Hari yang Berat

22 3 0
                                    

Silaunya sinar mentari yang menerobos masuk melalui sela-sela jendela membangunkan Ara dari tidurnya. Ia menggeliat pelan. Matanya masih mengantuk.  Ara tidak ingat jam berapa ia baru bisa tertidur malam tadi. Akhirnya ia pun kembali membungkus dirinya dengan selimut . Si Putih yang merasa terusik dengan gerakan Ara, mengeong sebentar lalu kembali melanjutkan tidurnya. 

Astaga. Jam berapa ini? Ara melempar selimutnya dan segera bangkit dari tidurnya. Cepat diraihnya handphone di atas nakas. Ia menjerit kaget saat melihat jam digital di handphonenya sudah menunjukkan pukul 06.45. Ara segera mengambil handuk dan bergegas mandi dan bersiap untuk sekolah. Tidak lucu bila terlambat di saat ujian kelulusan.

Saat selesai mandi, aroma masakan langsung memanjakan penciumannya. Sepertinya ibu masak nasi goreng, tebak Ara sambil mengenakan seragamnya. Setelah siap iapun segera turun ke bawah untuk sarapan.

Ayah dan ibunya sudah duduk di meja makan.

"Kesiangan, Ra?" tanya ibunya.

"Iya...untung aja masih ingat bangun, Bu," jawabnya sambil mengambil tempat di sebelah ibunya. Ara meringis saat merasakan cubitan kecil dipahanya.

"Ngomong kok ngasal," omel Ibunya. Ara hanya nyengir. 

Ia mengambil piring yang sudah disiapkan ibunya dan mengisi piringnya dengan secentong nasi goreng yang sudah tersedia di meja makan. Tak lupa diambilnya sepotong telur dadar sebagai pelengkap.

"Tumben cuma secentong, Ra?" goda ibunya.

"Sudah kesiangan, Bu. Takut terlambat," jawabnya singkat. Sekilas ia melirik ayahnya yang tampak lebih pendiam pagi ini. Biasanya saat sarapan ayahnyalah yang lebih banyak memulai percakapan.

Ara segera menyelesaikan sarapannya, lalu mencium tangan ayah dan ibunya. Bila hari ini tidak ada ujian, Ara pun pasti memilih untuk tetap di kamarnya, bermain dengan si Putih. Rasanya berat untuk berpura-pura tidak ada apa-apa, sementara persoalan yang dihadapi keluarganya bukanlah hal sepele yang hanya bisa ditangani dengan sekadar konsultasi atau lapor ke Pak Polisi. Ia pun ingin membantu tapi tidak tahu harus memulainya dari mana.

Seandainya perjanjian yang dibuat ayahnya di atas kertas, ia tinggal merobek-robek kertas perjanjian itu dan membakarnya. Tapi masalahnya perjanjian yang dibuat ayahnya dengan dedemit, tanpa surat perjanjian tertulis, dan tidak dibuat di depan notaris.  Bagaimana cara membatalkannya? Ara terlihat menghela nafas.  

"Hati-hati bawa motornya, Ra. Jawab soalnya dengan teliti. Nilai kamu nanti akan sangat menentukan dimana tempat kuliahmu." Ibu Ara mengiringi langkahnya ke depan rumah dengan serangkaian petuah. 

"Jeh, Bu," jawab Ara sambil meniru gaya abdi dalem setelah mendapat petuah dari tuannya.

"Anak ini kalau dibilangin orangtua pasti deh gitu...."

"Sudah. Ibu tenang saja. Percaya deh...anak Ibu ini nggak bego-bego amat. Ara sudah belajar, sudah usaha. Kalau nilainya masih jeblok ya nasib namanya." Ara menjawab ibunya sambil mengikat tali sepatunya. "Lagian kan sekarang penentuan kelulusan ngga kayak zaman Ibu dulu. Semua pasti lulus, kecuali yang ndableknya parah," terang Ara santai. 

"Iya...semua pasti lulus. Tapi nilainya?"

Ara bangkit dan mengecup pipi ibunya sekilas.

"Ibu pernah dengar nggak kalau nilai tidak mengukur kecerdasan seseorang. Jadi...kalau nilai Ara itu nggak bagus-bagus amat di ujian ini, bukan berarti Ara nggak cerdas. Bukan berarti juga kalau Ara nanti nggak sukses. Bawa santai, Bu. Hidup sudah rumit, jangan tambah dibikin rumit. Dah ibu...," Ara mengecup pipi ibunya sekilas lalu berlari menuju motor beat merah yang sudah siap di halaman.

Lastri menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak zaman sekarang memang beda sama zamannya dulu. Zaman dulu mana berani Lastri membantah omongan ibunya. Manut. Ini Ibunya malah diceramahi.

Setelah Ara tak terlihat, Lastri termenung. Ia menghela nafas beberapa kali lalu berbalik badan dan melangkahkan kakinya kembali ke dalam rumah menemani suaminya yang akan berangkat ke toko mebel.

Deden masih terlihat duduk di tempat yang sama sebelum ia mengantar kepergian Ara. Lastri bukannya tidak menyadari kalau pagi ini suaminya tampak murung. Mungkin ini efek disforia akibat percakapan mereka malam tadi.

Beberapa kali suaminya terlihat menghela nafas panjang, sebuah kondisi yang menandakan bahwa ia sedang berada di bawah tekanan berat. Suaminya bahkan tak menyadari kehadirannya.

"Sudah...jangan dipikirkan sendiri, Mas." Pelukan Lastri dari belakang membuat Deden terhenyak. "Lastri kan sudah janji akan menemani Mas melalui ini semua. Fokus saja bekerja. Setidaknya tahun ini Mas tidak perlu mnyediakan tumbal," ucap Lastri berusaha menenangkan suaminya.

Deden tak menjawab. Hanya menggenggam tangan istrinya dengan erat. Deden berharap dapat menua bersama perempuan yang sudah mendampinginya selama kurang lebih 18 tahun. Karena cintanya nyata, walau kebahagiaan yang ditawarkannya semu. 

****

Setelah memarkirkan motornya, Ara berlari-lari kecil menuju kelasnya. Suasana sudah terlihat sunyi karena para siswa sudah berada di kelas. Letak kelasnya yang berada di belakang membuatnya harus bergegas bila tidak ingin terlambat.

Setelah mengatur nafas, ia lalu memberanikan diri mengetuk pintu kelasnya. Semua pandangan langsung beralih padanya.

"Maaf saya terlambat, Pak," kata Ara pada guru pengawas yang sedang membagikan soal.

"Langsung duduk di tempatmu!"

"Baik, Pak."

Ara pun bergegas duduk di bangkunya yang posisinya berada di bagian tengah. Karena tidak hati-hati ia sempat menabrak sudut meja yang ada di bagian depan.

"Ough," Ara meringis sambil memegang pinggangnya yang terantuk meja. "Maaf...maaf," katanya pada kawannya yang duduk di sana sambil cepat-cepat menuju bangkunya.

Duhh...sial amat sih hari ini. Sudah bangun kesiangan, datang telat, eh...nabrak meja lagi.

Setelah diperbolehkan menjawab soal, Ara mulai membaca soalnya satu per satu.

Sebuah bola dijatuhkan dari ketinggian 10 meter di atas lantai sehingga bola memantul kembali dengan pantulan pertamanya mencapai 6 meter. Jika setiap pantulan mempunyai rasio yang sama, maka panjang lintasan bola hingga berhenti adalah....

A. 30 meter
B. 35 meter
C. 40 meter
D. 50 meter
E. 100 meter

Aduh...kenapa lagi sih harus belajar ginian, memang nanti kalau sudah kerja harus menghitung panjang lintasan bola. Ara misuh-misuh sendiri saat menjawab soal ujiannya.

Sejujurnya, Ara kurang suka pelajaran matematika. Tapi nasib membuatnya tersesat masuk di jurusan IPA. Jadi mau tidak mau harus berhadapan dengan rumus dan angka yang menurutnya sangat abstrak.

Diketahui koordinat P(-8, 12) dilatasi [ P,1] memetakan titik (-4, 8) ke titik.....
A. (-4, 8)
B. (-4, 16)
C. (-4, -8)
D. (4, -16)
E. (4, -8)

Sepanjang waktu ujian Ara mengerjakan soal sambil mengomel. Walau sudah berusaha mengingat-ingat materi tapi soal-soal yang keluar di ujian tetap membuatnya kesulitan.

Jumlah tak hingga deret 48+12+3+3/4+⋯
A. 128
B. 108
C. 96
D. 72
E. 64

"Duh...ini yang bikin soal kurang kerjaan banget. Ngapain juga nyuruh ngitung jumlah deret-deret angka gitu."

Dengan usaha super keras, akhirnya lembaran jawaban Ara terisi semua, walau sebagian besar jawabannya hanya berdasarkan insting semata. Kalau Carine Roitfeld mengandalkan instingnya dalam pemotretan, maka Ara mengandalkan instingnya untuk menjawab soal-soal matematika.

Ara dapat bernafas lega setelah lembar jawabannya dikumpul. Untuk pelajaran ini Ara pasrah. Semoga saja instingnya tidak menyesatkan. Ujian matematika memang berat, tapi tidak ada apa-apanya dibandingkan ujian hidup yang akan dihadapinya.

Akhir PerjanjianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang