02. The First Night

32 8 4
                                    

Dara pernah mengalami mimpi buruk berulang, membuatnya trauma menghadapi malam yang selalu terasa lebih panjang. Sempat tenggelam dan terbawa arus sungai beberapa tahun silam merupakan pengalaman pertama Dara nyaris bertemu sang maut. Lalu, kini Dara mendengar Gama memekik kencang, memaksanya memacu langkah kaki lebih cepat, lebih lebar agar bisa menghindari amukan dinding dengan debu serupa badai yang mengejar. Bahkan Dara tak ingat kapan terakhir kali dia berlari terbirit-birit seperti ini. Yang Dara tahu, hal-hal yang membuatnya berkejaran dengan maut merupakan cara klasik untuk mengingatkannya kembali akan sentuhan kematian yang dinamis.

"Move! Move! Move!" Berkat seruan ini, bukan hanya satu, Dara berhasil melompati tiga anak tangga itu sekaligus. Dara tak memiliki kesempatan untuk protes saat tubuh besar milik Gama menarik tandu sekaligus menyeretnya untuk terus berlari.

Tak ada satu pun di antara mereka yang tak menampakkan wajah tegang. Kadar dopamin dalam otak ketiga remaja itu bercampur sempurna dengan adrenalin, membuahkan euforia dramatik yang nyaris membuat gila.

Guncangan berhenti tepat setelah mereka menjejakkan kaki di lantai tiga gedung perpustakaan yang hanya tinggal separuh. Meski menyisakan sunyi ganjil yang menyiksa, angin kering dan dingin berembus melalui dinding beton yang terkoyak, menyambut kehadiran mereka dan memberi selamat.

Setelah menurunkan tandu, tubuh Dara merosot ke lantai. Napasnya tersengal-sengal. Seluruh tubuhnya gemetar, menggigil kedinginan dari ujung kaki hingga kepala. Dara takut sekali mati terkubur di tempat seperti ini.

"Sial!" Dara memaki. Pandangannya tertuju pada reruntuhan dinding yang kini telah menutupi jalur tangga sepenuhnya. "Nyaris banget jadi bebek geprek!" 

Gama mengikik geli menertawakan Dara, kemudian bangkit dari posisinya yang membungkuk pada Rini yang sedang sibuk menyoroti Gita dengan senter. Rini ingin memastikan jika kejadian tadi tak berpengaruh banyak pada kondisi Gita.

"Gita, kamu bisa denger suara kakak?" tanya Rini.

Sebuah anggukan kecil dan lemah dari Gita menjadi angin segar yang membuat ketiga remaja itu bisa bernapas lega. Terlebih Dara. Dia terenyuh saat mendengar Gita mencoba menyebutkan namanya di ambang kesadaran yang belum sepenuhnya utuh. Dara terus menggenggam tangan Gita yang hanya menatapnya dengan mata cokelatnya yang kuyu.

"Iya, Git. Gue ada di sini. Ada Kak Rini sama Kak Gama juga. Lo istirahat aja ya, Git. Jangan banyak bicara dulu," kata Dara. Tak tega melihat gerak napas Gita yang sulit. "Kami nggak akan ke mana-mana kok."

Titik air mata lolos begitu saja membasahi pipi Gita. Dara tersenyum kikuk saat Rini menepuk-nepuk bahunya, sebagai apresiasi bagi Dara yang sudah begitu tangguh menahan kesedihan di hadapan Gita agar tak membuat kepanikan.

Gama selesai mengawasi keadaan sekitar, dengan wajah tegang dan kaku dia melambaikan tangannya pada Dara dan Rini. Gama memberikan isyarat ingin membicarakan sesuatu pada kedua gadis itu tanpa harus mengganggu Gita.

"Satu Jakarta lagi kena mati lampu total kali ya," kata Gama. "Kuping gue nggak budek, kan? Masa kuping gue sama sekali nggak bisa denger sedikit pun suara di bawah sana, sih? Mata gue juga nggak liat ada lampu-lampu atau pergerakan manusia yang normal. Satu-satunya hal bagus di sini cuma bintang-bintang yang mendadak kelihatan jelas di langit."

Rini berdecak kesal, memukul gemas lengan Gama yang meringis kesakitan. Mengingat kekasihnya itu sering kali mengisenginya, Rini tak lantas langsung percaya begitu saja padanya.

"Hati-hati!" Gama memperingatkan Rini saat hendak berkeliling menyoroti keadaan sekitar. "Kita nggak tahu kondisi lantainya  seringkih apa."

Rini mengangguk mengerti. Perlahan, kakinya melangkah menuju ke ujung lantai yang menjuntai. Dia yakin, di tempat itu akan ada seseorang yang melihatnya berdiri. Atau paling tidak mendengar teriakannya yang nyaring.

"Halo!" Rini berteriak. Suaranya bergema dan memantul ke setiap sudut kota. "Ada orang di sana?"

Hening. Sama sekali tak ada jawaban. Rini menunggu hingga beberapa jenak tetapi suara balasan yang diharapkannya tak kunjung datang.

"Kayaknya aku kurang kenceng ya?"

Dara mengangkat kedua pundaknya. "Suara kak Rini tuh terlalu merdu. Nggak cocok teriak-teriak. Nggak pernah makan gorengan sama minum-minum es, sih."

Rini memutar mata, mengabaikan komentar Dara dan bersiap berteriak kembali. Kedua telapak tangannya telah membentuk corong, Rini yakin dengan sikap seperti ini suara yang akan dikeluarkan olehnya bisa terdengar lebih kencang, terdengar sampai ke bawah sana.

"Pak! Bu! Siapa aja! Kami minta tolong! Di sini ada orang terluka! Kami butuh bantuan secepatnya!"

Lagi-lagi sunyi. Rini mengusap bulu halus di tengkuknya yang mendadak berdiri saat menyadari jika kali ini Gama tak sedang berusaha iseng padanya.

"Bener, kan? Nobody there, Beb."

"Kamu bener." Rini menyelipkan rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinga. "Terus sekarang kita harus gimana?"

Gama berpikir sejenak. "Kita nggak boleh ambil risiko karena Gita lagi nggak oke. Now, let's find a clean place, wait for the morning, just sleep."

Dara mengangguk tanpa ragu. Selain lelah, Meski masih SMA kelas 12, reputasi Gama sebagai 'bule gunung' sudah menyebar ke mana-mana. Gama dan kelompoknya sering dilibatkan dalam operasi SAR yang dipimpin langsung oleh BASARNAS . Bukan hanya untuk mencari orang hilang di gunung saja, tetapi ketika ada bencana alam atau musibah lainnya. Berbekal keyakinan itu, Dara merasa tak ada salahnya memercayai insting bertahan hidup Gama dalam situasi sulit ini.

"Ayo, Kak. Kita istirahat dulu." Dara membuka suara ketika melihat Rini masih bergeming di tempatnya. "Kita butuh tidur buat ngumpulin tenaga. Besok pagi kita pikirkan lagi langkah selanjutnya."

Rini mendesah. Sekali lagi menyapukan pandangannya pada pemandangan hitam di bawah sana. Jantungnya tak bisa menahan keresahan yang dirasakannya. Bagaimanapun, kondisi sepi dan gelap seperti ini terlalu menyeramkan. Rini kira, tak ditemukan dan ditinggalkan tim penolong sudah merupakan puncak dari rasa takutnya. Namun, kali ini intuisinya mengatakan ada bahaya lain yang jauh lebih mengerikan sedang mengintai, menunggu mereka lengah dan bersiap menghabisi.[]

🎡🎡🎡

Alhamdulillah chapter dua berhasil tayang sesuai jadwal juga dong 😭

Deg-degan takut enggak bisa ngetik banyak, dan malah terbukti setelah self editing bab ini jadi lebih pendek dibanding sama sebelumnya 😅

Yaudahlahyaaa, sing penting hari ini wes selamat. Xoxoxo *sambil mikir keras karena keyword di chapter selanjutnya rada mind blowing 🤭

THE WRECKAGE [KARMA 2023]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang