two

535 58 0
                                    

"Kenapa?" tanyanya pada Virgo yang hanya menampakkan kepala dibalik pintu.

Mampus gue!

"Ngga tau nih. Katanya rahasia." dustanya dengan begitu lancarnya. Aku melongo takjub hingga merasa rahangku jatuh ke bawah. Benar-benar luar biasa kakakku yang satu ini.

"Gue ke bawah dulu deh." katanya sembari mengedipkan sebelah matanya yang kubalas dengan tatapan ingin mencekiknya sebelum ia benar-benar meninggalkanku. Berdua dengan Reaksi dalam satu ruangan.

Mimpi apa gue semalem?!

Sebenarnya secara teknis tidak dapat di katakan dalam satu ruangan karena aku didalam kamar dan ia diluar kamar. Hanya dipisahkan oleh daun pintu. Tapi kan tetap saja. Iya, kan?

Aku menelan ludah saat melihat Reaksi. Berapa lama aku tidak bertemu dengannya? Sepertinya setengah tahun. Dan jujur saja, rasanya susah melupakan bagaimana wajah tampannya itu. Terakhir kali bertemu dengannya, aku ingat rambut ikal gondrongnya yang sekarang terlihat lebih pendek. Tapi tetap saja, rasanya aku ingin menyingkirkan ikal rambut yang ada didahinya. Walaupun keluarga kami memang sering bertemu dalam keadaan tertentu tapi Reaksi jarang sekali hadir. Sesekali ia memang hadir tapi lebih sering tak terlihat keberadaannya.

"Apa!" tanyanya dingin yang sehingga tidak terdengar adanya nada tanya disana. Keningnya mengerut sempurna dan matanya tampak tak bersahabat sama sekali. Dan ini adalah kata pertama yang ia lontarkan padaku setelah tahun-tahun memalukan itu berlalu. Aku membencinya. Membenci caranya menatapku yang seolah aku ini musuh, juga membenci kata apa dari bibir indahnya yang mengundang untuk dicicipi.

Glek.

Barusan aku bilang apa? Dicicipi? Oke, aku pasti sudah tidak waras.

"Virgo ngarang. Ngga ada yang perlu diomongin kok." ujarku dengan keberanian yang datang entah dari mana. Bahkan aku mempertahankan mataku untuk membalas tatapannya. Well, ini kemajuan.

"Lo yakin?" ia tampak tak yakin seolah memang ada yang harus aku bicarakan dengannya. Hello? Memangnya kita teman?

Aku mengangguk yakin. Lagi-lagi ia mendengusiku dan aku langsung merasa seperti babi. Kekesalanku bertambah. Beberapa menit lalu karena Virgo dan sekarang karena pria luar biasa tampan dihadapanku ini. Jadi, aku membanting pintuku di depannya.

Belum sampai aku berjalan ke ranjangku, pintu kamarku sudah terbentang lebar. Aku menoleh dan mendapati raut kesalnya.

"Lo ngga punya sopan santun?!" aku berjengit. Tapi, satu, dua-lima. Ini kalimat terpanjangnya. Dan semua kata-kata itu langsung kubenci.

"Sopan santun? Please ngaca! Menurut lo kayak gini sopan?" aku menirukan caranya mendengusiku. Ia pun tersentak. "Lo bakal ngerasa seolah lo babi, bukan?" aku meluapkan kekesalanku selama ini.

Wow, aku berani. Aku berani pada Reaksi dan aku bangga. Tapi...kalau dipikir lagi, hanya ini kesempatan yang aku punya selama ini. Karena, bagaimana aku mau berani kalau belum juga kami bertemu, ia selalu bertingkah berengsek?

Ia tak bergerak. Tatapannya tak terbaca. Lalu matanya bergerak memandangiku dari atas ke bawah. Berulang hingga dua kali.

Aku menelan ludah dan langsung mengkhawatirkan penampilanku.

Apa gue keliatan jelek?

"Ternyata bener lo udah gede." katanya, tak terduga.

"Baguslah kalau lo sadar." balasku.

"Bagus." caranya mengatakan bagus terdengar ganjil bagiku. Antara mengerikan dan mengundang karena aku merasakan desiran aneh dalam tubuhku. Matanya tak terlepas dari tubuhku yang hanya mengenakan tank top dan hot pants. Tapi bukan seperti tatapan mesum, melainkan marah.

Kami tak mengatakan sepatah kata apapun lagi. Hanya mempertahankan tatapan satu sama lain. Seperti, siapa yang mengalihkan tatapan lebih dulu maka ia kalah. Tapi sepertinya itu hanya pikiranku saja, karena kita kan tidak sedang berkompetisi apapun.

"Lan," kami sontak bersamaan mengalihkan tatapan ke arah suara itu. Kak Gaby, istri Kak Arsen. Ia menatap kami bergantian dengan tanda tanya. Namun hanya sekilas dan digantikan dengan senyuman di bibirnya.

"Dipanggil Mama." katanya.

"Ya, bentar lagi Milan turun kok."

"Oke," ia sekali lagi menatap kami bergantian sebelum akhirnya meninggalkan kami. Reaksi, menatapku lagi lalu berjalan mendekat, membuatku menahan napas. Ia masuk kamarku.

Ya Tuhan... Ia masuk ke dalam kamarku.

Tubuhnya yang jangkung menjulang di hadapanku yang hanya setinggi satu setengah meter. Mungkin, jika ia memelukku, maka pipiku akan menempel sempurna di dada bidangnya. Lalu ia akan meletakkan dagunya dipuncak kepalaku saat tangannya melingkari tubuhku.

Shit! Gue mikir apa sih?!

Aku menelan ludah dengan kesusahan dan mencoba fokus pada wajah tampannya yang baru kali ini kulihat dengan jarak sedekat ini. Bulu matanya lentik dan tebal, berpadu dengan alisnya yang sempurna. Hidungnya bertengger pas diantara matanya. Bibirnya mengundang. Dan rahang tegas dengan jambang pendek yang menghiasinya.

Sempurna.

Aku masih menahan napas.

"Lo bener. Cuma babi yang ngga minta maaf kalo dia salah." katanya yang membuat paru-paruku langsung terjun seketika. Ia tidak peduli dengan ekspresiku dan keluar dari kamarku begitu saja.

Apa dia bilang?! Apa artinya dia memang ngatain gue babi?!

"Dasar Reaksi babi!" pekikku kesal. Entahlah ia mendengar atau tidak, tapi semoga saja ia mendengar. Lalu ia kembali dan kami akan adu jotos.

Membayangkannya, aku meringis ngeri. Sudah pasti aku akan langsung tersungkur mengingat aku tidak pernah mengikuti latihan bela diri apapun dan dia jauh lebih jangkung dariku.

Aku mendesah dan mengingat kata-kata terakhirnya saat aku duduk di ranjang.

Babi.

Tapi tunggu. Jadi ia masih belum melupakan kejadian itu? Dan ia tersinggung? Karena apa yang aku sebutkan benar?

Aku mengerjapkan mata. Jadi, itu benar? Karanganku benar?

Lalu aku pun tak bisa menahan ledakan tawaku. Aku tak pernah melihat barang cowok manapun tapi entah kenapa menurutku ini lucu.

"Astaga," aku menghapus air mata yang menitik di ekor mataku. Kemudian aku bergegas turun ke bawah dan menemui keluarga Reaksi. Dan selama berada disana bersama mereka, sesekali aku dan Reaksi saling menatap tajam.

Tetap menyebalkan memang. Tapi, menurutku jauh lebih baik daripada sengaja di dengusi seperti babi.

****

Qué Será SeráTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang