empat

566 66 0
                                    

Empat


"Harusnya kamu pilih Nay WO, ini kenapa dealnya sama WO murahan gini sih, Nad?" Indah, ibu Nadya yang baru mendudukkan bokongnya ke kursi menatap anaknya sengit. Nadya yang ditetap tajam begitu seperti tak terganggu dan lebih memilih sampel model undangan. "Nadya!"

Nadya menyisihkan pilihannya, dia mendongak menatap ibunya dengan tatapan datarnya. "Itu pilihan ibunya Dirga, Ma, Nadya bisa apa?"

Toh, baginya WO pilihan ibu Dirga gak begitu murahan seperti yang ibunya katakan. Beberapa artis ibu kota juga ada yang menggunakan jasa WO tersebut, meski tidak semahal dan seterkenal Nay Wedding organizer.

"Kan kamu bisa bilang kalau udah punya pilihan. Gak mungkin lah, keluarga Wiratama keberatan memilih sekelas Nay WO," bantah Indah yang masih ngotot dengan pilihannya.

Nadya tersenyum sinis, pilihan dia katanya? Bahkan bermimpi nikah dengan resepsi besar-besaran tak pernah ada dalam bayangannya. Sedari dulu dia menginginkan sebuah pernikahan sederhana yang intimate dan terkesan minimalis. Bahkan kalau hanya akad di KUA kemudian makan-makan dengan kedua keluarga baginya sudah cukup. Tak perlu uangnya dibakar demi menghidupi gengsi yang mengakar. Baginya, uang sebegitu banyaknya masih bisa diputar buat usaha atau mungkin ditabung untuk keperluan setelah menikah. Setelah menikah masih akan makan dan kebutuhan tetap berjalan kan?

Malah setelah menikah itulah kehidupan yang sebenarnya dimulai. Oh, atau masa-masa akan di lalui sebulan dua bukan usai masa honeymoon? Entahlah, karena nyatanya semuanya serba membutuhkan uang. Terlalu sayang jika digunakan demi gengsi yang tak ada habisnya.

"Itu pilihan Mama dan mbak Mila, bukan Nadya," ucap Nadya dengan tenangnya.

Berbeda dengan Indah yang kini menunjukkan raut murkanya. Wajah yang penuh hiasan bak ibu-ibu sosialita kota itu kini merah padam. "Standarmu masih seperti dulu, Nad? Terlalu lama berhubungan sama orang miskin nyatanya membuat pikiranmu ikutan miskin ya, Nad?" cecar Indah kembali membawa topik Sabda.

"Ma!"

"Apa? Masih mau bela laki-laki gak tau diri itu? Sudah diselingkuhi begitu masih tutup mata kamu, Nad? Sedari awal mama sudah bilang, kalau lelaki miskin itu bukan hanya hartanya aja yang miskin, akhlaknya juga minus--"

"Ma!" Tak kuasa mendengar lanjutan ucapan ibunya yang kembali mengungkit semuanya.

"Apa? Benar kan? Dia itu gak tau diuntung, sudah miskin selingkuh lama pula. Dan kamu yang bodoh itu bisa-bisanya baru tahu sekarang. Bodoh banget kamu dikibulin dia, Nad. Sudah mama bilang sama orang yang keluarganya benar-benar baik, terpandang dan punya nama, gak mungkin dia berani mencoreng nama keluarganya."

Kesal dengan ucapan sang ibu, Nadya membanting beberapa sampel undangan di meja dengan keras. "Selingkuh tak memandang orang itu miskin atau kaya, Ma, karena selingkuh itu penyakit. Penyakit yang orang itu mengundangnya datang dan menerima. Tidak ada pengaruhnya sama harta. Dan mama paling tahu akan hal itu." Setelah mengucapkannya, Nadya berlalu membawa undangan pilihannya yang nantinya akan dia perlihatkan pada ibu Dirga. Lebih baik membahas masalah pernikahan bersama orang tua Dirga yang tidak haus akan pengakuan orang sekitar.

"Mau kemana kamu Nadya? Nadya!"

Tanpa mengacuhkan panggilan ibunya, Nadya segera menutup pintu kamarnya sebelum akhirnya luruh menangisi nasibnya.

"Yang jahat kamu, Sab, bukan aku!"

*****

Nadya berjalan menuju kediaman Wiratama sesuai janji ibu Dirga yang menginginkan dirinya menyiapkan semuanya. Dirga? Lelaki itu tengah disibukkan dengan pekerjaan. Dari yang dia dengar oleh selentingan beberapa pekerja di sini, perusahaan hampir mengalami kolaps dan berujung pada kebangkrutan. Itu sebabnya Dirga teramat sibuk selama sebulan ini. Lelaki itu bahkan malam usai acara pertunangan mereka digelar segera bertolak ke Riau untuk mengurus masakan persengketaan dengan para petani sawit.

NADITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang