dua puluh satu

545 84 6
                                    

Dua puluh satu

"Apa masalahnya begitu serius, Yan?" tanyanya berbisik pelan seraya membuka lemari pakaian mengambil kemeja yang akan dia kenakan. Randhika terkekeh pelan karena merasa seperti sudah lama tidak melakukannya --padahal sedari dulu dia terbiasa melakukannya sendiri. Hanya saja, akhir-akhir ini kebutuhannya Nadya yang menyiapkan. Dia hanya terima beres karena Nadya begitu tepat mengerjakannya.

"Cukup serius," timpal Rian, temannya yang saat ini masih berada di negeri orang mengurus entah permasalahan apa hingga lelaki itu memperpanjang masa perjalanan dinasnya ke sana. Padahal, yang dia maupun Nahyan ketahui --tentunya dari keterangan Rian sendiri-- lelaki itu hanya bertugas paling lama dua minggu di sana. Sayangnya sudah sebulan lebih temannya itu masih bertahan di sana tanpa mengatakan alasan sebenarnya.

"Gue dan Nahyan perlu bantu?" Dia menawarkan bantuan.

Terdapat jeda cukup lama sebelum Rian menjawab akan meminta bantuannya di waktu yang tepat. Tentu Randhika menyetujuinya. Meski berteman dekat, tidak mungkin juga dia turut ikut campur permasalahan Rian yang belum lelaki itu ingin bagikan. Lain hal dengan Nahyan. Temannya yang gila mencampuri urusan orang dengan embel-embel jika dia kuasa hukumnya itu kerap sekali tak sabaran dan akan pundung bila tak diberitahu sebuah permasalahan. Terlebih dirinya. Kekanakan memang. Saat diptotes Nahyan akan membela diri bila dia berusaha menjadi saudara yang baik untuknya juga Rian.

Randhika mengencingkan lengan kemejanya dengan mata terfokus pada Nadya yang masih terlelap di atas tempat tidur mereka. Bergelung selimut menutupi hampir semua tubuh gadis itu menyisakan rambut yang menjuntai panjang di sisi kepalanya. Wajah wanita itu bahkan ikut tertutup juga.

"Gak mau bangun, hem?" Jemarinya menyibak lembut rambut yang menutupi sebagian wajah Nadya hingga menampilkan wajah cantik dengan kerutan tak terima di dahi wanita itu. Tak pantang mundur, Randhika yang sudah rapi dengan penampilannya hari ini bergabung dan duduk di sisi Nadya yang masih menggumam tak jelas memprotes aksinya. "Sayang...itu ayamnya mas Yudis sudah manggil-manggil loh..." Ada senyum geli tercipta pada ucapannya sendiri. Tak ada pengaruhnya sebenarnya, tapi Randhika merasa geli sendiri.

Perlahan, kerutan itu makin terlihat jelas dibarengi mata Nadya yang perlahan membuka. Menyipit cukup lama menyesuaikan cahaya yang memasuki retinanya.

"Padahal tinggal berangkat loh, aku masih capek," rengeknya lirih sembari menarik selimut guna menutupi tubuhnya kembali.

Randhika kembali terkekeh melihat wanitanya menutup mata dan tak memperdulikan dirinya.

"Kenapa sih? Kayak kecapaian abis nyangkul banget kelihatannya?" godanya dengan senyum tertahan saat melihat Nadya memincingkan mata sambil berdecak kesal. "Lah lah lah, malah lanjut tidur."

"Pergi deh, Mas, badanku capek benar loh ini," serunya memprotes tangan Randhika yang kembali menurunkan selimutnya. Kekehan yang lelaki itu keluarkan cukup berbahaya ditambah suara berat namun renyah yang lelaki itu perdengarkan di telinganya.

"Mandi dulu biar seger," ucapnya kalem mengelus rambut halus Nadya yang sudah dia rapikan sebelumnya.

"Halah, tadi sebelum subuh loh aku udah mandi. Siapa yang buat aku begini lagi ha? Bisa botak cepet kepalaku kalau di keramas terus."

Sudah. Keluarlah tawa Randhika hingga bahu lelaki itu bergetar cukup keras. Belum lagi suaranya yang berat kembali terdengar seiring dengan sensasi geli juga perih menyentuh pipinya. "Mas...sakit iniloh, kena pipiku!"

Mungkin Randhika memang tengah gila, lelaki itu kembali tertawa melihat protes yang kembali dilayangkan sang istri akibat ulahnya tak berhenti menggoda.

"Tangannya, hiiiiiihhhh!"

Dan iya, dia menikmati semuanya. Randhika lupa, ah atau mungkin benar-benar baru merasakannya. Sensasi menyenangkan saat membuat orang yang kita sayang menunjukkan berbagai ekspresi yang sebelumnya disembunyikan kini bisa keluar karena dirinya. Dia akui, dia memang kaku, jarang orang tertawa dikarenakan ucapannya yang tidak lucu. Orang akan lebih dulu sungkan melihat wajahnya alih-alih mengajak bergurau bersama.

NADITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang