Ujian hari ini selesai lebih cepat. Berbeda dengan matematika yang kertas jawabannya dikumpul menunggu bel berbunyi, pelajaran berikutnya dapat dikerjakan Ara lebih cepat, sehingga ia bisa keluar kelas lebih awal.
Ara tidak langsung pulang, melainkan berjalan menuju kantin. Perutnya terasa lapar. Sepertinya aktifitas kognitif yang berat saat mengerjakan ujian matematika tadi telah membuat otaknya membakar lebih banyak kalori dari tubuhnya. Ia perlu lebih banyak glukosa supaya tetap fit.
"Soto ayam, Bu," pesan Ara pada penjaga kantin sekolahnya. "Minumnya teh hangat ya," lanjutnya. Kantin masih terlihat lengang karena saat ujian siswa kelas 10 dan 11 libur, sementara siswa kelas 12 yang lain masih berkutat dengan soal ujian mereka.
"Beres, Mbak," jawab Ibu kantin sambil mulai meracik soto ayam.
Sambil duduk Ara menengkurapkan badannya di meja dengan kepala menghadap ke samping. Matanya menatap jauh ke depan kantin.
Batinnya terusik saat melihat bangunan musala sekolah yang posisinya berada di bagian pojok bangunan sekolah. Bangunan berukuran 8 x 10 meter itu biasanya digunakan sebagai tempat anak-anak rohis sekolahnya saat melaksanakan kegiatan keagamaan. Ara sendiri hanya beberapa kali menginjakkan kakinya di sana, bukan untuk salat melainkan untuk menghadiri peringatan keagamaan yang biasa dipusatkan di musala tersebut.
Walaupun terlahir dari orangtua yang beragama Islam, sejujurnya ia bukanlah seorang Islam yang taat. Salat jarang, apalagi mengaji. Tapi bukan berarti ia tidak bisa mengaji. Waktu kecil ibunya pernah memasukkannya ke TPA yang ada di dekat rumah mereka. Sehingga perkara membaca a, ba, ta, tsa adalah hal yang mudah baginya.
"Mbak...ini soto ayam dan teh hangatnya." Suara Ibu kantin membuat Ara menegakkan badannya.
"Terimakasih, Bu."
"Sama-sama."
Aroma soto yang segar langsung memenuhi indra penciuman Ara. Uapnya yang mengepul seakan menari-nari meminta untuk segera disantap. Ara menambahkan sesendok sambal, perasan jeruk nipis dan kecap manis sebagai pelengkap lalu mencicipi sedikit rasanya. Enak. Sesuai seleranya.
Kantin yang semula sepi, kini mulai terlihat ramai. Gelak tawa mulai terdengar dari berbagai sudut. Rupanya banyak kawannya yang sudah selesai mengerjakan ujian hari ini.
Ara baru beberapa suap menyantap makanannya, saat seseorang menarik kursi di hadapannya. Ia lalu mendongak dan langsung tersedak saat menyadari kalau itu adalah Bayu, salah satu cowok populer di sekolahnya.
Bayu langsung menyerahkan botol air mineral miliknya. Tanpa berpikir panjang Ara langsung meraih dan menandaskannya. Ara lupa kalau teh hangatnya masih utuh.
"Eh..habis...,"katanya dengan rasa bersalah. "Minum tehku deh sebagai gantinya," kata Ara sambil menyorongkan gelas tehnya.
Bayu hanya tersenyum tipis. "Nggak papa, tinggal pesan lagi. Tehnya buat kamu aja."
Bayu menyorongkan gelas teh Ara kembali ke pemiliknya. "Silahkan lanjutin makannya."
Duh...ngapain juga dia duduk di sini. Jadi nggak fokus kan makannya.
Setelah berbasa-basi sebentar, Ara kembali melanjutkan makannya. Ia berusaha fokus makan agar cepat habis dan bisa pergi dari kantin.
Ara bukannya tidak sadar kalau dari tadi Bayu terus-terusan menatapnya. Jujur ia risi. Tapi, mau pergi kok ya sayang sotonya baru dimakan beberapa suap.
Mau mengusir, tapi kok lebih sayang lagi. Biasanya cuma menatap dari jauh dengan perasaan kagum. Sekarang ada di depan mata.
Sesekali Ara melirik Bayu, dan sesering itu pula tatapan mereka bertemu. Membuat Ara yang biasanya cuek, jadi salah tingkah. Kalau stetoskop ditempelkan di dadanya pasti akan terdeteksi kalau frekuensi degupan jantungnya saat ini berada di atas rata-rata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Perjanjian
HorrorKeputusasaan dan kemiskinan kadang membuat seseorang berbuat di luar nalar, termasuk Pak Deden. Utang yang menumpuk, hinaan keluarga, dan perasaaan bersalah tidak dapat memberi kehidupan yang layak pada istri dan anaknya membuatnya nekad melakukan r...