Nasihat

27 5 1
                                    

Hari sudah beranjak malam saat Deden keluar dari kawasan gelap akibat rimbun pepohonan di kanan kiri jalan yang merupakan akses keluar masuk menuju rumah Ki Ageng.

Sepanjang perjalanan kata-kata Ki Ageng selalu terngiang.

"Berhenti dari pesugihan berarti siap kehilangan segala yang sudah kau miliki saat ini. Harta, nama, kedudukan. Bisa jadi kau juga akan kehilangan anak dan istri. Kalau ingin berhenti kau hanya perlu melakukan satu hal. Tobat. Tobat setobat-tobatnya. Karena kalau tobatmu hanya setengah-setengah akan fatal akibatnya."

Deden menyugar rambutnya. Beberapa kali ia tampak memukul-mukul setir mobilnya. Terbayang wajah Lastri dan Ara. Andai waktu bisa diputar kembali ia tentu tidak akan mengikuti hawa nafsunya dan melakukan ritual itu.

"Tiap pesugihan punya perjanjian yang beda-beda. Semua pasti ada syaratnya. Ada yang  harus menikahi jin, ada yang harus bersenggama dengan jin, ada yang harus menyusui jin, tumbal darah, tumbal nyawa, macam-macamlah. Tidak ada yang gratis. Termasuk ilmu yang kupunya saat ini. Ada prosesi yang harus dilalui, ada ritual yang harus dilakukan. Dan semuanya tidak mudah. Tapi sebagai imbalannya kau sudah lihat sendiri kan berapa bayaran yang kudapatkan dari menolong orang-orang itu. Sejuta dua juta sih kecil. Kau hitung sendiri berapa uang yang kudapat hari ini," Ki Ageng masuk ke dalam dan menyodorkan beberapa gepok amplop yang diterimanya hari ini.

Hanya dengan melihat tebal amplop yang disodorkan Deden bisa menebak kisaran rupiah yang ada di dalamnya. Apalagi bila isi di dalamnya semua berwarna merah. Amplop paling tipis hanya dari ibu yang rumah makannya dikerjain rivalnya. Tapi wajarlah, karena usahanya sedang menurun. Ki Ageng juga tidak mematok berapa harus dibayar untuk jasanya itu.

"Tapi itu semua uang panas," kata Ki Ageng sambil tertawa. "Uang panas itu tidak bagus bagi raga. Bisa cepat sakit-sakitan. Makanya makan singkong rebus yang ditanam sendiri jauh lebih sehat," katanya sambil memasukkan potongan terakhir singkong rebus yang ada di tangannya ke dalam mulut.

"Lha trus uangnya buat apa, Ki?" tanya Deden sambil mengambil lagi sepotong singkong rebus yang uapnya masih mengepul.

"Sebagian buat sedekah, sebagian lagi buat ngasih makan peliharaanku. Wowo, Kunti, Tuyul, semuanya harus senang. Iya kan, Wo?" tanya Ki Ageng sambil menengadah ke atas seolah meminta jawaban pada seseorang. "Kamu itu...nguping aja sukanya. Sana...cari kesibukan." Ki Ageng tampak mengibas-ngibaskan tangannya mengusir sesuatu.

"Iya..nanti," kata Ki Ageng seolah sedang berdebat dengan seseorang. "Sebentar lagi ada yang mau minta dipasangin susuk. Nanti kukawinkan kau dengannya," putus Ki Ageng sebelum kembali melanjutkan obrolannya dengan Deden. Sepertinya jin peliharaan Ki Ageng ada yang minta kawin. Deden tersenyum geli.

"Hei...," Ki Ageng tiba-tiba berdiri. "Sana pergi...jangan ganggu dia." Ki Ageng mengibas-ngibaskan tangannya ke belakang punggung Deden membuat tengkuk Deden tiba-tiba meremang.

"Kerasa, Den?" Ki Ageng terkekeh melihat Deden mengusap-usap tengkuknya. "Si Kunti sepertinya naksir sama kamu. Ngebet kawin juga kayaknya." 

Perkataan Ki Ageng sontak membuat wajah Deden berubah pucat. Ia melirik ke kanan dan kiri dengan sikap waspada. Ki Ageng semakin tergelak. "Ha..ha..., Kunti sudah nggak ada di situ. Noh....," tunjuk Ki Ageng pada pohon waru di samping rumah. Deden menoleh ke arah yang ditunjuk, namun tak melihat apapun.

"Ah...sudahlah...kau pasti tidak bisa lihat. Mau kubuka mata batinmu supaya bisa melihat mereka yang tak terlihat?" tanya Ki Ageng sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya.

Deden dengan cepat menggeleng. "Tidak, Ki. Makasih," jawabnya cepat. Ki Ageng semakin terbahak.

Melihat Ki Ageng saat ini tentu tidak ada yang menyangka kalau lelaki tua itu adalah seorang dukun sakti. Pembawaannya yang santai, keusilannya, kata-katanya, semua terlihat normal.  Di jari tangannya juga tidak terlihat cincin dengan batu-batu besar seperti yang sering dilihat pada kebanyakan dukun. 

Tapi siapa yang menyangka kalau Ki Ageng dapat membunuh orang dengan cara menyantet, meneluh, atau dengan cara apapun sesuai permintaan pasiennya.

Saat tak ada pasien, Ki Ageng memilih untuk bercocok tanam di samping rumahnya.  Tak heran kalau di sekitar rumahnya banyak tanaman ubi-ubian, sayuran, dan buah-buahan. Mungkin hal itu pula yang membuat Ki Ageng tetap terlihat bugar di usianya yang tak lagi muda. 

"Asal kamu tahu, sedekah itu adalah penolak bala. Buat dukun sepertiku, musuh sesama dukun banyak. Banyak yang sakit hati, banyak yang dendam. Karena itu raga dan sukma harus selalu dijaga. Menjaga raga dengan menjaga makanan, menjaga sukma dengan puasa."

Deden mengangguk-anggukkan kepalanya. Semua yang dikatakan Ki Ageng memang masuk akal.

"Salah satu alasan kenapa aku tidak ingin menikah karena aku tidak ingin anak dan istriku menanggung akibat perbuatan yang kulakukan. Tapi ya itu...kadang-kadang juga pengen ada yang diajak ngobrol selain Tuyul, Genderuwo dan Kuntilanak," kata Ki Ageng. Suaranya sarat dengan kesedihan. Deden dapat membayangkan betapa sepinya hidup sendiri di usia yang tak lagi muda. Tiba-tiba suasana berubah jadi melankolis.

Terlebih setelah dirinya merenungi apa yang sudah dilakukan untuk mendapatkan kekayaan yang dinikmati keluarganya saat ini.  Padahal ia sadar bahwa apa yang dilakukannya bisa saja membahayakan nyawa orang-orang terkasihnya.

"Perjanjianmu itu termasuk ringan. Tumbal hanya setahun sekali. Tidak mesti ada pertalian darah. Tapi karena darah anakmu yang menjadi jaminannya, maka kalau tidak ada tumbal di waktu yang dijanjikan, anakmulah yang jadi tumbalnya." Ki Ageng menyesap kopinya sejenak.

"Tidak seperti temanmu itu, si Jaka. Jangan coba-coba bertanya karena itu adalah rahasia kami, " kata Ki Ageng tegas seolah tahu isi pikiran Deden. membuat Deden urung melanjutkan pertanyaan yang sudah ada di ujung lidah. Informasi dari Ki Ageng membuatnya semakin penasaran perjanjian apa yang sudah dibuat oleh temannya itu.

"Pikirkan dengan baik bila ingin berhenti. Untuk menolak bala, lakukan seperti yang kulakukan. Banyakin puasa dan sedekah." Deden tidak menyangka kalau nasihat Ki Ageng sama seperti nasihat Pak Ustadz yang dulu mengajarnya mengaji. Puasa dan sedekah. 

"Terimakasih nasihatnya, Ki. Sudah malam, istri saya pasti sudah menunggu," pamit Deden.

Ki Ageng menepuk-nepuk punggung Deden. "Terimakasih juga sudah mau menjadi teman bicara malam ini. Sesekali aku juga perlu berbicara dengan orang yang nyata agar tetap waras."

Deden tersenyum menanggapi.

"Astaga...hampir saja aku melupakan sesuatu," kata Ki Ageng saat Deden baru maju beberapa langkah.

"Apa, Ki?"

"Hati-hati. Tampaknya ada yang tidak suka denganmu. Aura rumahmu panas. Tadi saat berada di rumahmu juga terdapat beberapa makhluk kiriman orang yang sengaja ditempatkan untuk merusak rumah tanggamu."

"Masa sih, Ki?"

"Iya. Sekarang sih sudah bersih. Tapi, kita kan nggak tau apakah orang itu akan menyerah atau justru mencoba lagi dengan cara lain."

'Trus...saya harus gimana, Ki?"

"Lebih waspada saja sama orang-orang yang ada di sekitarmu. Karena bisa jadi salah satu dari mereka adalah pelakunya."

Setelah mengucap terima kasih, Deden lalu pamit. Saat baru menyalakan mobilnya, tampak sebuah mobil putih memasuki halaman rumah ki Ageng. Sekilas terlihat kalau pengendaranya adalah seorang perempuan. Sepertinya dia adalah calon pengantinnya si Wowo, seseorang yang tadi dibicarakan Ki Ageng akan memasang susuk. Deden benar-benar kagum dengan kesaktian Ki Ageng. Sampai sejauh ini, tebakannya belum ada yang meleset.

Deden meninggalkan rumah Ki Ageng dengan pikiran yang berkecamuk. Pikirannya sibuk menerka siapa sosok yang mengirimkan jampi-jampi seperti yang disampaikan oleh Ki Ageng tadi. Namun, tak satupun nama yang terbayang olehnya.

****

Akhir PerjanjianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang