five

365 46 3
                                    

"Lan," panggil Kak Adhesi atau yang biasa aku panggil Kak Eci, salah seorang kakak Reaksi yang cukup dekat denganku. Ia menghampiriku dan memelukku dengan raut bahagia.

"Kakak seneng banget akhirnya kamu yang bakal jadi adik ipar kakak." ungkapnya, suaranya terdengar tulus sampai-sampai rasanya aku akan berdosa jika tidak berusaha tersenyum.

"Aksi pasti beruntung bisa berjodoh sama kamu." katanya setelah melepaskan pelukannya.

Beruntung apanya?! Pasti Reaksi menganggap ini adalah bencana.

"Hehehe. Kakak bisa aja. Tapi, kita belum saling kenal satu sama lain."

"Ahh, masih ada banyak waktu buat saling mengenal satu sama lain. Aksi memang kadang suka nyebelin tapi sebenarnya dia baik dan peduli kok." aku hanya menyunggingkan senyum.

"Oh ya, kalau gitu Kakak pamit dulu, ya. Zat sama Gen udah ribut nanyain maminya." pamit Kak Eci sembari mengecup pipiku. Aku pun mendengus tersenyum mendengarnya.

"Titip cium buat Zat sama Gen ya, kak."

"Oke." Kak Eci pun mengecup pipiku sebelum ia pergi.

Aku segera menuju ke kamar dan berjalan mondar-mandir. Sedih, marah dan juga kesal. Bagaimana bisa tiba-tiba aku akan menikah? Apalagi ini pernikahan bisnis. Ini sama sekali bukan yang kuinginkan atau kubayangkan seumur hidupku.

Aku hanya ingin menikah dengan pria yang benar-benar tulus mencintaiku dan menerimaku apa adanya. Bukan dengan Reaksi yang tak pernah terbayangkan olehku.

Walaupun ia luar biasa tampan, tapi aku bahkan tidak pernah membayangkan bisa bersamanya. Maksudku seperti berbicara. Apalagi tiba-tiba menikah dengannya. Terlebih jarak usia kami yang terpaut tujuh tahun. Akan jadi seperti apa rumah tangga kami nantinya?

Saat aku sedang galau-galaunya, Mama membuka pintu kamarku sembari mengetuk. Aku pun berhenti dan langsung menghampiri Mama yang sudah masuk ke dalam kamarku.

"Ma," aku yang mewek menghambur ke dalam pelukannya. Ia mengelus punggungku lembut, menenangkanku.

"Milan nggak mau, Ma. Hiks... Milan nggak mau." isakku. Ia menepuk-nepuk punggungku pelan dan aku dapat merasakan ia tengah menelan ludah karena gerakan di tenggorokannya.

"Kita duduk dulu, ya." ajak Mama yang menuntunku ke ranjangku. Ia menatapku sedih, menangkup wajahku lalu mengusap air mataku.

"Milan—hiks, Milan belum ingin menikah." ungkapku dengan terisak. "Kenapa sih Milan harus dijodoh-jodohin dan diputusin gitu aja? Hiks. Kenapa nggak minta pendapat Milan dulu?"

Mama mengelus rambutku. Raut wajahnya muram. Aku kira, semua ibu akan bahagia mengetahui putrinya akan menikah apalagi dengan seseorang yang digadang-gadang sebagai husband material. Tapi Mama terlihat berkebalikan dari senang.

"Perjodohan kalian memang sudah ditetapkan sejak kalian kecil, sayang."

"Tapi memangnya nggak bisa diubah, Ma? Reaksi pasti juga nggak setuju kan sebenarnya?"

"Seandainya Reaksi juga nggak setuju. Tapi Reaksi setuju, sayang. Itu artinya dia bersedia bertanggung jawab atas pernikahan ini, juga bertanggung jawab atas kamu." ujar Mama yang mengejutkanku, membuat isakanku terhenti.

Nggak mungkin!

Reaksi nggak mungkin setuju gitu aja. Pasti ada sesuatu yang dia rencanain. Dan aku harus tau apa itu.

Apa dia mau balas dendam gara-gara perkara "titit kecil" itu?

Tapi rasanya konyol jika itu alasannya.

Qué Será SeráTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang