Chapter 2. I love You Eleanor

8 4 3
                                    



Alston dan Ele berbincang-bincang mengenai apa pun sembari sembari berpelukan di tempat tidur.

"Sayang ...,"

"Ya?"

"Selama kita menjalani hubungan ini, aku belum tahu tentang apa pun soal suamimu dan kehidupanmu sebelumnya," ujar Alston. Mungkin sudah waktunya dia mengetahui kisah Ele dan sang suami. Meskipun itu akan melukai hati Alston karena harus mendengarkan masa-masa indah kekasihnya bersama pria yang dahulu pernah Ele cintai.

Rona wajah Ele seketika berubah sedih. Pelukannya langsung melonggar dari Alston. Masa lalu kelam kembali terlintas di benak wanita cantik itu. Walaupun kepergian suaminya sudah lama berlalu, tetap saja luka karena kehilangan masih begitu menyakiti hati Ele.

"Sayang? Kenapa?" tanya Alston saat Ele hanya terdiam.

Ele menggeleng kecil sambil tersenyum. "Tidak apa-apa."

Alston tahu jika Ele berbohong. Sebab, terpancar jelas sorot frustasi di manik kekasihnya. Tentu saja itu sangat menorehkan luka di hati pria bermata hijau zamrud itu. Apakah Ele masih belum bisa melupakan suaminya yang telah meninggal? Apakah pria itu telah meninggalkan kenangan yang begitu indah sehingga Ele tak bisa membicarakannya?

Dada Alston terasa terbakar, tetapi pria itu enggan memperlihatkan rasa cemburu secara terang-terangan di depan Ele. Alston harus menerima segala konsekuensi atas pertanyaan yang ia ucapkan, bahwa ia sendiri yang membuat dirinya terluka karena mempertanyakan masa lalu Ele bersama sang suami. Seharusnya Alston menyiapkan diri dengan segala yang akan dikatakan Ele, tak terkecuali kenangan indah.

"Ayolah ceritakan, Sayang. Bukankah dalam sebuah hubungan tak boleh ada rahasia?" bujuk Alston tersenyum, penuh harap.

Ele terkekeh miris. "Tetapi hubungan kita belum pasti akan berakhir seperti apa, kan? Jadi rasanya kita tak perlu terlalu serius," sindir Ele sembari tersenyum manis. Ele berharap jika kekasihnya akan peka bahwa sebenarnya Ele sudah tak ingin terus-menerus hanya menjadi wanita simpanan lagi. Ia ingin menjadi istri sah dari keluarga Vescount supaya bisa secara terang-terangan memperlihatkan diri di depan umum sebagai pendamping keluarga kerajaan tanpa ada yang perlu disembunyikan lagi.

Alston menghela napas panjang. Jika Ele terus-menerus menyindirnya seperti ini, dia juga kesal. Seharusnya Ele mengerti posisinya sebagai keturunan kerajaan, tiap keputusan yang Alston ambil pasti akan sangat berdampak pada keluarga dan bisnisnya. Alston tak boleh mencoreng citra yang telah susah-susah dia bangun demi bisa menjadi dewan parlemen.

Jika Alston meninggalkan Brianna begitu saja dan menikahi Ele, reputasinya di dunia perbisnisan akan hancur. Dan bukan hanya itu saja, nama baik keluarganya sebagai keturunan terhormat akan dicoret di mata warga Windsor.

Banyak sekali yang harus Alston tanggung jika dia memutuskan memilih Ele sebagai tambatan terakhir. Alston harus menyiapkan mental sekuat baja untuk menerima segala konsekuensi dari setiap keputusan yang ia ambil. Di antara lain, kebangkrutan dan dibenci oleh ibu serta kedua pamannya. Û

Apalagi Hamsel, sang paman, seorang yang terkenal garang dan egois, pasti tak akan tinggal diam saja atas keputusan yang merugikan keluarga dan bisnis.

Tentu saja, pria berumur empat puluh itu akan berupaya untuk membuat Alston hidup dalam kesengsaraan.

Alston mendengus pelan. "Tak apa jika kamu tak mau menceritakan masa lalumu bersama suamimu. Aku tak keberatan, sedikit pun," ujar Alston sedikit ketus.

Ele menghela napas pelan. Apakah sikapnya sudah keterlaluan? Ela memeluk mesra Alston yang berbalik memunggunginya. "Maafkan aku, Sayang, aku tidak bermaksud mendesak kamu atau membuatmu marah. Aku hanya takut saja jika harus kehilanganmu. Apakah aku salah?"

Alston enggan menjawab.

"Maafkan aku," bisik Ele manja.

Suara manja Ele seketika melenyapkan kekesalan di hati Alston. Tak dapat dipungkiri, jika pria itu tak bisa berlama-lama mendiam kekasihnya.

Alston kembali berbalik menghadap Ele sehingga keduanya berhadapan begitu dekat.

Ele tersenyum begitu manis. "Aku akan menceritakan apa pun yang ingin kamu tanyakan, Sayang."

Alston berpikir sejenak. "Aku ingin tahu, seperti apa suamimu itu?"

"Suamiku merupakan pria sangat baik dan penyayang. Dia selalu berusaha melakukan apapun demi membahagiakan aku dan Julia," pancing Ele menahan senyum. Ele berharap Alston akan menunjukan ekspresi cemburu atau tak suka.

"Lalu, bagaimana suamimu meninggal?"

Napas Ele tercekat mendengar pertanyaan tak terduga dari Alston. Ele tak menyangka kekasihnya akan menanyakan hal paling sensitif. "Dia ... dia meninggal akibat kecelakaan saat hendak pulang ke rumah." Tanpa sadar air mata Ele menetes membasahi pipi.

Alston menatap Ele sedih. Alston sangat benci melihat wanita yang sangat ia cintai sampai mengeluarkan air mata.

Jemari Alston menyeka bulir-bulir bening yang menuruni pipi merah Ele.

"Saat itu, aku sangat hancur saat mendengar kabar kematian suamiku, Al. Seperti duniaku sudah berakhir. Apalagi mengingat Julia masih sangat kecil, yang masih memerlukan sosok ayahnya." Ele menangis tersedu-sedu, menumpahkan luka dan sakit hati yang selama ini dia pendam seorang diri.

"Setelah kepergian suamiku, hidupku benar-benar hampa. Tak ada lagi kebahagiaan yang kurasakan. Seolah aku sudah tak memiliki tujuan hidup lagi, karena dialah sandaran dan alasanku hidup."

Alston tertegun. Sebegitu besarkah rasa cinta Ele terhadap suaminya? Tentu saja, ungkapan hati Ele sangat menyobek hati Alston. Namun, yang dirasakan Ele jauh lebih menyayat sanubari. Kehilangan seseorang yang sangat dicintai memang sungguh menyakitkan. Apalagi jika berpikir karena direnggut oleh kematian.

Alston menangkup wajah Ele sembari tersenyum tulus. "Kamu jangan menangis lagi, Sayang. Masih ada aku yang akan menyayangi dan mencintaimu. Aku yang akan menggantikan posisi pria yang telah pergi meninggalkanmu dan menjadi obat bagi hatimu yang terluka. Aku akan membahagiakan kamu ... selamanya. Aku janji."

Ele menatap manik hijau Alston lekat-lekat. "Selamanya?"

Alston mengangguk mantap. "Ya, 'selamanya'," ulangnya memperjelas. "Sampai kapan pun."

"Apakah aku bisa memegang kata-katamu, Alston Viscount? Bahwa kamu akan menyayangi, mencintai dan membahagiakan aku sampai selama-lamanya?" pinta Ele dengan nada terharu.

Senyum Alston makin lembut. "Tentu saja. Kamu bisa memegang kata-kataku, Sayang. Aku akan menepati janjiku dan membawa kamu pada kehidupan penuh kebahagiaan dan tanpa air mata penderitaan. Serta aku akan berusaha menjadi ayah yang baik bagi Julia dan membuatnya kembali merasakan sosok ayah."

Air mata Ele kembali tertumpah dan mengalir deras, tetap kali ini, merupakan air mata kebahagiaan. Hatinya terenyuh dengan tekad Alston untuk membuatnya dan Julia bahagia. Ele yakin suatu saat nanti Ele, Alston dan Julia akan bersatu sebagaimana keluarga bahagia.

Hanya itu yang Ele inginkan di dunia ini. Kini, semua keinginannya tergantung pada usaha Alston untuk menyatukan mereka sebagai sepasang suami istri.

Alston mencium kening Ele cukup lama.

Ele tak bisa berhenti menangis bahagia ketika dahinya merasa kehangatan cinta sang kekasih.

"I love you, Eleanor."

The RecklessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang