3. Dikendarai Pak Sopir

78.2K 732 58
                                    

Sebelum meluncur ke rumah kontrakan Bang Gunan, aku meminta izin terlebih dahulu ke tanteku. Semakin dekat langkahku menuju warung tanteku, semakin bertambah pula rasa gugupku. 

Aku masih belum mampu menghadapi kemungkinan terburuk apabila tante menolak pintaku. Tetapi, bagaimanapun juga aku harus mengusahakannya. Aku tidak akan membiarkan kesempatan emas ini berlalu begitu saja. 

"Tante, malam ini aku mau pergi ke kontrakan Bang Gunan. Boleh, kan?" ucapku meminta restu. 

"Bukannya kamu harus ujian akhir, Ki?" sergah tanteku seraya melemparkan tatapan setajam silet. 

"Ujian akhir udah selesai, kok, tante. Tinggal menunggu pengumuman kelulusan," jawabku berkelit.

"Afakah real?" ucap tante masih berusaha memojokkanku, mendorong ketakutanku.

"Real, tante," balasku bersikukuh. 

"Kamu mau ngapain aja di sana? Gak ada miras, kan? Awas kamu diculik. Dia tidak terlibat sindikat perdagangan anak, kan? Coba jelaskan semuanya ke tante sekarang," ujar tanteku memupuskan harapanku berkeping-keping.

Tiba-tiba saja, sebuah telapak tangan merangkul pundakku. Kepalaku bergerak cepat dan bertanya akan siapa gerangan. Aku syok berat karena pria yang merangkulku adalah Bang Gunan sendiri. Dan kewarasanku beralih status menjadi kritis ketika sadar bahwa Bang Gunan masih enggan memakai bajunya. 

"Mbak, Kiki boleh main ke kontrakan saya, nggak? Saya butuh teman karena kurang tahu daerah sini. Boleh, kan, mbak?" ucap Bang Gunan mengizinkanku, seraya memperlihatkan tubuh kekarnya kepada tanteku.

"Eh... abang ganteng. Tentu saja boleh. Wah, saya sebenarnya senang kalau Kiki main di luar. Biar dia punya pengalaman. Anak zaman sekarang kebanyakan main hape," cerocos tanteku. 

"Terima kasih, mbak. Nanti malam saya yang akan mengantarkan Kiki pulang," timpal Bang Gunan.

"Ah, tidak apa-apa. Tidak usah repot-repot. Menginap juga boleh, kok," balas tanteku genit. 

Izin telah aku dapatkan. Bang Gunan menuju parkiran, mengambil sepeda motorku. Sedangkan, tante menyuruhku untuk menunggu. Ia membungkus beberapa lauk dan nasi untuk makan malam kami berdua. 

Aku berjalan menuju parkiran dan mendapati Bang Gunan telah menungguku. Ia duduk di atas sepeda motorku, terlihat pegitu gagah perkasa. Terlebih, dipadu dengan otot-ototnya yang masih enggan dibalut kain. 

"Naik, Ki

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Naik, Ki. Biar abang yang bonceng kamu." 

"Oke, bang." 

Bang Gunan melajukan sepeda motor dengan sedikit ugal-ugalan, mengharuskanku untuk berpegangan pada sesuatu. Tanpa seizinnya, tanganku memeluk otot-otot perutnya yang kokoh dan keras. Sisa-sisa keringat yang mengering pada tubuhnya seakan menghipnotisku, membawaku pada imajinasi liar.

Aku terhipnotis olehnya. Tanganku bergerak liar, berjalan-jalan menguasai otot dada dan perutnya. Tanganku menghitung tiap bongkahan otot perut, memastikan tiap baloknya kokoh dan solid. 

Pelan-Pelan Pak Sopir [GAY LOKAL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang