasa bersalah. Wajahnya menunduk hingga ucapan Bapak membuatnya tersenyum lega.

"Rene Le, Bapak ndak marah tapi adine jangan diledekin lagi, mesakno yo?"

"Enggih Pak." Angga yang semringah mendekat lalu duduk menyela jarakku dan Bapak.

"Kakang Cahyo geser," usirnya dengan suara yang celat.

"Ealah dateng-dateng nyerobot aja." Aku langsung protes sambil merengut sedangkan Bapak justru tertawa membuat hatiku terasa hangat.  

"Ngalah Le sama adiknya."

"Ish, Bapak ini semua dibelain cuma Cahyo yang diomelin." Protesku lagi.

"Yo orak toh le Bapak ya sayang sama semuanya."

"Sama Ibuk juga?" Sahut Angga.

"Iya, sama Ibuk apalagi."

"Sama Adik Teguh?" Ari tak mau kalah.

"Ya semuanya anak Bapak jadi sing pinter kabeh yo Le?"

"Enggih Pak." Kami menjawab serempak tanpa komando membuat Bapak tertawa lalu mengecup kepala anaknya satu persatu.

Kami masih bicara saling meledek saat seseorang datang mendekat. Garis wajahnya, meski samar aku masih mengenalinya tapi mungkinkah?

Tak butuh waktu lama pertanyaanku langsung terjawab saat Bapak menyebut namanya, "Nah saiki mlebu kabeh yo? Ono Lek Sartiman."

Kami menurut dan sesekali aku menoleh pada pria kurus juga tegap yang sudah duduk di samping Bapak. Dari dekat pintu aku nekat menguping, meski lirih aku bisa mendengar keduanya berbisik tentang pancer juga ruwatan. 

"Jadi kapan acarane Kang?" Pak Sartiman muda berbisik selirih mungkin.

"Aku wes nyiapno sak kabehane tapi ... Aku malah duwe firasat elek Man."

"Firasat?"

"Aku mimpi tanganku buntung,"

"Astaghfirulloh."

"Aku percoyo karo awakmu Man jadi gak mungkin kue berkhianat karo aku mung nak sing sijine mungkin ae."

"Tapi Kang-"

"Ngak ono waktu meneh Man ... Dewe kudu cepet nyiapno Pancer, aku yakin Cahyo juga wes siap."

"Yo uwes kang, terus iki masalah pemilihan kades?"

Aku masih terus berusaha mendengarkan ucapan keduanya hingga suara itu berbisik tepat ditelingaku.

"Tak lelo, lelo ledung ... Anak lanangku sing gede dewe wes mulih nang omah ramane ... "

Tubuhku langsung kaku apalagi tangan busuk itu kini membelai wajahku perlahan-lahan, dingin, anyir dan lengket.

"Cahyo akhire kue mulih le." Bisiknya tepat ditelingaku. Ketakutan hebat, aku berteriak memanggil Bapak sekuatnya, namun sayang kedua pria itu tak mendengarnya.

Sekian detik, tubuhku ditarik kebelakang lalu jatuh dalam kegelapan bersamaan dengan bunyi gemuruh air. Aku menggapai -gapai mencoba meraih apapun namun nihil aku tenggelam semakin dalam. Rasanya dingin ... Sesak ... Aku tak bisa bernapas.

Air masuk lewat hidung juga mulutku. Pedas, dadaku sakit seperti dihimpit, aku tenggelam semakin dalam. Tubuhku mulai lemas dan kesadaranku mulai menghilang.

Apakah aku akan mati di sini? Apakah ini bukan mimpi?

RAHASIA MAMAK (HIATUS) T_TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang