E3: Konsep Sihir

78 7 0
                                        

Mataku terpana, terdiam dan berhenti sejenak saat mendengar suara itu, sebuah makna kalimat yang selama ini juga selalu kucari sepanjang waktu. Mengganjal, tertahan, dan terus mengerumuni pikiran di kepala.

Untuk apa manusia hidup? Apa hanya untuk menunggu akhir dari hayatnya? Jika memang begitu, kenapa manusia tidak boleh saling membunuh?

Omong kosong, mereka bahkan melanggar prinsip yang mereka buat sendiri. Munafik, penuh dusta, hidup ini tidaklah berarti.

Tangan ini...

Mataku beranjak dari wajahnya, menuju tangan sedari tadi diam. Kedua lengan terangkat, dan telapak tangan terbuka. Membiarkan mata melihatnya dengan saksama. Ke kanan dan ke kiri, kemudian berpikir atas masa lalu.

Sudah berapa banyak nyawa yang diambil oleh tangan ini, dan harus seberapa banyak lagi? Justifikasi, keadilan, kejahatan, semuanya adalah kepalsuan. Tidak ada kebenaran, tidak ada kejahatan. Hanya ego, hanya nafsu, hanya kepentingan manusia untuk bertahan hidup.

Lantas apa, lantas apalagi? Apa arti makna hidup jika memang semua hanyalah memenuhi ego. Lalu apa makna senyuman dan kebaikan dari orang-orang itu?

Dalam beberapa detik di antara dua tatapan mata, telah terbayang ratusan kata.

Mengapa...?

Mengapa orang ini ingin mengetahui makna dunia?

Aku benar-benar ingin mengetahuinya.

"Apa, yang kau maksud dengan makna dunia?" tanyaku ragu, tak mempercayai kalimatnya. 'Ini tipuan', dalam hati terucap, tak bergema, namun jelas terukir di dada.

Ini hanyalah alasan, tak mungkin seorang penyihir muda sepertinya berpikir sejauh itu. Apa yang telah ia lalui? Aku ingin tahu, aku ingin melihat seberapa jauh pandangannya atas dunia.

"Makna, yang kutanyakan adalah makna dari dunia ini. Semudah itu, namun tak mungkin kita akan menemukannya sekarang bukan? Oleh karena itu, aku memintamu untuk memberi atau mencarikan makna terhadap kehidupanku ini."

Alz, memudarkan tatapannya sedikit, lalu melihat ke arah langit biru yang tak berawan. Dari sana mulutnya berucap pelan, namun terdengar jelas. Lensa matanya tak terlihat lagi oleh jangkauan mata. Hanya sisi halus wajahnya yang terlihat, diiringi kecapan kecil dari mulutnya yang berucap. Tak lama, kemudian ia kembali, menatap, tepat langsung menuju kedua bola mataku. Tersenyum, tak jelas, aku tak mengerti ekspresi apa yang ditunjukkan oleh wanita itu. Namun satu hal yang pasti, ia benar-benar ingin mengetahui makna dari dunia.

"Aku tidak terlalu mengerti, tapi baiklah jika itu setara dengan pengajaran yang akan kau berikan padaku, mungkin tidak ada masalah. Lalu, setelah itu apalagi, apa hanya ini syarat yang kau butuh kan?

Tanganku bersilang, nafas panjang keluar dari mulut, pasrah, seakan tahu diri ini telah kalah dari permainan negosiasi milik penyihir itu. Diri bertanya, kemudian menunggu jawaban selanjutnya dari orang yang sebenarnya masih asing bagiku ini.

"Ah... Eh, tapi mungkin sebelum itu temani aku ke kekaisaran timur dulu. Oh iya, bawa aku ke Pegunungan Anhaz, eh tidak, ke Lembah Navia, tidak mungkin lebih baik mencari sumber kekayaan dulu, buku-bukuku mulai rusak. Ahhh aku tidak tahu apa yang harus dijadikan bayaran."

Salah tingkah, wajahnya kebingungan, ke kanan dan kiri, dan kemudian memegang kepala dengan kedua tangannya, linglung dengan apa yang ia ucapkan sendiri.

Aku pikir ia benar-benar dewasa...

Tapi, jika memang terlalu dewasa, mungkin aku akan sedikit takut dengannya.

"Sungguh merepotkan."

Tatapanku berubah, dari terpana menjadi sinis. Menggelengkan kepala, menunduk sedikit, lalu membalikkan badanku perlahan dari arah dirinya sambil berjalan.

RattleheartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang