Malam terasa lengang. Hujan yang mengguyur sejak sore tadi sudah berubah menjadi gerimis. Deden berdiri di balik tirai jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka. Kamarnya berada di lantai dua dengan jendela yang menghadap langsung ke jalan raya. Cahaya lampu balkon yang remang-remang membuatnya mampu melihat daun rambutan yang sedang bergoyang-goyang di mainkan angin.
Terdengar bunyi tiang listrik dipukul sebanyak 2 kali, menandakan saat ini sudah jam 2 malam. Sebenarnya tubuhnya sangat lelah. Tapi dari tadi matanya tak juga terpejam. Sementara, Lastri sudah dari tadi tertidur di samping Ara.
Setahun hampir berlalu sejak perjanjian dengan perantara Ki Ageng dilakukan. Kehidupan keluarga Deden berangsur mulai membaik. Semua utang-utangnya dapat dibayar lunas. Ia tak lagi tinggal di rumah kontrakan yang sempit. Sebuah rumah klasik Jawa yang dimodifikasi dengan sentuhan modern mampu dipersembahkan untuk istri dan anaknya. Ternyata ritual pesugihan yang dijalankannya benar-benar manjur.
Orang-orang hanya tahu bahwa ia bekerja di toko mebel milik Jaka hingga akhirnya mampu membangun toko mebel miliknya sendiri. Tidak sepenuhnya salah, karena awalnya ia memang bekerja dengan Jaka. Setelah merasa mampu, ia lalu mencoba untuk membangun bisnis mebelnya sendiri. Jaka pun tidak pernah segan dalam mendukung usahanya. Bagi Deden, Jaka lebih dari seorang saudara. Ia adalah penyelamatnya.
Kekayaan memang seperti magnet. Daya tariknya benar-benar mampu mengubah sikap orang-orang. Deden yang awalnya hanya dipandang sebelah mata, kini menjadi sosok yang disegani. Apalagi Deden dikenal sebagai orang yang dermawan dan tidak segan untuk mengeluarkan uangnya untuk kegiatan sosial. Deden pun tak tahu apakah hal yang dilakukannya akan dapat meringankan siksaannya kelak. Yang ia tahu salah seorang guru ngajinya pernah berkata, "Salah satu amalan yang dapat mengalir terus hingga seseorang telah meninggal adalah sedekah jariyah."
Kadang Deden tertawa sendiri, merasa lucu dengan dirinya. Uang pesugihan untuk amal jariyah. Peduli setan dengan pendapat orang. Di saat dirinya kesulitan tokh tak ada yang mampu membantunya, kecuali setan. Orang-orang bisanya hanya menghujat dan berlari ketika dimintai bantuan. Memang, bantuan dari setan tidak ada yang gratis. Manusia pun kadang begitu. Selalu ada imbalan dibaliknya. Jadi apa bedanya?
Tiba-tiba Deden merasakan udara di sekitarnya terasa lebih dingin.
Jangan lupakan janjimu
Suara bisikan lirih terdengar sangat dekat di telinganya membuat tengkuknya meremang. Deden bahkan tidak berani bergerak bahkan untuk sekadar melirik saat sepasang tangan terasa bergelung di pinggangnya. Sesuatu yang basah tak lama menempel di punggungnya membuat tubuhnya menggigil, entah karena rasa dingin yang terasa atau rasa takut yang mendera. Deden hanya mematung. Beberapa hari lagi adalah waktunya untuk memberikan tumbal atas harta kekayaan yang dinikmatinya saat ini. Namun, ia masih belum punya bayangan siapa yang akan dijadikannya tumbal dan bagaimana cara mendapatkannya. Hati nuraninya sebagai manusia terusik saat harus mengorbankan manusia lain demi ambisinya. Tapi perjanjian sudah dibuat, dan ia sadar tidak dapat mangkir dari perjanjian ini karena anaknyalah yang menjadi taruhannya. Walau udara malam itu cukup dingin, bulir-bulir keringat bercucuran di wajahnya. Tubuhnya kini bahkan menggigil.
Sebuah tepukan pelan di bahunya membuat nya tersentak. Sepasang tangan yang tadi terasa bergelung di pinggangnya sudah tak lagi terasa. Demikian pula dengan sesuatu yang tadi terasa menempel di punggungnya
"Sudah malam, Mas. Kok belum tidur. Jendelanya ditutup ya." Tanpa meminta persetujuannya, Lastri langsung menutup daun jendela dan tirainya. Sementara Deden tetap di posisinya semula. Ia masih berusaha menetralkan detak jantungnya. Diusapnya peluh di wajahnya. Astaga...apakah hal tadi nyata atau hanya perasaannya saja.
"Lho...baju Mas basah. Kenapa?" tanya Lastri sambil memegang baju suaminya yang basah terutama di bagian punggung.
Ternyata hal tadi nyata, bukan halusinasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Perjanjian
HorrorKeputusasaan dan kemiskinan kadang membuat seseorang berbuat di luar nalar, termasuk Pak Deden. Utang yang menumpuk, hinaan keluarga, dan perasaaan bersalah tidak dapat memberi kehidupan yang layak pada istri dan anaknya membuatnya nekad melakukan r...