Perjalanan dari rumah barunya ke rumah Ki Ageng memakan waktu sekitar 3 jam. Sebenarnya bisa lebih cepat dari itu tapi tadi mereka singgah beberapa kali untuk makan dan mengisi BBM. Selain itu, karena merasa tidak terburu-terburu, Deden mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang.
Waktu baru menunjukkan pukul 14.00 saat mobil Deden tiba di depan rumah Ki Ageng. Sebuah mobil Alphard dan motor Scoopy tampak parkir di halaman. Kemungkinan milik pasien Ki Ageng karena setahu Deden, Ki Ageng tidak bisa mengendarai motor apalagi mobil.
Tidak ada yang berubah dengan rumah itu. Nuansa mistis masih tetap terasa. Tentu saja karena rumah ini dijaga oleh makhluk peliharaan Ki Ageng. Walau tak terlihat, Deden tahu mereka ada dan sedang memperhatikan kedatangannya
Di teras Ki Ageng telah menunggu 2 orang pasien. Seorang wanita cantik dengan rambut pendek yang terlihat modis dan l wanita paruh baya dengan badan agak berisi. Sepertinya wanita cantik yang masih muda adalah pemilik mobil Alphard sedangkan yang paruh baya pemilik motor Scoopy.
Melihat kedatangan Ki Ageng wajah kusut kedua wanita tadi berubah ceria. Sepertinya mereka sudah lama menunggu.
Sebagai dukun, kesaktian Ki Ageng cukup terkenal. Tak heran, walau rumahnya agak jauh dari pemukiman penduduk, ada saja orang yang datang mencari.
"Saya pamit dulu, Ki," kata Deden setelah mengantar Ki Ageng sampai pintu rumahnya. Sebenarnya ada yang ingin dikonsultasikan dengan Ki Ageng, namun melihat Ki Ageng sudah ditunggu pasiennya, Deden tak mau menggangu.
"Jangan dulu. Saya tahu ada yang mau kamu bicarakan. Tunggu saja," jawab Ki Ageng sambil membuka kunci pintu rumahnya. "Siapa yang duluan datang?" tanyanya sambil menatap kedua wanita tadi.
"Saya, Ki," jawab wanita yang lebih muda.
"Siapa namamu?"
"Saya Dewi, Ki."
"Ayo masuk, Wi." Ki Ageng mempersilakan wanita bernama Dewi untuk masuk rumahnya. "Kamu masuk juga, Den," titahnya.
Ki Ageng lantas duduk di atas anyaman tikar yang ada di ruang tamunya diikuti Dewi dan juga Deden. Ia membakar kemenyan pada dulang aluminium. Aroma kemenyan yang dibakar segera memenuhi ruangan.
"Apa keperluanmu?" tanya Ki Ageng tanpa basa-basi.
Dewi melirik ke arah Deden, seolah keberatan kalau apa yang akan diaampaikannya didengar oleh orang lain.
"Tidak apa-apa. Dia anak angkatku," terang Ki Ageng menjawab kekhawatiran Dewi.
"Saya sakit hati sama orang yang sudah merebut pacar saya, Ki," terangnya. "Seandainya dia ngomong terus terang dan tidak bermain di belakang saya, saya ngga masalah. Tapi mereka menusuk saya dari belakang, Ki.'
"Terus maumu apa?"
"Saya mau mereka menderita, Ki. Mati juga nggak apa-apa," jawab Dewi tegas.
Deden berusaha bersikap tenang. Padahal dalam hati kebat-kebit. Entah kenapa dia jadi membayangkan kalau Lastri yang mendatangi Ki Ageng dan melakukan hal yang sama seperti yang Dewi lakukan pada mantan pacarnya. Deden bergidik. Ternyata perempuan yang sedang sakit hati itu menakutkan.
Ki Ageng kembali menambah kemenyan di atas dulang dan asap tebal kembali mengepul di ruangan itu. "Kamu bawa foto mantan pacar dan orang yang sudah merebut pacarmu itu?" tanya Ki Ageng.
"Bawa, Ki."
Dewi merogoh ke dalam tas jinjing berwarna merah yang ada di pangkuannya kemudian menyerahkan selembar foto pada Ki Ageng.Deden melirik sekilas. Tampak foto 1 orang pria diapit oleh 2 orang wanita. Salah satu wanita itu terlihat seperti Dewi namun dengan rambut yang masih tergerai panjang. Mungkin itu foto lama Dewi bersama pacar dan sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Perjanjian
HorrorKeputusasaan dan kemiskinan kadang membuat seseorang berbuat di luar nalar, termasuk Pak Deden. Utang yang menumpuk, hinaan keluarga, dan perasaaan bersalah tidak dapat memberi kehidupan yang layak pada istri dan anaknya membuatnya nekad melakukan r...