Kepulan asap segera memenuhi penjuru ruangan. Tak lama menguar aroma wangi khas yang berasal dari kemenyan yang dibakar.
"Harus ya kita melakukan ini?" bisik Lastri saat melihat beberapa aktivitas yang dilakukan oleh Ki Ageng.
Kedatangan Ki Ageng ke rumah mereka adalah untuk melakukan ritual penolak bala setelah kejadian bunuh diri yang dilakukan Mila beberapa Minggu lalu.
Walau Deden tahu bahwa kejadian tersebut bukan murni bunuh diri seperti sangkaan banyak orang, namun kepercayaan di daerah mereka bahwa rumah yang menjadi tempat bunuh diri akan selalu mendapatkan kesialan karena arwah yang bunuh diri akan selalu mengganggu penghuni rumah, termasuk menghalangi rejeki yang punya rumah.
Sebenarnya, Deden pun tak menyangka kalau Mila akan meninggal dengan cara seperti itu. Dari puluhan tumbal yang sudah menjadi target, baru kali inilah yang meninggal seolah bunuh diri. Rata-rata mereka yang menjadi tumbal akan meninggal dengan cara mengalami sakit yang tiba-tiba atau digigit binatang.
"Ya harus. Ini kan pertama kalinya di rumah kita ada orang bunuh diri," jawab Deden sambil memperhatikan Ki Ageng yang terlihat membawa kendi berisi kemenyan yang dibakar. Ia terlihat merapal mantra dan berjalan ke sudut-sudut rumah. Sementara Deden dan Lastri mengikuti dari belakang. Terakhir, mereka masuk ke kamar Ara.
Ritual sengaja dilakukan saat Ara masih berada di sekolah agar tidak menimbulkan banyak pertanyaan juga untuk menjaga perasaan Ara agar tidak selalu teringat dengan adik sepupunya itu.
Saat memasuki kamar Ara, Ki Ageng meletakkan kendi dengan asap kemenyan yang masih mengepul di sudut ruangan. Ki Ageng kemudian duduk bersila sambil memejamkan matanya. Tampak mulut Ki Ageng komat-kamit seperti membaca sesuatu, mungkin mantera, mungkin juga itu caranya berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata.
Tak tahan terus diam, sambil berbisik Lastri mengajak bicara suaminya.
"Sudah lama kenal Ki Ageng, Mas?"
Deden mengangguk.
"Aku kok baru tahu kalau Mas punya kenalan dukun."
Deden tidak menanggapi kata-kata Lastri. Ia tetap serius menyaksikan ritual yang dilakukan oleh Ki Ageng."Jangan-jangan Mas belajar ilmu pesugihan ya sama Ki Ageng," tuduh Lastri. Selama ini Lastri bukannya tidak tahu desas-desus yang banyak beredar kalau suaminya mengamalkan ilmu pesugihan. Tapi kepercayaannya pada suami membuatnya menutup mata dan telinga terhadap omongan orang. Ia tahu kalau suaminya bekerja keras untuk membesarkan toko mebelnya. Ia juga tahu kalau modal awal suaminya didapat dari Jaka, setidaknya itulah yang dikatakan oleh Deden dan dipercayainya.
Deden memelototkan matanya seolah berkata "Bisa diam nggak?" Pernyataan Lastri benar-benar merusak konsentrasinya. Walau tebakan Lastri tidak salah, namun Deden merasa ini bukan waktu yang tepat untuk mengakuinya. Apalagi sebenarnya ia sadar bahwa jalan yang ditempuhnya ini bukan hal yang benar.
Biarpun bukan berasal dari keluarga yang religius, waktu kecil Deden sering ikut mengaji di masjid, sering juga mendengar ceramah dari Kiai Suro guru mengajinya. Dalam benaknya dulu, ia tidak akan pernah bersentuhan dengan hal-hal perdukunan, apalagi sampai ikut pesugihan. Tapi nasib juga yang akhirnya membuatnya kenal dengan Ki Ageng dan harus terus memberikan tumbal demi kemapanan yang dinikmatinya saat ini.
Tapi bukan Lastri kalau langsung diam setelah mendapat pelototan suaminya. "Atau buat melet ya, Mas?"
Duh Lastri...makin ke sini omongannya makin ngawur. Kalau nggak ada Ki Ageng pasti sudah Deden terkam mulutnya.
Lastri tertawa pelan melihat wajah suaminya yang berubah kesal. Tadi dia hanya asal saja bertanya untuk mengusir perasaan tidak nyaman yang dirasanya sejak Ki Ageng mulai melakukan ritual penolak bala di rumah mereka.
"Tanpa dipelet juga kamu sudah tergila-gila sama Mas."
Wajah Lastri bersemu merah, dicubitnya pinggang Deden yang membuat Deden meringis. Harus diakui kalau sejak awal Lastri memang tidak bisa menolak pesona Deden. Tak adanya restu keluarga tidak menyurutkan niatnya untuk menjadi pendamping laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Perjanjian
HorrorKeputusasaan dan kemiskinan kadang membuat seseorang berbuat di luar nalar, termasuk Pak Deden. Utang yang menumpuk, hinaan keluarga, dan perasaaan bersalah tidak dapat memberi kehidupan yang layak pada istri dan anaknya membuatnya nekad melakukan r...