POV NARRATOR
"Kurasa kita harus berteduh, Ele!" ucap Alston di tengah jalan kota Edinburgh. Makan malamnya dengan Eleanor harus segera diakhiri karena mereka terjebak dalam hujan yang cukup lebat hari ini.
"Baiklah," ucap Eleanor yang masih bertahan, menggenggam tangan Alston. Menatap lembut ke arah lelaki yang sangat dicintainya itu.
Entah sejak kapan cinta itu tumbuh di hatinya, namun dia tidak bisa menampik lagi saat Alston juga mempunyai rasa yang sama. Dia tenggelam dalam euforia cinta dan tidak peduli bahwa Alston adalah majikannya. Lelaki yang sudah memiliki tunangan.
Mereka berteduh di kawasan pertokoan yang sudah tutup. Malam semakin gelap dan dingin, suara rintik hujan pun lama kelamaan lebat meski kemudian mereda.
"Kau sanggup berlari sampai ke mobil?" tanya Alston pada manik berwarna hijau itu.
"Ayo! Ini hanya air," tawa Eleanor menyeruak di tengah angin yang membawa rasa dingin. Membuat Alston ikut tersenyum, karena wajah cantik Eleanor bertambah dua kali lipat dari biasanya. Bukan riasan atau baju yang membungkus tubuh kurus Ele. Tetapi kehangatan wajah Ele membuat siapa pun yang melihat dan dekat sanggup melakukan apapun pada wanita beranak satu itu.
Mereka berdua menembus hujan yang memang sudah mulai reda, menuju mobil yang diparkir sedikit lebih jauh dari tempat mereka berdiri.
"Hahaha... akhirnya kita menabrak hujan!"
"Kurasa hujan sentimen pada kita. Baru saja berlari dan kembali lebat. Aku saj–," kesal Ele yang tidak bisa menyelesaikan lagi ucapannya karena Alston sudah membungkamnya dengan sebuah ciuman yang hangat dan lembut. Membuat Ele terkesiap sesampainya duduk di mobil Alston.
Alston tidak bisa menahan dirinya lagi dan mulai menarik tangan kecil itu untuk mendekat, menarik tengkuk El, meraup bibir yang merekah sempurna, mendesahkan nama masing-masing. Memuja, bahwa tiada kelembutan yang bisa menandingi bibirnya. Manis yang terasa seperti air kelapa di tengah panas, menyejukkan, melepaskan rasa haus akan gairah. Menggebu-gebu, merusak akal sehat.
"Kurasa hujan pun cemburu pada kita?"
Ele tersipu mendengar kata-kata indah Alston, terdiam dan hanya menatap mata biru itu dengan lekat. Tidak menunggu lama untuk menautkan kembali jari jemari itu dalam balutan panas gairah yang mulai meruak ke permukaan kulit. Mengambil satu ciuman lembut nan syahdu. Membelit satu sama lain, menyalurkan emosi dan juga keinginan lain.
Hujan yang semakin lebat mengiringi perjalanan menuju Villa Putih kepunyaan keluarga Savern. Terletak di sebelah Selatan Edinburgh, Alston sengaja membawa Eleanor kesana untuk sejenak bersantai dari semua ketakutannya. Ketakutan akan ... ?
Mereka menembus hujan yang mulai deras kembali, tapi terlihat lega saat gapura tinggi berbentuk segitiga yang berwarna hitam itu terlihat jelas di hadapan mereka. Ukiran gapura yang bertuliskan Savern dengan simbol SV memukau Eleanor. Sangat indah dan megah. Tampak penjaga yang selalu sepertinya senantiasa berjaga.
Tak lama kemudian, penjaga pintu gerbang membuka gerbang itu dan mobil Alston pun melewatinya perlahan. Sebuah taman hijau langsung menyapa mereka, kolam air mancur nan megah berdiri dengan anggunnya, seperti rumah seorang bangsawan pada umumnya. Elle yang memandang pun tak urung membuka mulut saking takjubnyaSelanjutnya sebuah bangunan putih tiga lantai menjulang indah di hadapan Ele. Dia memalingkan wajahnya ke hadapan Alston, mengisyaratkan kekaguman. Betapa bahagianya Ele saat mengetahui Alston membawanya ke Villa milik keluarganya. Ele merasa istimewa dan diterima.
Mereka berdua masuk ke dalam Villa melalui jalan belakang yang menghubungkannya langsung ke kamar Alston. Berlari cepat dan tidak bersuara agar tidak membangunkan pelayan yang sudah tertidur. Tidak banyak memang pelayan di Villa ini. Hanya tiga orang dan setiap hari merawat rumah yang mempunyai 8 kamar ini. Beda halnya jika keluarga Savern mengadakan acara keluarga. Villa ini akan berubah menjadi istana dengan semua bunga-bunga indah yang bertaburan dimana-mana.
"Sangat indah!" ucap Ele sambil melihat ke area seluruh villa.
"Shuuuttt ... pelankan suaramu."
"Baik-baik ...," bisik Ele meyakinkan Alston.
Tibalah mereka di kamar Alston yang megah, sebagai anak dari keluarga Savern, Alston memiliki seperempat kekayaan keluarganya. Sisanya ada pada Ibu, dan kedua pamannya.
Alston langsung menyergap tangan Ele ke belakang dan mendorongnya pelan ke dinding untuk menciumi kelembutan bibir Ele yang berwarna pink muda. Wajah cantik yang bersinar karena titik-titik air yang membasahi wajahnya itu membuat Alston tidak bisa berpikir lagi selain mencumbuinya dengan hasrat yang menggelora. Baginya Ele adalah semua keindahan di dunia ini. Tidak ada satu pun ingatannya teralihkan. Bahkan sosok Brianna sudah hilang dalam bayangannya.
Tanpa ragu lagi, bibir mereka bersatu dalam kecupan yang penuh gairah. Mereka saling menyentuh, merasakan getaran energi yang meluap-luap di antara mereka. Ciuman itu mengungkapkan keinginan dan keinginan yang telah lama terpendam.
Mereka terjebak dalam momen itu, dunia luar sepertinya menghilang. Hanya ada mereka berdua, dalam ruang mewah yang penuh dengan nafsu dan hasrat. Semua pikiran lain terlupakan, digantikan oleh kehadiran satu sama lain.
Hasrat mereka berkobar, mengisi ruangan dengan kehangatan dan cahaya yang mempesona. Mereka saling menjelajahi tubuh satu sama lain, tak ada batasan atau penghalang yang dapat menghentikan mereka. Pada saat itu, waktu berhenti, dan hanya ada keintiman mereka yang saling melingkupi.
Adegan cinta yang bergairah itu berlangsung dengan indah dan memikat, membangkitkan hasrat dan keinginan yang terpendam.
...
"Sayang," panggil Ele lirih.
"Ya," sahut Alston tersenyum lembut.
"Kenapa kamu mencintaiku?"
Alston terdiam, tak mampu berkata-kata. Pertanyaan Ele sangat sukar untuk dijawab. Pria itu juga tak tahu alasan mengapa dia bisa sampai jatuh cinta pada perawat yang telah setia menjaga calon istrinya sendiri selama ini. Perasaan terlarang yang Alston rasakan kini mekar begitu saja tanpa ia minta ketika beberapa bulan harus bersama dengan Ele untuk mengurus Brianna.
Kadang cinta mampu menandingi sebuah misteri yang tak bisa terpecahkan oleh siapa pun di dunia ini, meskipun oleh pemilik hati.
"Aku tak membutuhkan alasan apa pun untuk mencintai wanita cantik dan luar biasa seperti kamu, Sayang." Alston tersenyum manis. Hanya itu yang mampu dia jawab.
Ele tersenyum kecut sambil berpaling dari Alston. "Sepertinya cinta yang kamu rasakan sekarang bukanlah cinta sejati, Alston, melainkan hanya pelampiasan sementara karena Brianna tak mampu memberikan apa yang kamu inginkan. Setelah Brianna sembuh, pasti kamu akan membuangku seperti sampah." Tersirat kesedihan yang mendalam dari suara wanita cantik tersebut.
"Apa yang kamu bicarakan, Sayang?" sergah Alston tak suka. Ia tidak mau Ele sampai meragukan cintanya, padahal selama ini dia sudah melakukan apa pun bagi wanita beranak satu itu demi membuktikan ketulusan cinta.
Ele tersenyum miris, menatap mata hijau zamrud itu sedikit putus asa. "Apa kamu bisa menjamin hal itu, Alston?"
Lagi-lagi, Alston kehilangan kata-kata. Jika dia terpaksa harus memilih, ia akan sangat bingung dan bimbang karena kedua wanita itu begitu penting di hidupnya. Ele, adalah wanita yang mengisi hari-hari kesepiannya, sementara Brianna, sang tunangan yang sangat berjasa bagi bisnis dan keluarganya.
Meski kini, Alston sangat mencintai Ele, tetapi dia tidak bisa melupakan Brianna begitu saja. Apalagi dalam keadaan calon kekasihnya yang lumpuh.
"Kamu saja tak bisa menjawab."
Alston paham, jika Ele membutuhkan kepastian dalam hubungan mereka yang terlarang. Ditambah posisi Ele sebagai kekasih gelap, tentu saja membuat wanitanya khawatir jika suatu hari ditinggalkan begitu saja oleh dirinya.
Alston meraih tangan Ele dan menggenggamnya erat. Pria itu menatap tepat di manik mata Ele begitu lekat dan dalam.
Perlahan-lahan kekhawatiran Ele berangsur sirna ketika melihat pancaran cinta yang tulus dari mata Alston. Kepercayaannya yang sempat hilang, kini kembali bersemi. Meskipun Ele hanyalah kekasih simpanan, ia yakin bahwa Alston akan memperjuangkan dirinya agar mereka bisa selalu bersama.
Ele tahu semuanya salah, karena telah tega mengkhianati majikannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Reckless
Historical FictionElleanor selalu tahu nasibnya kurang beruntung dalam hal cinta. Setelah kehilangan suami di medan perang dan meninggalkan satu anak perempuan, nasib Elle tidak ubahnya seperti buruh miskin. Sampai pada satu saat, hidupnya berubah ketika menjadi pera...