Chapter 11. Tempted?

3 1 0
                                    


Aku mulai tak fokus mengemudikan mobil lagi, pandanganku mendadak buram dan kepala berputar-putar.

"Tuan baik-baik saja?"

Aku berusaha bersikap tegas dan mengatakan . "Ya Aku tidak apa-apa."

"Tetapi kenapa Tuan terlihat pusing? Apa—"

"Argh ....! Sial! Kenapa sakit sekali?!" Lagi-lagi, aku mengumpat kesal saat rasa panas dan nyeri semakin menggerogoti kakiku. Daya kemudiku pun makin melemah sehingga aku mulai sulit mengendalikan mobil.

"Apa Tuan terluka?! Di mana yang sakit?! Biar aku obati!" Dengan lancang, Ele memeriksa sekujur tubuhku.

Aku tertegun hingga lupa diri. Kehangatan tangan Ele membuat kepanikan yang sempat menyergapku mendadak lenyap. Hatiku tenang dan refleks kembali, seperti aku mendapatkan sesuatu yang selama ini aku inginkan. Satu hal yang telah lama hilang dari hidupku.

Apakah benar yang dikatakan Brianna, jika Ele mempunyai aura yang menenangkan?

"Kakiku ... tertembak," sahutku dingin.

"Ya ampun! Kenapa Tuan tidak bilang padaku! Kita harus ke rumah sakit sekarang!"

"Itu tidak mungkin!"

"Kenapa?" sela Ele panik. "Nanti Tuan bisa kehabisan darah kalau tak segera diobati! Nona Brianna akan marah besar padaku karena telah membuat calon suaminya terluka parah!"

Aku lantas terkekeh. "Sepertinya kalian sudah akrab sekali. Begitu mudahnya kamu mengambil hati kekasihku."

"Nanti saja kita membahas hal itu, Tuan! Tuan harus sesegera mungkin mendapatkan penanganan dokter! Cepat kita pergi rumah sakit!"

"Aku tidak bisa," tegasku. "Bagaimana kalau sampai orang-orang tahu kalau aku diserang bandit, lalu kabar itu terdengar oleh keluargaku. Bisa-bisa aku jadi bahan olokan ibu dan paman," terangku jengkel. Namun, kekesalanku malah membuat wanita di sampingku tertawa.

Aku terpesona, tetapi berusaha bersikap normal. "Kenapa kamu tertawa?" ketusku tak terima.

"Seharusnya Tuan beruntung memiliki ibu dan paman yang peduli pada Tuan. Mereka bersikap seperti itu karena khawatir padamu."

Aku lantas terkekeh sinis. "Peduli? Kurasa, tidak. Mereka lebih mempedulikan tanggapan orang-orang ketimbang aku."

Aku tak mendengar suara Ele lagi. Namun, aku pun tak mau melirik wanita itu untuk memastikan ekspresinya saat ini. Aku tak boleh terlalu sering menatap mata mata penuh kehangatan Ele, karena tak aman bagi dadaku.

"Maafkan aku ...."

"Sudahlah. Tak perlu dibahas lagi."

Hening sesaat. Aku dan Ele sama-sama tak membuka pembicaraan.

"Lalu, bagaimana caranya Tuan mendapatkan perawatan medis?" tanya Ele kembali panik.

Aku mengedikkan bahu dengan santai, berusaha tenang dalam kondisi apapun demi menjaga harga diriku sebagai pria. Mana mungkin aku malah ikut-ikutan panik seperti Ele. Bisa-bisa aku malah memperkeruh suasana.

"Bagaimana kalau Tuan ke rumahku? Kebetulan sahabatku seorang dokter, aku akan memanggil dia untuk mengobati Tuan. Tuan tenang saja, Aku akan menyuruh dia untuk merahasiakan apapun yang terjadi pada Tuan. Bagaimana?" Ele menatapku penuh harap. Sesaat aku terperangkap dalam keindahan manik matanya.

Kalau dilihat-lihat lekat-lekat, Ele sangat can... argh! Apa yang kau bicarakan, Alston?! Kau sudah gila!

"Tuan? Tuan baik-baik saja?"

Aku langsung memasang wajah dingin. "Ya, baiklah. Aku tak memiliki pilihan apa pun lagi," sahutku sok terpaksa.

***

Aku berjalan terpincang-pincang memasuki rumah Ele yang terlihat sederhana, tetapi asri.

"Biar aku bantu, Tua—"

"Tidak perlu. Aku bisa sendiri," tegasku keras kepala. Padahal sudah berkali-kali Ele menawarkan diri untuk menolongku, tetapi aku dengan sombong selalu menolak dengan alasan 'mampu'.

Namun, ketika aku hanya selangkah lagi saja melewati ambang pintu, aku malah terjerembab ke lantai dengan posisi memalukan akibat tungkai ku tak mampu lagi menahan bobot tubuhku.

"Sial!" umpatku spontan, meringis kesakitan. Bukan rasa nyeri yang menusuk kaki yang aku sesali, melainkan aku termakan buah dari kesombonganku. Pasti citraku sebagai pangeran penuh wibawa di mata Ele seketika hancur gara-gara ulahku sendiri.

Pasti wanita itu akan menertawakanku akibat aku bersikukuh menolak bantuan.

Namun Ele buru-buru membantuku beranjak berdiri. "Sudah kubilang, 'Biar aku bantu'. Kenapa Tuan keras kepala sekali?" omel Ele.

Baru kali ini ada wanita asing yang berani mengomeli aku, apalagi kastanya sangat jauh. Namun, bukannya kesal, aku malah menyukainya. Omelan Ele menyiratkan kekhawatiran yang begitu tulus. Sudah lama aku tak mendapatkan perhatian dari wanita yang aku cintai.

Lagi-lagi, aku menggeleng cepat, berusaha menepis kebobrokan otakku. Bisa-bisanya aku membanding-bandingkan Brianna dengan Ele? Jelas saja tunanganku jauh lebih dari semua wanita di dunia ini.

Namun, kali ini, aku tidak bisa mengedepankan gengsiku, tak menutup kemungkinan kalau aku bisa terjatuh kapan saja dengan gaya lebih memalukan lagi.

Aku tak menolak saat Ele refleks meraih tanganku dan melingkarkan di lehernya yang jenjang. Wanita itu menuntunku dengan penuh hati-hati menuju sofa tamu yang begitu sederhana.

Terdapat dekorasi yang terlihat sudah lama di meja dan dinding. Namun, aku terpaku cukup lama ketika mendapati banyak mainan berserakan di lantai.

"Jadi ternyata kamu sudah menikah?" sergah ku terkejut. "Kenapa kamu tidak memberitahuku—" Lantas, aku langsung mengatup bibirku rapat-rapat.

Sontak saja aku nyaris menampar mulutku ketika pertanyaan itu lolos begitu saja tanpa izin.

Aku kesal, karena nada bicaraku seperti terdengar kecewa. Di sisi lain, aku tak bisa berkata-kata akibat kaget. Padahal akulah yang menyeleksi lamaran kerja Ele, tetapi malah aku orang yang tak tahu jika perawat Brianna telah menikah, bahkan sepertinya sudah memiliki anak.

Ele mendudukkan aku dengan pelan-pelan di sofa, kemudian tersenyum sopan. "Benar, Tuan. Namun, suamiku sudah meninggal beberapa bulan lalu."

Aku terbelalak. "Meninggal?"

Ele mengangguk anggun.

Dadaku langsung bercampur adu ketika mendengarnya. Entah aku harus berekspresi seperti apa. Namun, malah tiba-tiba rasa senang yang makin menyelimuti hatiku. Seharusnya aku iba dan prihatin pada musibah yang dialami wanita itu.

Brengsek! Kau jangan termakan dengan omongan kau sendiri! Ingat! Kau sudah mempunyai calon istri, bahkan sebentar lagi kau akan menikahinya!

"Oh." Aku pura-pura melihat-lihat interior rumah, berusaha bersikap cuek.

"Aku akan menghubungi dokter, tunggu sebentar."

Aku diam-diam memandangi Ele ketika sedang berjalan menuju telepon rumah. Aku baru menyadari Ele begitu cantik dalam gaun merah ala pelayan. Tubuhnya langsing, kulitnya putih bersih dan terawat.

Benar-benar sempurna di mata seorang pria berselera tinggi sepertiku.

Berbeda dengan penampilan Brianna semenjak lumpuh. Kekasihku terlihat lebih kurus. Apalagi kulitnya yang mulai kusam akibat tak lagi melakukan perawatan.

Aku spontan memukul-mukul kepalaku ketika otakku mulai liar. Bagaimana bisa aku membanding-bandingkan Brianna dengan Ele, wanita dari kasta bawah? Aku telah memiliki segalanya dalam sosok Brianna. Ia baik, cantik, manis, yang terutama cerdas.

Berbeda dengan Ele. Meskipun aku akui dia tak kalah cantik dari Brianna, tetapi Ele tak sehebat kekasihku. Tak ada yang bisa menandingi kesempurnaan yang terdapat di dalam diri Brianna.

"Ayolah ... dia sedang terluka parah, Roy."

Rengekan Ele memecahkan pikiranku yang kini sering bentrok dengan perasaanku.

"Roy?"  

The RecklessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang