eight

139 18 3
                                    

"You stalkin' me?" Tuduhku. Tatapannya berubah dari dingin menjadi kesal. Bukan salahku kan jika aku menuduhnya? Karena ini terlalu kebetulan. Menurutku.

"Lo pikir lo siapa?!" Lagi-lagi kalimat menyebalkan itu yang keluar dari bibir indahnya. Aku balas menatapnya sebal.

"Sayangnya gue calon istri lo." Gue menatapnya dengan mencemooh.

"Dan lo pikir karena itu gue stalking lo?!" Aku hendak menjawab tapi ia keburu bicara lagi. Tanda tak butuh jawabanku. Padahal aku ingin sekali menjawabnya. "Gue ngga ada waktu ngeladenin bocah tengik kayak lo!" Lanjutnya yang kemudian kembali melangkah untuk meninggalkanku yang tengah syok karena dikatai bocah tengik olehnya.

Sialan!

Aku yang tak terima kembali mengejarnya dan menghantam kepalanya dengan shoulder bag gucci kesayanganku.

"Fuck!! What the hell, Milan?!" Umpatnya. Ia terlihat tak menduga aku melakukannya. Ia mengelus kepala belakangnya yang kemungkinan lumayan sakit. Tapi... tunggu, tunggu.

"What the hell, Milan?!"

Milan?

Jadi, sekarang ia sudah mengingat namaku? Bukannya ia hanya mengingat sesuatu yang penting saja?

Brengsek!! Kenapa aku malah senang?!

Sadar, Milan!! Lo tuh lagi marah ceritanya, bego!

"Rasain! Siapa suruh ngatain gue bocah tengik?!" Mendengarnya, ia menatapku sembari menahan sesuatu. Mungkin amarah. Kulihat ia menarik napas perlahan sebelum menghembuskannya. Lalu tanpa sepatah katapun ia kembali berjalan. Aku mengikutinya. Aku ingin adu mulut dengannya. Entah kenapa tiba-tiba aku seperti bocah haus perhatian.

Benar-benar menyedihkan!

Mungkin ia benar bahwa aku bocah tengik, tapi tetap saja menyebalkan saat ia yang mengataiku.

Ia berjalan menuju mobilnya. Aku cukup terkejut saat melihat ada seorang wanita terbaring tak sadarkan diri di jok tengah penumpang saat Reaksi membuka pintunya.

"What the fuck!" Aku bergumam dramatis sembari menutup mulutku dengan telapak tangan. Reaksi menatapku tajam tapi tak mengatakan apapun.

"Apa dia salah satu korban lo?!" Tudingku. Mendengarnya, ia pun memutar bola mata.

Wow.

"Barangkali lo lupa, barusan gue hampir jadi korban pembunuhan." Sindirnya. Aku diam tapi memberengut. Ia menatap wanita itu lalu ganti menatapku.

"Sini," suruhnya. Tidak terlalu mengintrupsi lebih kepada meminta. Tapi bisa ngga sih nadanya tu yang halus gitu? Udah kayak kanebo kering aja, hih!

"Gue?" Ia mendengus kesal.

"Siapa lagi?!" Rasanya aku ingin menolak dan membantahnya, tapi kakiku tidak sinkron dengan hati dan pikiranku.

Aku pun mendekat pada mobilnya dan kudengar rintihan dan desahan wanita itu.

"Ahh... panas... Aksiii... tolong..." rintih wanita itu dengan lemas. Tapi gerakannya gusar.

"D-dia kenapa?" Tanyaku panik. Yang ditanya malah memperlihatkan raut geli.

Dasar psycho!

"Ahh... tolong, tolong gue, Si. Gue butuh lo. Ahh!" Lagi-lagi wanita itu mendesah, membuatku bergidik. Ia tiba-tiba menekuk kakinya dan melebarkannya, membuat— apa itu? Sepertinya itu G-string seperti milik Erika.

Whattt?!

Mungkinkah wanita ini... horny? Ah, aku ingat dulu Erika pernah bercerita bahwa ia pernah mengalaminya dan ia berakhir di hotel seorang diri dalam keadaan telanjang karna di dalam minumannya di masukkan obat perangsang.

Sontak aku langsung menatap Reaksi tajam dan menyelidik. Jangan-jangan ini ulahnya!

"Apa?!" Ia balas menatapku malas, tampak tak terima dengan tatapanku yang mencurigainya. Galak banget. Hih!

"Hufft. I don't care what you're thinking about btw." Katanya kemudian. "Gue cuman mau minta tolong kasih dia minum." Pintanya sembari menyodorkan sebotol air mineral padaku. Aku mengerjapkan mata.

Kalau seandainya aku tidak disini pasti Reaksi akan melakukannya bukan? Entah kenapa pikiran itu membuatku kesal.

Kenapa gue bisa dijodohin sama bajingan sih?

"Kenapa ngga lo sendiri? Ngga usah sok karena ada gue trus lo jadi jaga image deh. Kalo ngga ada gue disini juga paling—" aku mendadak berhenti saat tiba-tiba ia sudah beberapa inci di depanku dan menggebrakkan kedua telapak tangan ke mobilnya. Membuatku berjingkat dan memejamkan mata erat.

Saat aku membuka mata, aku langsung berhadapan dengan wajah tampan bak pangeran. Tapi sayang, pangeran yang luar biasa tampan ini tampak marah.

Aku meneguk ludah.

"Lo keberatan?!" Tanyanya, menusuk. Aroma mint yang keluar dari mulutnya membuatku hampir meleleh seperti es batu. Aku berusaha tetap menopang tubuhku dengan bersandar erat pada mobil. Bahkan mataku pun menyayu saat matanya tak melepas mataku. Sialan.

Aku benci efek yang ditimbulkannya saat ini. Efek tak berdaya?

Aku sampai lupa pertanyaan apa yang diajukannya.

Kini matanya beralih dari mataku turun ke bibirku. Rasanya aku mau oleng sekarang juga. Hingga ekor mataku menangkap tangannya mengepal kuat di samping kepalaku. Juga ekspresinya yang tiba-tiba berubah menakutkan. Lalu beberapa detik kemudian, tanpa aba-aba ia menjauh dengan cepat. Ia membenarkan leather jacketnya.

Aku mengerjap tak percaya dan rasanya kesadaran dan kekuatanku sudah kembali.

"Gue benci harus jelasin ini ke bocah padahal seharusnya ngga perlu." Mendengar kata bocah membuatku jengkel. Aku menyilangkan kedua tangan ke dada.

"Tapi, mau ada lo atau ngga, hasilnya akan tetap sama." Lanjutnya. Jadi maksudnya walaupun ada aku atau tidak, dia bakal tetap ngapa-ngapain sama cewek itu.

"Oke, have fun." Ucapku sambil memutar bola mata dan hendak berbalik tanpa ingin tahu bagaimana reaksinya. Tapi erangan wanita itu kembali terdengar. Entah kenapa itu mengusikku. Aku pun mengurungkan niatku.

"Itu cewek mau lo bawa kemana?" Tanyaku. Ia tidak langsung menjawab tapi malah menaikkan alis kanannya keatas.

"Mungkin hotel." Jawabnya kemudian tanpa sungkan. Kan? sudah kuduga bajingan satu ini memang berengsek. Aku ini calon istrinya loh. Maksudku, ya aku tau aku memang akan membebaskannya tapi bisa tidak ia menghargaiku? Maksudnya jangan seterang-terangan ini bisa ngga sih?!

Aku mengepalkan tanganku. Kesal.

Aku pun mendekat.

"Apa yang harus kita lakuin sama dia?" Tanyaku lagi. Sekilas aku melihat ujung bibir kanannya tertarik ke atas. Namun hanya sekilas.

"Kasih minum air putih yang banyak."

"Apa... apa dia harus—mmm...?" Aku bingung bagaimana cara mengatakannya. Lagi-lagi alis kanannya terangkat ke atas. Menungguku.

"Mmm... maksud gue apa... apa dia perlu mmm..." aku menggigit bibirku. Ia masih menungguku.

Glek.

"Apa dia... perlu—dipuasin?"

****

Halo guyss... balik lagi sama akuuu...
Apa kabar semuanya? Baik-baik kan? Lama tak bersua ya... akhirnya bisa lanjutin cerita ini... huhuhu terharu.

Udah dimasukin ke library kalian belum nih?

Btw gmn part ini? Plis komen guys... yang banyak.

Menurut kalian sejauh ini karakter utamanya gimana?

Milan?

Reaksi?

Ada chemistrykah antara mereka berdua?

Komen yaa... dan jangan lupa vote juga biar banyak yang baca hihihi

Udah dulu yaa...

Thanks love😘😘

Qué Será SeráTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang