Chapter 13. Distrust

4 2 0
                                    


(POV BRIANA)

Aku mendorong kursi roda mendekat jendela kamarku yang langsung menghadap ke pekarangan rumah.

Aku memandangi sendu pintu gerbang, yang sejak semalam tertutup. Tak ada satu mobil pun yang datang.

Ke mana sebenarnya Alston pergi? Kenapa dia tiba-tiba menghilang kemarin? Padahal dia hanya pamit pergi untuk memarahi Ele. Apa jangan-jangan dia mendadak ada panggilan pekerjaan sampai tak sempat berpamitan denganku?

Tetapi bukankah Alston bisa mengabariku lewat telepon?

Bahkan sampai sekarang, dia belum datang juga ke rumah. Apakah dia bersungguh-sungguh berniat mengajakku berkencan? Apakah dia terlalu sibuk?

Aku hanya menghela napas berat ketika kekecewaan makin menggerogoti dadaku. Padahal selama ini Alston tak pernah absen untuk mengunjungiku setiap pagi, tetapi kini telah lewat tengah hari.

Apakah dia sudah melupakanku? Dan sekarang dia sedang bersama wanita lain?

Aku geleng-geleng cepat. Entah kenapa, semenjak aku lumpuh, aku selalu menaruh kecurigaan pada Alston. Aku selalu berpikir kalau Alston mempunyai wanita simpanan lain di luar sana.

Karena Aku sangat tahu watak laki-laki. Mereka sulit untuk setia jika pasangannya sudah tak bisa lagi memberikan apa pun yang mereka inginkan.

Apalagi aku tak bisa seperti dahulu. Mungkinkan Alston sedang mengkhianati aku? Aku takut, bahkan sangat-sangat takut, kalau Alston sampai berpaling pada wanita lain yang mampu membahagiakan dia.

Aku selalu cemas jika Alston bertemu dengan wanita-wanita cantik di luar sana. Entah dalam lingkungan pekerjaan maupun sebagai sesama kaum bangsawan dari negara lain.

Aku tak sanggup membayangkan hidupku tanpa Alston. Setiap napas yang berembus, seakan hanya untuk dirinya. Apakah aku sudah gila karena begitu candu pada pria bergelar Viscount itu? Apakah aku berlebihan dalam mencintainya?

Entahlah.

Mungkinkah aku mampu menjalani kehidupanku seperti dahulu, seandainya Alston bermain api di belakang? Kurasa, mustahil. Sebab, sudah terlalu banyak yang aku korbankan demi membuat Alston setia padaku. Ditambah ribuan kenangan indah yang kami pernah lakukan bersama, membuatku makin tak bisa kehilangan sosok Alston.

Bahkan aku sangat rajin merawat diri demi Alston terpesona melihatku serta menjaga bentuk tubuhku agar tetap langsing dan menawan. Sebab, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi jika kaum Adam merupakan makhluk visual yang lebih mengedepankan penampilan kekasihnya daripada kemampuan.

"Permisi, Nona, sudah waktunya makan siang." Lora masuk kamarku, tetapi aku enggan menoleh. Aku masih setia menatap pintu gerbang demi menunggu kedatangan mobil Alston.

Aku sangat cemas dan rindu. Aku berharap Alston sedang tidak bersama wanita lain, melainkan hanya sibuk bekerja.

"Ayo, Nona makan, biar saya suapi," bujuk Lora tersenyum manis. Pasti asistenku sangat cemas karena sejak pagi aku menolak untuk memakan apa pun.

Kini, perutku sangat perih, tetapi hatiku jauh lebih pedih.

"Aku tidak lapar, nanti saja makannya," tolakku tanpa berpaling. Aku bisa mendengar Lora menghela napas panjang.

"Nona bisa tambahkan sakit kalau tidak makan. Itu tidak baik bagi kesehatan Nona," ujar Lora cemas. "Bukankah Nona ingin cepat-cepat sembuh supaya bisa menikahi dengan tuan Alston?"

Aku tahu Lora sedang berusaha membujukku dengan kalimat itu. Namun, itu tetap tak mampu membangkitkan semangatku yang dahulu selalu membara. Untuk apa aku sembuh, sementara calon suamiku kelayapan entah ke mana.

Apakah aku salah berpikir seperti itu? Aku hanya seorang wanita yang takut kehilangan cinta.

Akan tetapi, gara-gara aku sering menuding Alston hal macam-macam kami sering berdebat kecil. Sepertinya Alston sudah muak dengan sikapku. Alston sampai mencerus kalimat bahwa aku terlalu bersikap kekanak-kanakan dan tidak bisa berpikir rasional lagi sejak aku lumpuh.

Aku diam-diam menangis setelah kami selesai bertengkar. Hatiku sakit mendengarnya, meski itu benar.

Entah bagaimana aku harus mengendalikan perasaanku yang makin porak-poranda. Makin hari aku dirundung ketakutan. Namun, sikap Alston makin memperburuk suasana karena selalu memarahiku, meski pada akhirnya kami kembali berbaikan karena sama-sama tak sanggup saling diam.

Padahal kami telah cukup lama menjalin hubungan spesial, tetapi Alston kadang tak bisa memahami perasaanku.

Apakah sebenarnya aku yang terlalu banyak menuntut dan tak memercayai Alston? Aku tak tahu. Sebab, aku pun benar-benar bingung dalam mendeskripsikan perasaanku.

Otakku seakan ingin membunuhku secara perlahan karena rasa frustasi makin tak terkendali. Aku hampir gila gara-gara berlarut-larut terbelenggu dalam keterpurukan.

"Sudah kubilang, aku tidak lapar, Lora," tegasku agak ketus. Untuk pertama kali, selama bertahun-tahun, aku berkata cukup tak enak pada asisten rumahku.

"Aku bisa dimarahi tuan Alston habis-habisan kalau kondisi kesehatan Nona malah makin memburuk. Karena nona Eleanor sedang pergi entah ke mana, dan sampai kini tak kunjung kembali. Jadi, akulah satu-satunya pelayan yang akan disalahkan," mohon Lora sedih.

"Kenapa kamu tidak makan?"

Suara khas itu membuatku spontan berpaling. Senyumanku merekah sempurna ketika melihat Alston sedang berjalan ke arahku. Namun, mataku membeliak syok saat mengetahui kali tunangannya diperban dan melangkah terpincang-pincang.

"Apa yang telah terjadi padamu, Sayang?! Kenapa kakimu diperban?! Apa kamu terluka—"

Aku tertegun beberapa saat ketika Ele menyusul masuk ke kamar. Ele? Kenapa dia datang bertepatan saat Alston masuk? Apa jangan-jangan ... mereka—

Sontak Aku menggeleng-geleng cepat. Pikiranku mulai kacau. Mana mungkin Eleanor dan Alston datang berdua. Memangnya mereka habis pergi ke mana yang mengharuskan berduaan?

Mereka baru saja saling kenal dan belum akrab, ditambah Alston sangat tak menyukai perawatku.

"Syukurlah Tuan dan Nona Ele datang." Lora tersenyum lega.

"Kenapa kamu tak mau makan, Sayang?"

Dengan sedikit meringis, Alston bersimpuh di depanku untuk menyejajarkan pandangan kami.

Aku menggeleng kecil. "Aku tak napsu makan kalau tidak ada kamu, Sayang. Aku khawatir karena tiba-tiba kemarin menghilang begitu saja tanpa berpamitan denganku," adunya sedih.

Alston menggenggam kedua tanganku. Dan seperti biasa, sentuhan tunanganku mampu mendamaikan hatiku. "Maafkan aku, sayang, aku benar-benar minta maaf. Kemarin, tiba-tiba aku menerima telepon dari pamanku kalau musuh bebuyutanku menyuruh anak buahnya menyerang karyawan di tambang

Mau tak mau, aku harus bergegas ke sana. Ternyata anak-anak Kyle membawa pistol dan senapan, dan berakhir saling baku tembak. Karena itulah, kakiku diperban, sayang. Aku benar-benar minta telah membuatmu khawatir."

"Lalu bagaimana dengan kondisi kakimu? Sudah diobati? Apa kata dokter? Pasti baik-baik saja, kan? Tidak mengalami dampak berarti?" sergahku dalam satu tarikan napas. Bukannya mendapat penjelasan, Alston malah terkikik geli.

Aku lantas mengerucutkan bibir. "Kenapa kamu malah tertawa, Sayang? Aku sedang tidak bercanda," protesku sok kesal. Aku berharap habis ini Alston membujuk-bujukku dengan sikap romantisnya yang mampu membuat aku mabuk kepayang.

"Maaf ...." Alston berusaha menghentikan tawanya, tetapi gagal.

Aku pura-pura membuang muka, kesal. "Sebaiknya kamu pulang saja, aku mau istirahat." Aku langsung mendorong kursi roda menuju kasur, berharap Alston menahanku.

The RecklessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang