Pengakuan

27 4 0
                                    


Malam sudah menunjukkan pukul 23.15. Tapi Lastri tak juga terlelap. Sementara sejak pergulatan panas mereka, Deden sudah tertidur di sampingnya dengan posisi terlentang.

Lastri menatap wajah suaminya yang masih terlihat gagah. Gurat-gurat kelelahan tampak terlihat di wajah itu. Entah lelah karena pergulatan panas yang baru saja mereka lakukan atau lelah karena beban hidup yang dijalani. Andai saja ia mau membagi sedikit saja bebannya, tentu semuanya akan terasa ringan.

"Mau sampai kapan ngelihatin, Mas kayak gitu?" tanya Deden dengan mata terpejam. Ia lalu merubah posisi tidurnya menyamping menghadap istrinya. Matanya terbuka dan mata indah istrinya yang dihiasi bulu mata lentik memenuhi pandangannya.

Beberapa saat mereka hanya saling menatap. Entah apa yang dipikirkan keduanya. Hingga akhirnya Deden merengkuh tubuh Lastri dan mengikis jarak antara keduanya. Ia memeluk tubuh istrinya dengan erat dan melabuhkan sebuah kecupan di puncak kepalanya. Lastri balas memeluk suaminya itu dengan erat.

"Mikirin apa?" tanya Deden.

"Mikirin Mas."

"Memang Mas kenapa?"

"Lastri tahu kalau Mas sedang menyembunyikan sesuatu. Mas cemas dengan sesuatu sampai sering terbawa mimpi. Tapi sedihnya, sebagai istri Mas, Lastri nggak bisa berbuat apa-apa. Karena Lastri nggak tahu apa masalahnya." Lastri menghela nafas panjang. "Mas...kalau ada masalah jangan ditanggung sendiri. Bagi ke Lastri. Lastri kan istri, Mas."

Lastri merasakan kalau pelukan Deden semakin erat.

"Mas takut...."

"Apa yang Mas takutkan?"

"Banyak. Mas sudah melakukan sebuah kesalahan yang fatal."

"Seberapa fatal?"

"Sangat fatal. Sampai untuk menceritakannya saja Mas takut."

"Mas selingkuh?" Lastri mendorong tubuh Deden dan melepaskan tubuhnya dari pelukan suaminya. Ia memilih duduk di kasur agar lebih mudah melihat ekspresi suaminya. Lastri mengingat-ingat apakah ada perubahan sikap, penampilan dan juga perhatian yang Deden berikan padanya seperti yang sering terjadi pada suami yang berselingkuh.

"Nggak! Mas nggak pernah selingkuh."  Deden menyangkal tegas tuduhan istrinya. Ia lalu duduk dan bersender di sisi tempat tidur.

Lastri menghela nafas panjang. Lega.

"Tapi yang Mas lakukan lebih dari itu," sambung Deden.

"Astaga. Jangan bilang kalau Mas sudah menikah lagi. Poligami?"

"Nggak sayang. Mas nggak mungkin nikah lagi. Tapi yang Mas lakukan kesalahannya lebih dari itu."

Air mata Lastri mulai menetes. Ia mulai menebak hal yang membuat suaminya selalu resah. Dan itu menyakitinya. "Lastri tahu sekarang. Mas pasti punya anak dari perempuan lain," tebaknya lagi. Ia mulai terisak.

"Hei...hei...jangan menangis. Mas nggak selingkuh, nggak poligami, dan juga nggak punya anak dari perempuan lain," tegas Deden.

"Terus apa yang membuat Mas selalu cemas, membuat Mas seperti orang yang tertekan dan sering dihantui mimpi buruk? Mas punya utang? Usaha Mas sedang bermasalah? Apa? Cerita mas....cerita! Jangan biarkan Lastri jadi permaisuri yang hanya tahu sukanya Mas sementara dukanya Mas disimpan sendiri."

Deden mengusap wajahnya kasar dan menyugar rambutnya. Ia sadar tak bisa menyembunyikan hal ini lebih lama. Lastri juga berhak tahu karena ini menyangkut nyawa anak mereka. Putri semata wayang buah kasih mereka berdua.

"Mas cerita. Tapi Mas mohon maafkan  Mas. Mas sadar, Mas salah telah menyembunyikan ini semua darimu. Tapi mas takut...Mas benar-benar takut karena ini bukan kesalahan biasa."

Akhir PerjanjianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang