Chapter 5. Paralyzed

3 1 0
                                    


Brianna teringat kembali awal pertemuannya dengan Eleanor.

"Alston, aku cacat. Aku tidak pantas untukmu!"

"Shuuttt ... jangan katakan itu, sayang. Kau adalah cintaku. Duniaku. Kita akan lalui ini dengan baik."

"Bagaimana jika aku tetap lumpuh?"

"Aku akan mencari dokter terbaik di negeri ini. Tenanglah!"

"Aku cacat ... aku cacat ...," tangis Brianna pun pecah. Wanita cantik itu merasa dunianya runtuh seketika.

"Sayang ... aku mencintaimu! Aku akan disisimu ... selalu!

Alston mengingat saat pertama kali Brianna tahu bahwa kakinya tidak bisa digerakkan sama sekali, dia menangis sangat perih. Belum diketahui apa yang menjadi penyebab kelumpuhannya. Dia hanya terjatuh dan terpeleset dari tangga, lalu demam tinggi dan tak lama kemudian semuanya berubah kelam. Brianna tidak bisa menggerakkan kakinya sama sekali. Beberapa dokter sudah memeriksakan kondisi Brianna dan mengatakan tidak ada yang serius, lalu menyarankan untuk latihan menggerakan kakinya dengan perlahan.

Kini kondisi mental Brianna sedikit membaik.

"Aku akan menyiapkan satu perawat untuk membantumu. Kita harus melatih kakimu, sayang!" ucap Alston sambil memeluk Brianna yang masih terkulai tak berdaya di tempat tidurnya.

"Maafkan aku. Tidak bisa menemanimu seperti biasanya."

"Jangan khawatir akan hal itu semua. Kau bisa menebusnya nanti saat kau sembuh." Alston memeluk Brianna erat. Ada satu hal yang membuat dia tidak mau jauh dari kekasihnya itu, rasa terima kasih yang sudah Brianna beri pada bisnis dan karirnya selamanya.

Brianna yang seorang pengacara tersohor di Windsor merupakan salah satu cara untuk masuk ke dalam parlemen. Ayah Brianna adalah seorang Menteri Perdagangan dalam pemerintahan George III. Sebuah revolusi Industri terjadi besar-besaran di era ini. Alston dan semua bangsawan lainnya tentu menginginkan sebuah posisi strategis untuk memajukan usaha mereka. Usaha tambang emas yang dilakoni Alston adalah usaha keluarga yang dikelola olehnya dan juga sang paman. Dengan menikahi Brianna, tentunya posisi Alston akan menjadi kuat. Secara tidak langsung, Alston mengejar posisi parlemen untuk memajukan usahanya sendiri.

Sementara ini aktivitas Alston hanya di kantor dan rumah Brianna, tak jarang dia membawa pekerjaannya ke kamar Brianna. Hanya untuk memastikan kondisi Brianna dengan mata kepalanya sendiri. Wanita itu sangat dicintainya. Seharusnya mereka menikah di bulan Februari tahun depan, tetapi kejadian ini membuat semua persiapan mereka diundur.

Alston melihat beberapa berkas perawat yang masuk ke mejanya. Siapa saja yang merawat Kekasihnya harus melalui seleksinya. Alston hanya ingin yang terbaik untuk merawat Brianna.

Ada dua orang perawat yang menangani Brianna. Untuk waktu siang dan malam. Memastikan bahwa Brianna tidak akan jatuh untuk kali kedua. Jika hal itu sampai terjadi, dipastikan Brianna akan lumpuh total.

"Kau bisa memanggil wanita ini dan satu lagi yang ini," perintah Alston pada asistennya yang bernama Douglas.

"Baik Tuan. Apakah saya yang melakukan wawancara ini ataukah anda?"

"Kau saja, Douglas. Pastikan semua legalitas mereka diperiksa. Lalu, tempatkan mereka di rumah ini dengan fasilitas yang baik."

"Baik Tuan. Saya akan bekerjasama dengan Nona Lora."

"Ya ... Lora. Dia kepala rumah tangga yang cekatan. Hubungi Lora."

Douglas menunduk dan mundur dari ruangan Alston. Menuju tempat Lora yang berada di lantai satu. Sebenarnya Douglas sungkan untuk menemui Lora, sikapnya yang tidak ramah sama sekali menjadi penyebabnya. Namun, karena tugas ini ada dalam wilayah pekerjaan Lora, membuat Douglas harus mengalah. Lagipula dia disini karena Tuannya tinggal di sini untuk menjaga nona Brianna.

"Lora ... bisa aku bicara?"

Tanpa melihat ke arah Douglas, Lora menjawab,"bicara saja. Aku mendengarkan," jawab Lora acuh.

"Aku akan mewawancarai dua perawat yang sudah dipilih Tuan Alston. Tuan memintamu untuk menyiapkan keperluan mereka selama di sini dengan fasilitas yang baik."

"Maksudmu jangan samakan mereka dengan pelayan lainnya?" ketus Lora.

"Ya. Itu maksudnya."

"Asal kau tahu. Pelayan di rumah ini tidak memiliki kasta. Bahkan aku saja tinggal di kamar yang sama dengan para pelayan lainnya."

"Baiklah. Aku percaya padamu. Aku permisi."

"Baiklah." Douglas tidak mau lebih lama berdiri di sisi Lora yang memang terkenal dengan sikap ketusnya. Menghindar dari Lora sama juga dengan menghindari masalah, setidaknya itulah yang ada di pikiran Douglas.

Setelah itu Douglas duduk di sebuah meja panjang yang berada di ruang belakang. Kopi adalah pilihan Douglas untuk meredakan penat di sela pekerjaannya sebagai asisten Alston. Peran Douglas di sisi Alston sangat penting, mengingat semua langkah bisnis yang diputuskan oleh Alston melalui hasil runding dengan Douglas.

Hanya dengan lirikan sedikit saja, Douglas sudah tahu jika Lora sedang sibuk membawa satu keranjang penuh dengan pakaian. Douglas menaruh kopinya dan bersiap untuk berdiri sebagai rasa hormat kepada wanita itu.

"AAAHHHHHH...." teriak Lora yang kakinya tersandung sebuah lantai kayu yang sedikit tidak rata.

Beruntung ada Douglas yang sudah siap berdiri dan menahan Lora agar tidak terjatuh.

"Tenanglah ... kau sudah menangkapmu, Lora." Ucap Douglas yang dengan sigap berada di depan Lora untuk menahan keranjang itu agar tidak tersandung.

"Maafkan aku, Do - Douglas," ucapnya terbata. Tidak menyangkan bahwa Douglas yang menyelamatkannya. Tidak masalah jika baju itu yang jatuh, karena masalah yang terbesar jika lututnya yang pernah patah itu menyentuh lantai dengan keras. Sakitnya sudah bisa dibayangkan Lora.

"Tidak masalah. Kau baik-baik saja?" tanya Douglas yang masih memegang tangan Lora sekaligus menahan keranjang baju itu.

"Berikan padaku, keranjang ini berat. Aku akan meminta tukang untuk membuat lori untukmu."

Lora tidak menjawab Douglas karena saat ini dia teramat malu untuk memandang wajah lelaki yang ada di hadapannya kini. Sikapnya pada Douglas tadi sungguh tidak sopan jika dipikirkan lebih lanjut.

Tanpa sungkan, Douglas membawa keranjang itu ke ruangan tempat semuanya akan disetrika dengan rapi dan wangi.

"Terima kasih sekali lagi dan maaf," ucap Lora yang kini memberanikan diri menatap Douglas yang memiliki tinggi di atasnya.

"Sikapku sebelumnya, sangat tidak pantas. Aku mohon maafkanlah aku!"

Douglas menatap mata coklat terang itu dengan seksama, Lora memiliki paras putih yang transparan, urat hijau terlihat di sekitar rahangnya. Menghipnotis Douglas karena baru sekali ini mendengar Lora bicara dengan suara lembut padanya. Tetapi yang membuatnya teralihkan, Lora cantik, menurut versinya.

Douglas memilih untuk bermain sedikit dengan Lora, kapan lagi dia bis abermain dengan wanita cantik dan ketus bernama Lora.

"Akan ku maafkan jika kau menyetujui syarat dariku."

"A-apa itu?"

"Aku minta 3 kali kencan dan aku akan memaafkanmu."

Lora sontak kaget mendengar pernyataan Douglas. Tentu saja hal itu menyenangkan karena dia memang tidak mempunyai kekasih. Masalahnya dia cukup tahu diri untuk mengharap pria. Dia tidak sempurna, kakinya patah. Akankah Douglas bisa menerima itu?

"Aku wanita yang cacat. Kakiku pernah patah. Aku tidak mau mengecewakanmu. Lebih baik kau berpikir lebih jauh tentang persyaratan itu."

'Inilah yang membuat Lora begitu ketus,' batin Douglas.

"Aku tidak peduli itu. Jangan berpikir terlalu jauh jika kau tidak sanggup menghadapinya." Jawabnya.

"Aku akan menghubungimu untuk waktunya, bersiaplah!" kata Douglas lagi sambil menyentuh dagu Lora sedikit. Membuat Lora tersipu dan memerah. Untung saja Douglas segera pamit dengan hormat layaknya lelaki sejati. Begitu pula, Lora membalasnya dengan santun, menaikan sedikit roknya dan membungkuk sopan.

***

The RecklessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang