Satu
Nadya memilin jemarinya ketika lelaki di depannya menatapnya tak percaya. Tatapannya menunduk tak kuasa bila harus melihat tuntutan untuk menjelaskan alasan mengapa dia melakukan ini.
"Kasih satu alasan saja biar aku terima keputusanmu dengan lapang dada."
Tak ada. Batinnya berteriak keras.
"Nad..." panggil lelaki di depannya nyaris putus asa.
Bagaimana tidak, hubungan yang keduanya bangun cukup lama terjalin. Satu tahun? Dua tahun? Tidak. Sebelas tahun hubungan itu terjalin tanpa ada pertengkaran berarti, bahkan lontaran putus pun tak pernah keduanya lewati. Padahal banyak teman-teman mereka menyangsikan keawetan hubungan mereka. Dan kini, tanpa ada badai di tengah-tengah hubungan manis mereka yang digadang-gadang akan naik tingkat, Nadya, perempuan yang dia kasihi sepenuh hatinya mengatakan keputusan akan berakhirnya hubungan mereka.
"Beda kasta..." Nadya menjawabnya lirih, nada getir juga suara gemetar sebisa mungkin dia sembunyikan. Dia harus tega mengatakannya, karena itu memang kenyataannya.
"Nad!" sentak lelaki itu tak menyangka kalau ini, pada akhirnya yang menjadi alasan putusnya hubungan mereka. "Bukankah kita sudah pernah membahasnya dulu? Dan kamu bilang kamu bisa menerimanya, kamu akan berusaha menemani aku--
"Tapi tidak dengan keluargaku, juga keluargamu yang kadang masih meragukan kesanggupanku," potong Nadya cepat yang sekarang tanpa susah payah menyembunyikan nada suaranya yang bergetar.
"Yang menikah kita, Nad, yang menjalani juga kita. Kenapa sekarang kamu berubah pikiran, Nad?" tanya lelaki itu tak menyangka. Jika untuk kasta, apa yang bisa dia usahakan untuk merubahnya? Karena mau sekeras apapun usahanya, dirinya tak akan pernah sebanding dengan perempuan yang kini di depannya yang dulu menyanggupi semuanya.
"Tapi pada akhirnya kita berhubungan dengan keluarga kan? Pada akhirnya, mau memisahkan diri seperti apappun, pada akhirnya keluarga ada pengaruhnya bagi pernikahan."
Tangan Nadya yang gemetar dia paksa untuk mengambil kertas yang sedari tadi tersimpan rapi di tasnya. Diserahkannya secara perlahan ke arah lelaki di hadapannya, keheningan melingkupi mereka sejenak sebelum tawa lelaki itu menguar hingga beberapa orang yang berada di sekitar mereka memberikan atensi pada keduanya.
"Jadi akhirnya ini, Nadya? Kamu menikah dengan orang yang tingkat strata kalian sama?"
Sabda, lelaki yang telah membersamainya sejak masih duduk di bangku putih abu-abu itu kini tertawa sinis membaca deretan nama yang ada di kertas undangan berwarna gold yang tampak mewah juga elegan. Khas orang berkasta tinggi seperti mereka.
"Jadi, pada akhirnya aku harus mundur dari lelaki yang memiliki strata sama dengan keluargamu? Sudah berapa lama kalian kenal, Nadya? Apa selama kita berhubungan kamu juga menjalin hubungan dengan dia hingga kamu sekarang memberikan undangan pernikahan ini samaku, Nadya?"
Begitu lebih baik. Dengan begitu Nadya yakin, Sabda akan mudah melupakannya jika dia melukai lelaki itu sedalam ini.
"Anggap saja begitu," sahut Nadya pelan bersiap pergi meninggalkan Sabda yang masih menatap lekat nama yang tercetak di surat undangan mewah itu.
"Sebutan apa yang pantas aku sematkan untukmu biar setimpal dengan rasa sakitku, Nadya?"
Nadya berhenti, punggung wanita itu menegak namun tak urung membalikkan tubuhnya yang benar-benar tidak berdaya di depan Sabda.
"Terserah kamu."
Setelahnya, Nadya memejamkan matanya berharap bila ini memanglah yang terbaik untuk mereka. Bila ini memang pilihan yang tepat. Karena bila pun keduanya bersikeras untuk bertahan, bukan tidak mungkin lukanya melebihi saat ini bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
NADI
RomanceApalah arti sebelas tahun lamanya bersama bila pada akhirnya dikhianati sedemikian rupa. Nadya, memilih memutuskan hubungan yang sudah dia jalani bersama Sabda meski sudah terjalin lama. Sakit? Sudah pasti. Tapi dia sudah berjanji tak akan memberika...