Delapan
Dengan langkah gontai, Nadya berjalan memasuki kediaman orang tuanya yang tampak sepi nan sunyi. Tentu saja, orang waras mana yang tengah malam masih berkeliaran di luar rumah kecuali yang memiliki kepentingan. Kepalanya hampir pecah memikirkan segala yang terjadi begitu cepat dan bertubi-tubi menimpanya tanpa henti. Seakan dia tak diberikan kesempatan untuk merasa kelegaan barang sehela pun.
Dia pun bertanya-tanya, kenapa dia tidak gila atau mungkin mati saja? Kenapa dia masih tetap waras, berpikir panjang, dan masih bernapas? Sebegitu yakinkah Tuhan bila dia mampu melewati semuanya?
Nadya tak tahu. Yang pasti, otaknya terasa penuh, hatinya terasa sesak. Bukan, bukan karena dia merasa kehilangan begitu mencintai Dirga, melainkan semua rencana ketika menerima perjodohan ini buyar seketika dan kembali membuatnya terkurung dalam sangkar emas keluarganya.
Lalu, kapan sekiranya dia akan bebas?
Dia pikir, Dirga mampu memberikannya. Meski dia yakin, tak akan ada cinta diantara mereka karena, siapa yang tidak mengenal karakter Dirga? Mustahil kan seseorang yang selalu berganti wanita seperti mengganti dalaman saban harinya akan betah bertahan dengan satu wanita? Dia tahu. Tapi dia yakin, semuanya akan baik-baik saja. Toh, hatinya telah beku. Cinta itu telah lenyap dari dalam hatinya.
Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang, kalau manusia itu hanya akan jatuh cinta sekali seumur hidupnya. Sisanya? Dia akan menjalani harinya. Awalnya dia skeptis, tak percaya juga. Hati manusia itu berubah-ubah, tidak tetap. Mana mungkin mampu bertahan dan tak berubah sama sekali. Seumur hidup itu lama juga kan? Dan dalam kurun waktu tersebut, kemungkinan untuk jatuh cinta lagi pasti ada.
Sayangnya dia belum merasakannya. Atau mungkin tak akan kembali menemukannya. Nyatanya, Dirga tak bisa ditemui begitu dia membutuhkan penjelasan lelaki itu akan kelanjutan hubungan mereka. Keluarganya pun pergi entah kemana hingga dia pulang dengan tangan kosong. Tak mendapatkan penjelasan apa-apa dan semakin membuatnya tak berdaya.
Begitu sulitkah dia untuk bebas?
"Dari mana kamu?"
Nadya enggan menjawab sebenarnya, tapi mau tak mau harus berhenti dan berhadapan dengan Rusli yang duduk tenang di ruang tamu.
"Menenangkan diri," jawab Nadya pelan. Matanya mengedar mencari keberadaan Miko atau mungkin Indah yang masih terbangun.
"Duduk dulu, Nad, ada yang mau papa bicarakan ke kamu."
Nadya ijin mengambil minuman ke dapur. Bukan untuk ayahnya, tapi untuk dirinya sendiri. Meski rasa hormat pada ayahnya sepenuhnya menghilang, Nadya tetap membutuhkan nyali banyak untuk berbicara berdua dengannya.
Kapan terakhir kali mereka berbicara berdua? Saat usianya masih delapan tahun kah? Ah, sepertinya iya. Mengingat setelah dia dibawa ke sini, semua keputusan hidupnya ada di tangan Indah juga Jatmika.
Setelah mengisi tenggorokannya dengan air dan memenangkan diri, Nadya berjalan tenang menghampiri Rusli yang mendongak menatap langit-langit.
"Kamu mendengar semua yang kami bicarakan tadi pagi?" Tanpa perlu menjelaskan, Rusli sudah pasti tahu jawabannya. Tak mendengar jawaban putrinya, lelaki yang masih memperlihatkan aura kuasanya itu menghela napas lelah. "Perusahaan keluarga Dirga mengalami kebangkrutan, itu sebabnya--"
"Kalian ingin membatalkan pernikahan ini karena menganggap keluarga Wiratama gak memberikan keuntungan lagi," potong Nadya cepat dengan sorot mata tajam.
Lagi-lagi Rusli menghela napas dan mengangguk pelan, menatap putrinya lekat-lekat yang tanpa dia sadari sudah tumbuh dewasa ini. Kesibukannya tentang duniawi melupakan kewajibannya pada sang putri hingga kedekatan mereka tak lagi dirasai. Oh, sepertinya dia terlalu tinggi hati mengharapkan hal itu kembali terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADI
عاطفيةApalah arti sebelas tahun lamanya bersama bila pada akhirnya dikhianati sedemikian rupa. Nadya, memilih memutuskan hubungan yang sudah dia jalani bersama Sabda meski sudah terjalin lama. Sakit? Sudah pasti. Tapi dia sudah berjanji tak akan memberika...