eleven

61 10 2
                                    

"Bagus." Pujinya datar yang kurasa tidak dari hati. "Tapi gue kurang suka." Tambahnya yang antara terprediksi dan tidak.

Whattt?! Bitch!

Reaksi kembali kepada telponnya sebelum ia mengakhirinya. Kak Eci tampak kaget.

"Tapi yang penting Milannya suka, kan?" Kak Eci mendukungku.

"Kan dia yang mau pake." Celetukku kesal yang membuat Kak Kaia tertawa. Sedangkan Reaksi menatapku tajam.

"Kamu lucu juga ya." Kak Kaia menyentuh daguku lembut.

"Tau deh Aksi ini. Lagian ini bagus banget di badan Milan. Padahal dia keliatan anggun tapi tetep ada kesan sexynya." Ujar Kak Eci.

"Justru itu." Sahut Reaksi tanpa kuduga, membuatku tersentak. "Justru itu?" Maksudnya apa?!

"Kira-kira ini mau berapa gaun?" Tanyanya kemudian.

"Aku mau satu gaun aja." Kataku sebelum Kak Eci menjawab. Lagipula buat apa lebih dari satu jika pernikahan ini tidak serius untukku?

"Tapi--" Kak Eci hendak protes.

"Nggak papa, Kak." Aku tersenyum meyakinkan. Toh, acara pernikahan ini adalah intimate wedding yang mana mengundang tidak lebih dari 100 tamu saja. Hanya kerabat dekat, sahabat dan beberapa kolega kakek dan Opa Hengky. Jadi kupikir tidak akan berlangsung lama. Dan aku bersyukur mereka menyetujui permintaanku ini.

Lalu, jika ada yang bertanya apakah akan ada bridesmaid? Maka jawabannya tidak ada. Karena bagiku Erika dan juga Tiwul sudah cukup special bagiku untuk hadir di pernikahan pura-pura ini.

Reaksi mendekat dan mengamatiku, membuatku tiba-tiba merasa gerah. Aku menelan ludah. "Menurut gue ini kurang sopan untuk sesuatu yang sakral."

Sakral? Hello? Ini kan cuma pura-pura. Tapi, mungkin Reaksi sedang acting.

"Hah?" Aku menyukai gaun ini walaupun bagian dadaku mungkin terlalu terbuka. Ia hendak membuka mulutnya namun tidak jadi.

"Mungkin maksud Aksi yang kayak gini?" Kak Kaia tiba-tiba menunjukkan sebuah gaun long sleeve A-line yang juga indah.

"Ya, ini keliatannya jauh lebih sopan." Katanya mantap. Kak Kaia tersenyum. Sedangkan aku memutar bola mata.

"You wanna try?" Aku pun mengangguk pasrah dan Kak Kaia mendampingiku menuju fitting room.

"Kamu yang sabar, ya. Dia agaknya possesive?" Bisik Kak Kaia sembari tersenyum gemas. Aku tertawa dan menggeleng.

Lucu sekali membayangkan Reaksi possesive padahal sama sekali tidak. Tidak mungkin!

"Dia masih nganggep aku bocah, Kak." Keluhku kemudian. Ia tersenyum lagi.

"Kamu lucu sih soalnya." Pujinya gemas. Setelah itu ia membantuku melepas gaun yang pertama dan mengenakan gaun yang kedua.

"Wow, ini juga cocok. Kali ini pasti Aksi setuju." Takjub Kak Kaia. Yah, aku tidak peduli sebenarnya(?)

"Gimana Si? Ci?" Tanya Kak Kaia meminta pendapat saat kami keluar. Keduanya langsung menatapku.

"Ini juga bagus banget." Kak Eci terpukau.

"Soalnya badan dia juga bagus." Timpal Kak Kaia.

"Cuman gue lebih suka yang pertama sebenarnya soalnya keliatan anggun tapi sexy." Sesal Kak Eci. Sedangkan Reaksi, ia masih menatapku sebelum bersuara.

"Ini lebih bagus." Tukasnya yang sialnya membuatku merona. Padahal yang ia puji adalah gaunnya, bukan aku.

Jadi, kami memutuskan untuk memilih gaun yang kedua. Seandainya ini pernikahan sungguhan, aku akan memilih gaun sesuai seleraku, dengan tema pernikahan impianku.

Qué Será SeráTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang