lima belas

538 83 11
                                    

Lima belas

"Murahan."

Ungkapan itu sontak menyentak keras Sheila. Matanya membulat sempurna, pun bibir yang tak kalah lebarnya. Dadanya berdegup kencang, bukan, bukan karena hanya berjarak sejengkal dengan Randhika, bukan pula wangi memabukkan milik sang pria, tapi ucapan yang dilontarkan tepat mengenai hatinya. Menusuk tepat di ulu hatinya.

"Murahan?" beonya pelan menatap kosong ke arah luar.

Pria itu bahkan hanya diam sebelum mendengkus kesal, tubuhnya tak ada pergerakan meskipun sudah berupaya menghindar. Dan itu membuatnya merasa... Benar, dia tampak seperti perempuan murahan yang menyosor laki-laki milik orang.

"Mundur, dan bila kamu masih ingin tetap bekerja, bersikaplah profesional. Jangan melewati batasan yang seharusnya kamu pahami. Itupun jika kamu perempuan yang memiliki harga diri."

Remuk, redam, hancur hatinya mendengar ungkapan barusan. Seharusnya dia tak terkejut, seharusnya benar seperti kata lalaki itu, dia harus jaga sikap dan perilaku. Lebih tepatnya sadar posisinya. Harusnya pula dia tak sakit hati mendengar kata-kata menusuk yang dilontarkan. Lima tahun dia sudah menjadi sekretaris Randhika, selama itu pula telinganya kebal mendengar omelan pedas lelaki itu bila membuat kesalahan.

Harusnya. Iya, harusnya. Sayangnya, hatinya kian remuk berceceran ketika lelaki itu jelas-jelas tak menyambut rasanya, jangankan menyambut, tertarik dengan dirinya pun tidak. Dan semakin menyadarkan posisinya ada dimana.

"Seharusnya sebelum melakukan apapun, sadari posisi juga pikir dampak ke depannya. Jangan bertindak gegabah hanya untuk memenuhi egomu semata." Posisi Randhika masih sama menatap lurus ke depan saat Sheila berangsur mundur menahan tangis hingga wajah dan lehernya memerah karena malu.

Suara pintu tertutup, seketika mata lelaki itu menutup. Hembusan napas dia keluarkan, pun menggelengkan kepala dia lakukan.

Tadi...sebelum Sheila benar-benar merealisasikan aksi nekadnya, sekelebat bayangan yang mati-matian coba dia enyahkan beberapa hari ke belakang kembali hadir memenuhi benaknya.

Lenguhan suara, bahkan tatapan sayu itu mengunci tubuhnya untuk tidak mendorong keras tubuh Sheila. Randhika meraup wajahnya kasar begitu bayangan Nadya kembali tak terhindarkan.

Di saat jauh seperti ini, dia masih mengingat kegiatan mereka. Bahkan tubuhnya menolak begitu perempuan lain mendekat. Pikirannya otomatis berlari pada cumbuannya dengan Nadya malam itu.

"Ini gila," gumamnya pelan seperti tak menyangka efeknya sebegini besarnya.

Lebih gilanya Randhika memesan tiket kepulangannya saat ini juga.

*****

Nadya menatap puas hasil karyanya yang kini sudah berjejer rapi di atas meja ruang tamu. Matanya yang bulat mengedar puas melihat ruang luas yang dulu hanya diisi sofa dan meja untuk tamu kini di sisi kanannya ia beri sekat dan beberapa rak buku dia hadirkan juga. Rencananya setengah ruang tamu akan ia gunakan untuk mengajar beberapa anak tetangganya yang hari ini bertambah menjadi sepuluh orang. Kenaikan yang terlalu signifikan padahal baru seminggu dia mulai mengajari dua anak tetangganya.

Lewat omongan dan review tetangganya tersebutlah kini anak-anak mereka belajar di sini. Nadya senang tentu saja. Ini seperti mengembalikan jiwanya yang direbut paksa sehingga Nadya sebisa mungkin menyiapkannya dengan baik.

Berbekal dengan sering menemani Sabda mengajari anak didiknya sewaktu kuliah dulu, sedikit demi sedikit Nadya mencoba menerapkannya. Apalagi tingkatan yang dia ambil sama seperti yang Sabda lakukan dulu. Dari sana pula, Nadya mencoba lebih atraktif dalam menciptakan suasana belajar yang lebih menyenangkan.

NADITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang