Suaranya dari ujung kebun yang paling gelap dan kabut ini memaksaku mengernyit. Dalam kegelapan sesuatu bergerak-gerak di antara rimbun batang pohon pisang.
Kucing? Tidak, dia terlalu besar, Anjing? Masih kurang besar.
Tunggu apa itu punggung? Eh, anak kecil rupanya, tapi Malam-malam begini?
Sosok itu berjongkok dalam kegelapan, memunggungiku sambil terus menangis, bahunya berguncang-guncang. Mungkin saja dia minggat karena diomeli ibunya? Tapi Nyalinya boleh juga, menangis sendirian di tengah kebun dan ini sudah hampir larut malam!
Sedetik sebelum aku menegurnya tiba-tiba anak itu bangkit perlahan sembari menggedek-gedek, tulang lehernya bergemeretak ngilu dan perlahan dia menoleh dengan gerakan yang ganjil. Aku bergegas pergi tapi kekuatan yang tak terlihat menahan tubuhku , memaksaku melihat bagaimana ngilu dan ngerinya saat kepala itu berputar perlahan-lahan.
Satu hentakan keras dan kepala itu terlepas lalu menggelinding tepat di bawah kakiku.
"KANG? TOLONG ARI KANG!" Jeritnya sambil memelotot dengan bola matanya yang putih, wajah pucatnyameringis.
Sepersekian detik himpitan itu menghilang. Aku bergegas pergi dan dia terus memanggilku."KANG, TOLONG!" Teriaknya.
Aku berlari menerobos kabut dan sepanjang jalan suaranya menggema dalam kepala, hingga tepat di depan teras rumah tak sengaja aku menabrak seseorang. Tak ayal, kami berdua terhempas di atas lantai.
"ASU!" Umpatnya. "Eh, amit Pak Cahyo sampeyan ngak opo-opo?" Yudi langsung menarik makiannya dan bergegas membantuku berdiri.
"Ngak opo-opo Yud." Tentu saja aku berdusta, bisa-bisa aku ditertawakan kalau bicara yang sebenarnya. Astaga! Cahyo kau sudah tua tapi justru ketakutan. Benar-benar payah! Aku menertawakan diri sendiri.
"Eh? Sakite nemen tah Pak?" Yudi semakin khawatir, mungkin dia tak mengira jika reaksiku berbanding terbalik dari perkiraannya.
"Ngak kok! Wes ayok makan." Aku bergegas menarik Yudi masuk ke dalam rumah lalu menutup kasar pintu ruang tamu.
Malam sudah larut, aku sudah berusaha untuk tidur tapi bayangan sosok anak tadi tak juga pergi dari benakku. "Kakang?" Aku menggumam sendiri.
Mana mungkin! Aku kan anak tunggal, memangnya demit itu suka ngasal?
Ah, sudah lah, ngapain juga aku mikir begituan lebih baik cepat tidur. Apa wudhu dulu ya biar sedikit tenang, tapi artinya harus keluar rumah. Kalau ketemu lagi gimana? Aku jadi bimbang.
Walah Cahyo, sudah tua begini dasar pengecut! Batinku marah-marah, menekan ketakutanku yang sungguh tak berguna.
Ruang tengah itu redup, siluet tubuh Yudi dan Yayang meringkuk dalam sarung di atas kasur kapuk. Keduanya sudah nyenyak di saksikan televisi yang menyala. Namun layar datar itu hanya menampilkan jutaan semut hitam putih juga suara gemeresak menandakan waktu sudah lewat tengah malam.
Aku membuka pintu dapur perlahan-lahan, namun kuncinya sudah terbuka membuatku sedikit khawatir. Siapa yang keluar malam-malam begini?
"Yo ngih Pak."
Suara ini ? Ah, Kamal rupanya.
Aku bergegas mendorong pintu namun ucapan Kamal membuatku berhenti seketika. "Yah buktinya ndak kita ndak pernah kebongkar kan? Tenang ae, kali ini pasti beres!"
Kebongkar? Apanya? Aku menjulurkan kepala, memastikan dan benar, dia Kamal.
Di teras pria itu terus bicara dengan seseorang di seberang sambungan telepon. "Pokoknya dia itu mati bunuh diri, wes lewat sepuluh tahun. Artinya? Nah kan ...."
Dia bicara dengan raut wajah yang berbeda, dingin dan kejam, suaranya bahkan tenang seperti tanpa emosi. Benarkah dia Kamal yang aku kenal?
Aku segera menarik diri saat pandangannya beralih. Di balik pintu aku tertegun, dari arah pembicaraan juga waktu yang dia pilih. Aku yakin ini bukan sambungan telepon biasa.
Secepatnya aku memutuskan untuk kembali ke kamar setenang mungking. Di atas ranjang kepalaku terpusat memikirkan arti ucapan Kamal yang ambigu.
Sepuluh tahun dan bunuh diri, entah mengapa aku teringat Farida. Dadaku kembali sesak mengingatnya. Wanita itu bunuh diri - melompat dari atas gedung kampusnya - di tengah malam, hanya berselang sekian jam setelah aku memutuskan hubungan kami secara sepihak.
Semua itu bukan tanpa alasan. Jarak usia yang terlampau jauh juga pertentangan dari kedua orang tua Farida memaksaku untuk mundur. Aku masih ingat dengan jelas ucapan mereka bahwa aku hanyalah karyawan biasa di perusahaan kecil.
Rasa percaya diri yang kerdil membuatku menjadi pria egois, jika saja aku tahu Farida nekat begitu lebih baik jika aku tak pernah bertemu dan mengenalnya. Penyesalan ini telah menghukumku selama sepuluh tahun tapi sakitnya tak berkurang sedikit pun, begitu juga perasaanku untuknya.
Kesedihan merembes di sudut mataku, saat menatap gambar wajah yang masih aku simpan rapi dalam galeri gawaiku dan terpatri semakin kuat dalam benakku. Farida-ku yang malang, sambil menangkup wajah aku menikmati gelombang kerinduan yang datang menerjang.
Mungkin karena lelah menahan penyesalan akhirnya kantukku datang, sayup suara gemeresak televisi itu tenggelam. Menghilang seluruhnya berganti hening, begitu sunyi bahkan kini aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.
"Tak lelo, lelo ledung ... Wes Menengo anakku sing bagus rupane ... Yen nangis ndak ilang baguse ... "
Kidung pengantar tidur itu timbul tenggelam. Sendu dan sedih. Suaranya berpindah-pindah, awalnya terdengar dari arah depan rumah dan kini dia berada tepat di luar kamar. Semakin mendekat dan berbisik di balik dinding seperti desau angin. "Wis cep menengo anakku, kae bulane ndadari. Koyo buto nggegilani."
Suaranya yang lembut berubah semakin berat lalu mengikik lirih. Hingga akhirnya senyap, kesadaranku kembali terayun semakin dalam dan hampir saja aku terlelap saat dia berteriak sekencang mungkin. "IKI IBUK CAHYO!"
Bersamaan dengan bantingan keras di dalam kamar yang membangunkanku. Aku beralih ke asal suara dan jendela itu terbuka lebar, kayu penutupnya bergoyang-goyang.
Aku gamang dan bingung namun udara dingin yang menerjang masuk membuatku bergegas bangun untuk menutupnya, baru saja aku menyentuh daun jendela seraut wajah bengis muncul begitu saja. Dia menyeringai dengan bola matanya yang kelam. Darah mengalir dari mulutnya dan rambut hitam itu terurai melayang.
"CAHYO INI IBU LE! MULIH YO?" Serak dan parau.
Bang**! Dia kan kuntilanak hitam yang ada dalam mimpiku kemarin. Aku segera mundur dan bergegas membuka pintu. Sial! Terkunci. Seakan tak cukup menerorku dengan wajahnya yang ngeri. Dia menjulurkan tangannya dari jendela yang sempit, mengapai-gapai liar berusaha meraihku.
"TOLE, TOLE , ANAKKU SENG APIK DEWE!" Jeritnya sambil menyeringai kegirangan, memangsa ketakutanku.
Apes! Pintu ini tak mau terbuka, aku menggedor sekuat mungkin berharap jika Yudi, Hartono, atau siapapun mendengarnya tapi usahaku sia-sia. Aku semakin panik dan tangan berlendir memanjang tak normal semakin dekat, semakin dekat dan saat dia menyentuh wajahku ...
Aku terbangun di atas ranjang dengan napas yang memburu. Aku segera beralih pada jendela dan ... Itu terbuka persis seperti mimpiku semalam. Azan subuh menggema meredakan ketakutanku. Aku segera menangkup wajah dan lendir itu menempel di sana.
Artinya semalam itu bukanlah bermimpi, kudukku meremang dan seketika aku menggigil hebat. Sosok itu mengejarku sampai kemari!
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA MAMAK (HIATUS) T_T
HorrorApakah selama ini kasih sayang itu palsu? Lantas siapa diriku yang sebenarnya. Bahkan hampir setengah abad aku hidup dalam kebohongan. Tak ada lagi yang bisa aku percaya. Termasuk diriku sendiri. Warning : Gore and Explisit Content.