03. Cuplis

30 8 1
                                    

Dara terbangun dari tidurnya yang lelap saat semburat merah muda pertama matahari meninggalkan peraduannya. Sepanjang hidup di Jakarta, baru kali ini dia merasa kedinginan tanpa bantuan pendingin udara sama sekali. Rasanya benar-benar luar biasa. Terlebih saat Dara lamat-lamat mendengar tawa Gita bersama Rini dan Gama di kejauhan. Dara terperanjat, berteriak histeris seraya menghambur ke pelukan Gita. Meski kulitnya agak pucat, dengan robekan kaus milik Rini yang melilit di kepala, Gita tampak jauh lebih sehat dari sebelumnya.

"Wah, si tukang tidur udah bangun!" kata Gita mengelus-elus punggung Dara.

Dara lega. Bibirnya tak berhenti mengucap jutaan kalimat syukur.

"Nah, lantaran udah pada bangun semua. Kayaknya kita mulai aja rapat paripurnanya sekarang. Kita ngobrol-ngobrol agak serius." Gama berhasil merebut seluruh atensi ketiga gadis di hadapannya. Menahan napas beberapa jenak sebelum akhirnya menuntaskan kalimat selanjutnya. "So, yes. We're trapped."

Gama menjelaskan dengan singkat soal kemungkinan seluruh Jakarta yang telah dilumpuhkan oleh negara-negara adikuasa sangatlah besar. Gama juga berasumsi soal perang dunia tiga yang mungkin saja sedang berlangsung di luar sana.

"Tapi kok pemerintah nggak ada sama sekali ngasih kita peringatan soal itu, Kak?" Dara tak habis pikir mengenai kemungkinan perang yang terjadi. Jika tahu lebih awal, sudah pasti dia akan mencari tempat persembunyian yang memadai bersama sang ibu dan semua koleganya di daerah-daerah terpencil.

Sekilas, Dara pernah membaca buku yang membahas soal cara bertahan hidup saat kiamat zombie menyerang. Dara tahu hal itu tak ada hubungannya dengan perang dunia ketiga, tetapi buku itu telah menuliskan sesuatu yang membuat Dara tanpa sadar mengangguk setuju, karena sejak dahulu, sejarah memang selalu mencatatkan nama-nama kota besar sebagai lokasi paling berisiko menerima kehancuran fatal dibanding daerah kecil di sekitarnya.

"Lo bisa liat sendiri gimana hancurnya kota ini, Ra. Menurut lo, selain dari rentetan serangan bom, apa lagi yang bisa bikin Jakarta luluh lantak kayak gini?" 

Suasana terang di pagi hari memang membuat mereka berempat bisa dengan jelas melihat betapa berbedanya Jakarta kemarin dengan saat ini. Pantas saja jika tak ada orang lain yang bergegas membantu, bukan hanya gedung perpustakaan saja yang hancur tetapi nyaris sepanjang mata memandang seluruh gedung-gedung tinggi di Jakarta mendapatkan dampaknya.

Dara sampai kehabisan kata-kata.

"Kita bisa dibilang beruntung terbebas dari bencana ini, Ra." Gita menghampiri Dara yang termenung menatap kekacauan seisi kota.

"Terus habis ini kita ngapain, Kak? Kita harus kemana?" Dara menggenggam tangan Gita dengan erat. Sadar jika mulai saat ini mereka hanya saling memiliki satu sama lain saja.

"Gue juga nggak tahu, Ra." Gama menunduk lesu. Rasanya memang tak akan ada manusia yang bisa berpikir jernih tatkala berhadapan dengan masalah pelik seperti ini.

"Kita nggak mungkin juga terus-terusan diam di sini, kan?" Rini menimpali. "Seenggaknya kita harus ngumpulin makanan buat bertahan hidup."

Semua terdiam membenarkan ucapan Rini. Rasa lapar menjadi alasan keempat remaja itu nekat menuruni gedung menggunakan tali tambang lucutan dari tandu. Gama melilitkan tali melingkari tiang beton dengan terampil. Kemudian dengan pertimbangan matang, setelah memastikan semua hal yang harus diperhatikan saat akan menuruni gedung telah aman teruji, dia memakai sarung tangan tebal dan mulai membelitkan tali di kedua tangannya melewati bagian belakang badan.

"Thank God. Separuh ambruk, gedung ini malah jadi nggak terlalu curam lagi. Ini gampang. Kalian pasti bisa melewatinya. Fokus aja turunin badan kalian ke bawah kayak gini. Nice and slowly," kata Gama panjang lebar. "Sebisa mungkin hindari gesekan berlebihan dengan tali. Sekali-kali meluncur begini juga oke."

THE WRECKAGE [KARMA 2023]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang