Ara asyik bermain dengan si Putih, sebuah kucing jenis Persia yang mempunyai bulu panjang dan lebat berwarna putih. Ekornya panjang menjuntai. Matanya berwarna biru. Sangat menggemaskan. Kucing ini merupakan pemberian ayahnya saat ulangtahunnya yang ke 14. Waktu itu Putih masih sangat kecil.
Mila, sepupunya ikut menemani. Mila adalah anak Bude Darmi saudara ibunya. Usianya 2 tahun di bawah Ara. Mila dan ibunya akan menginap di rumahnya hingga hari ulang tahun Ara yang akan dirayakan 2 hari lagi. Ayah Ara akan merayakan ulang tahun ke-17 putrinya itu secara besar-besaran. Sebagai anak tunggal, Ara senang sekali ketika ada keluarga yang datang dan menginap.
Ara menggerakkan lidi yang ujungnya diberi kresek kesana-kemari dan si Putih akan mengejarnya. Ara dan Mila tergelak melihat kelakuan kucing itu.
"Lucu banget sih, Mbak kucingnya," kata Mila sambil memeluk si Putih dengan gemas.
"Fotoin dong, Mbak." Mila mengambil pose seolah hendak mencium si Putih.
Ara tertawa dan mengambil berbagai pose Mila melalui ponselnya. Adik sepupunya itu memang sangat suka di foto.
"Harapannya apa Mbak kalau sudah 17 tahun?"
"Apa ya...pengen sehat selalu, lebih baik lagi ke depannya, terkabul cita-citanya. Pokoknya yang baik-baiklah."
"Sudah punya pacar,Mbak?"
"Idiihhh...apaan sih."
Ara merasa wajahnya panas. Di benaknya langsung terbayang sebuah wajah tampan yang beberapa waktu ini selalu menemaninya."Muka Mbak merah...pasti ada kan?" tebak Mila.
"Hush...jangan ngomong sembarangan. Nanti kalau kedengaran ayah bisa gawat," kata Ara sambil berbisik. Matanya menoleh ke kiri dan kanan, khawatir bila pembicaraan mereka ada yang mendengar.
"Cerita dulu...kalau ngga Mila laporin pakde lho....," ancam Mila sambil tersenyum nakal.
"Iihhh...kamu ini. Nyebelin. Yuk...ke kamarku aja," ajak Ara. "Bahaya kalau sampai kedengaran ayah."
Sedekat itulah hubungan Ara dan Mila. Ara sudah menganggap Mila sebagai adiknya, begitupun Mila menganggap Ara sebagai kakaknya. Tidak ada rahasia diantara mereka.
***
Malam itu Ara terbangun karena merasa kandung kemihnya penuh. Ia melihat sepupunya masih berbaring di tempatnya. Namun ia tak melihat si Putih, kucing kesayangannya. Biasanya si Putih masih asyik tidur di pembaringannya yang hangat, tepat di pojok kamar.
"Tih...Putih...," panggilnya melupakan rasa kebelet pipisnya. Tak ada sahutan. Suasana kamar yang remang-remang membuatnya skesulitan melihat keberadaan Putih.
Ara mengambil ponsel di atas nakas dan menyalakan fitur senter. Ia lalu mengarahkan senter dari ponselnya ke bawah ranjang dan melongok.
Tampak si Putih berada di pojok kolong ranjangnya. Ara mengernyit. Aneh, tidak biasanya Putih ke bawah ranjang. Ia tampak meringkuk. Saat Ara mencoba meraihnya, si Putih malah menggeram dan mengangkat bulunya. Ara mundur sejenak.
"Hei...kenapa? Kamu kayak ketakutan gitu. Tenang ya....," Ara mencoba membujuk Putih agar keluar dari bawah ranjang namun usahanya tak membuahkan hasil sementara ia semakin kebelet.
"Bentar ya, Tih, Ara pipis dulu."
Ara lalu meletakkan ponselnya ke atas nakas dan bergegas ke kamar mandi yang letaknya jadi satu dengan kamarnya. Perasaan plong langsung terasa saat kantong kemihnya telah kosong. Ara lalu bergegas keluar.
Saat keluar kamar mandi, mata Ara membulat. Ia tersurut mundur sambil menelan ludah dengan susah payah. Tampak sebuah sosok wanita mendekati sepupunya. Seorang wanita berambut panjang dengan tubuh yang basah. Kulitnya begitu pucat seolah tak berdarah. Menyadari kehadiran Ara, sosok itu menoleh dan menyeringai. Ara bergidik melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Perjanjian
HororKeputusasaan dan kemiskinan kadang membuat seseorang berbuat di luar nalar, termasuk Pak Deden. Utang yang menumpuk, hinaan keluarga, dan perasaaan bersalah tidak dapat memberi kehidupan yang layak pada istri dan anaknya membuatnya nekad melakukan r...