Religi - Romance
Dihari pernikahannya Clemira Alyana Zareen harus menahan malu kala calon mempelai pria yang akan menjadi teman hidupnya itu tidak datang disana, dimana yang seharusnya menjadi hari bahagia malah menjadi hari yang memalukan.
Namun s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
USAI makan malam bersama keluarga Zhafi, kini Zareen hanya duduk santai di ranjang kamar tidur. Gadis itu memainkan ponselnya, karena tidak ada kegiatan lain untuk dilakukan.
Ketukan beberapa kali dari luar membuat Zareen mengalihkan perhatiannya, kemudian ia membuka pintunya yang didepannya ada Zira kini.
"A-ada perlu apa ummah?" Zareen masih merasa gugup kala ia berhadapan dengan ibu mertuanya.
"Boleh bicara sebentar dengan kamu, Zareen?" Zira meminta izin serta bertanya nama gadis yang menjadi menantunya itu.
"Iya ummah, boleh. Mau bicara dimana?" ujarnya, tanpa sepatah kata pun Zira berjalan terlebih dahulu tanpa menjawab pertanyaan sang menantu membuat gadis itu juga ikut mengikuti langkah ibu mertuanya.
Hingga kini mereka berada di teras ndalem, dengan pemandangan langit gelap didampingi terangnya bulan purnama Zira memilih teras untuk menjadi tempat mereka berbicara.
Sebelumnya tadi Zhafi pamit karena ada suatu urusan yang perlu dibicarakan bersama sang ayah, sehingga terpaksa Zareen sendiri dikamar.
Suasana cukup hening hingga tiga menit lamanya, membuat Zareen sedikit merasa canggung duduk berdua saja dengan mertuanya itu.
Zira meletakkan sepotong apel yang sudah dikupasnya dipiring yang ia bawa tadi, dengan telaten ia memisahkan kulit dari buahnya.
"Dimakan, Zareen." Perintah Zira pada menantunya.
Gadis itu tersenyum canggung serta menganggukkan kepalanya, ia mengambil sepotong apel kemudian memakannya.
"Santai saja, ga usah terlalu gugup." Zira berkata menyadari perilaku Zareen yang cukup terlihat gugup didepannya.
"Maaf ummah," ujarnya.
Zira menggelengkan kepalanya, ia menyunggingkan senyumnya. Setelah selesai mengupas, ia mengambil sepotong apel untuk dimakannya.
"Zareen." Zira memanggil, gadis itu menoleh kearah sang ibu mertua.
"Maafkan sikap saya ya, tadi saya membuat kamu merasa tidak nyaman." Wanita itu mengambil tangan sang menantu untuk digenggamnya.
"Tidak sama sekali ummah, saya tahu mengapa ummah bersikap seperti itu." Zareen menyunggingkan senyumnya.
Zira juga ikut tersenyum, ia menatap lekat kearah sang menantu. "Tolong jaga Zhafi ya, ummah percaya kamu bisa menjadi pengganti ummah jika sudah tidak ada nanti."
"Jangan berkata seperti itu ummah, saya hanya istri Zhafi tapi ummah adalah ibu yang merawat Zhafi dari kecil sampai sekarang tanpa pamrih. Rasanya tidak pantas jika saya menjadi pengganti ummah, sedangkan saya baru mengenalnya," ujar Zareen.