"Kenapa kamu tidak bisa datang ke sini, Roy?! Majikanku tertembak! Bagaimana kalau dia sampai mati?!" Aku tak bisa menahan kekesalanku lagi. Beberapa menit aku berdebat dengan sahabatku, Roy, gara-gara dia menolak permintaanku mentah-mentah untuk mengobati Tuan Alston.
"Kau pasti bisa mengobati sendiri. Bukankah kau seorang perawat?" balas Roy lagi dan lagi. "Aku benar-benar tak bisa, Ele, karena sebentar lagi aku harus mengoperasi pasien gagal jantung."
Aku mendesis kecewa. "Ya sudah. Tetapi aku minta kamu suruh anak buahmu untuk mengirim perawatan bedah ke rumahku."
"Baiklah. Sekali lagi, tolong maafkan aku," pinta Roy penuh penyesalan.
Aku menghela napas berat sambil memijat kening, frustrasi. Gara-gara panik, cemas dan takut, bercampur aduk jadi satu, aku malah memarahi Roy. "Tak apa-apa, seharusnya aku yang minta maaf karena sudah mengomelimu. Aku hanya—"
"Tak masalah, aku mengerti." Suara Roy yang begitu lembut mampu menentramkan hatiku. "Sebentar lagi peralatannya tiba di rumahmu. Sembari menunggu, kamu harus berikan pertolongan pertama pada majikanmu."
"Aku paham." Aku menutup telepon sambil mendengus pelan. Kenapa malapetaka harus menimpa dirinya?
Aku bergegas menghampiri Alston yang sudah memucat di sofa. "Tolong bertahanlah, Tuan!" aku buru-buru mengambil matras di kamar dan membentangnya di lantai, dengan hati-hati aku menuntun Alston telentang.
Aku segera menggulung ujung celana Alston yang berlumuran darah hingga ke lutut. Aku menahan tangis ketika mendapati begitu banyak darah mengucur deras dari luka tembak di kaki Alston.
Aku mengambil kain basah dan menekan luka itu. Alston spontan mengerang kesakitan tanpa berkata apa-apa. Mungkin Alston sudah tak kuat lagi untuk berkata-kata akibat kehabisan tenaga kerena banyak darah terbuang.
Air mataku mengalir tanpa kusadari sampai berjatuhan di luka Alston.
Ya Tuhan, aku mohon selamatkan tunangan nona Brianna. Jangan sampai aku merenggut kebahagiaan wanita yang telah berbaik hati padaku, batinku memohon.
Aku sangat hancur melihat Alston terkapar tak berdaya. Peristiwa kelam masa lalu itu kembali terngiang-ngiang di benakku. Masih teringat jelas detik-detik mengerikan ketika pria yang sangat aku cintai mengembuskan napas terakhir. Sebab, aku pun turut membantu penanganan suamiku saat di rumah sakit.
Aku tak mau Brianna mengalami kejadian naas yang menimpaku. Aku tak sanggup melihat betapa hancurnya hidup majikanku itu ketika harus melihat calon suaminya terbaring di dalam peti.
Sebab itu, dengan cara apa pun, Alston harus selamat dan tetap hidup agar kembali pada pelukan Brianna.
Sebab, pria ini satu-satunya kebahagiaan dan alasan Braina untuk terus berjuang keras agar bisa pulih, mengingat tanggal pernikahan mereka yang tinggal di depan mata.
Alston terbatuk-batuk dengan napas berat.
"Tuan?! Tuan?! Tolong bertahanlah!" Aku menepuk-nepuk pipi Alston ketika pria itu mulai kehilangan kesadaran dan kesulitan bernapas.
Aku tak memiliki cara lain. Aku memberikan napas buatan melalui mulut. Seketika bulir-bulir bening dari pelupuk mataku tumpah dan membasahi wajah Alston yang mulai membiru.
Aku bodoh! Aku bodoh! Ini semua salahku! Aku manusia tak berguna!
Dadaku mulai sesak akibat rasa trauma terus-menerus menghantuiku.
Perasaan bersalah dan tak pantas makin berkecamuk hebat. Alasan suamiku meninggal sama seperti Alston. Yaitu, gara-gara salahku.
Gara-gara aku pura-pura memarahi James lewat telepon demi memberikan kejutan di rumah atas anniversary tanggal pernikahan kami, berakibat pada kematian James. Suamiku pasti buru-buru memacu motornya sehingga berujung pada kecelakaan.
Aku manusia bodoh di bumi, yang tak pantas ada. Aku diambang batas frustrasi karena terancam akan mengulangi kesalahan yang sama jika sampai Alston benar-benar pergi meninggalkan dunia.
"Ele ...."
Aku lantas menatap Alston. "Tuan!" Senyuman lebar tercetak jelas di wajahku. "Akhirnya Tuan sadar dan berhasil melewati masa kritis!"
"Kau begitu cantik."
Sontak aku membulatkan mata syok.
***
Aku mengaduk-aduk teh di dapur dengan pikiran menerawang ke mana-mana. Ragaku memang di dapur, tetapi hatiku berkeliaran. Perkataan Alston tadi terus terngiang-ngiang di benakku.
Bagaimana bisa dia memuji cantik wanita yang bukan kekasih?
Aku sangat tak menyukai pria yang gemar bermain perempuan. Aku tak menyangka, jika pria terhormat seperti Alston bisa melakukan hal rendah itu.
Untung saja, aku bukanlah wanita murahan yang mudah terbuai dengan kata-kata manis maupun kekayaan.
Jatuh cinta pada pandangan pertama untuk pria sempurna seperti Alston bisa saja terjadi, jika seandainya aku tidak pernah jatuh cinta pada almarhum suamiku.
Aku akui Alston sangat sempurna di mata semua wanita manapun di dunia ini. Pria itu memiliki semua yang diidam-idamkan kaum hawa. Tampan, kaya dan terhormat, karena terlahir dari keturunan bangsawan, paket komplit.
Siapakah wanita yang tak mau bersanding dengan pria hebat seperti Alston?
Tentu saja aku.
Aku sama sekali tak tertarik sedikitpun pada wajah tampan, tubuh atletis dan kekayaan Alston. Bagiku, Alston hanya tuan yang menggajiku dengan bayaran tinggi demi merawat kekasihnya.
Tak lebih.
Ya, hubungan kami hanya sebatas majikan dan pembantu selamanya.
Tak akan pernah berubah.
"Cih ...." Alu lantas geleng-geleng cepat, menepis pikiranku yang mulai liar. Kenapa aku sampai meracau mengenai hal itu? Memangnya aku berharap apa kalau aku bekerja lebih lama di rumah Brianna dan selalu bertemu dengan Alston?
"Aku benar-benar sudah gila," rutukku kesal, pelan.
Namun, aku tak bisa melupakan kata-kata Alston yang begitu menyakitkan tadi, sampai membuatku terdiam seribu bahasa.
Entah kenapa, hatiku sangat sakit mendengar perkataan Alston saat sebenarnya ia tak sudi menolongku.
Padahal memang itulah kenyataannya. Mana mungkin, Alston rela menantang maut hanya demi diriku.
"Kamu kenapa, Ele? Sadarlah." Aku memukul kepalaku dengan sendok teh, berusaha mengeluarkan bayang-bayang Alston dari pikiran.
Aku sudah gila, mengharapkan Alston menolongku karena tulus. Tentu saja selera pria itu bukan aku, tetapi Brianna.
Ya ampun! Aku benar-benar sudah hilang akal! Aku buru-buru membawa nampan dan pergi menuju kamarku.
Pria itu sedang berbaring dengan tenang. Aku menaruh nampan di atas nakas, lalu duduk di tepi kasur.
Aku diam-diam memandangi wajah rupawan itu, memastikan Alston sedang tidak menahan sakit. Ekspresi seseorang tak bisa disembunyikan, meskipun Alston berlagak kuat.
Aku tersenyum tanpa sadar. Alston begitu menikmati tidurnya dengan damai sampai belum terbangun hingga kini.
Tanganku membelai lembut wajah Alston yang terlihat letih. Alston seperti tak pernah tidur dengan tenang, karena dari rautnya, dia melepaskan semua rasa lelah yang menekannya.
"Pasti dia begitu lelah karena terus bekerja dari pagi hingga pagi. Kasihan sekali kamu," gumamku sedih.
Tanggung jawab yang dipikul Alston pasti berat, sampai memaksanya begadang. Kantung matanya membuktikan Alston jarang sekali menyentuh kasur.
"Ternyata jadi orang terpandang tak seindah yang kubayangkan."
Alston menarik tanganku dan memelukku begitu erat. "Jangan pergi, Sayang. Temani aku di sini, aku sangat kesepian."
Aku berusaha melepaskan diri, tetapi Alston makin mengeratkan dekapannya. "
"Tuan, tolong lepaskan ...."
Dasar genit, omelku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Reckless
Historical FictionElleanor selalu tahu nasibnya kurang beruntung dalam hal cinta. Setelah kehilangan suami di medan perang dan meninggalkan satu anak perempuan, nasib Elle tidak ubahnya seperti buruh miskin. Sampai pada satu saat, hidupnya berubah ketika menjadi pera...