BAGIAN EMPAT

502 70 6
                                    

Happy Reading.



'Putusin ajalah.'

'Dia bahkan gak bisa ngehargain lo, coba gue tanya, sejauh apa Jaemin udah menghargain hubungan kalian?'

'Gue jadi lo ya udah pergi dari lama, cowok kayak dia gak pantes buat dipertahanin.'

'Putusin.'

'Putusin, Yangyang, putusin Jaemin.'

Harusnya. Seandainya saja Yangyang bisa dan mampu mengambil takaran rasa sakit dibanding kecewanya menunggu Jaemin melabuhkan hati padanya. Mungkin Yangyang sudah melepaskan Jaemin menggapai bahagia—entah bersama siapa. Naasnya, pemuda itu tak sanggup. Ia tak sanggup membagi senyuman Jaemin dengan perempuan atau pemuda mana pun.

Itu pernah ia lakukan.

Hal itu pernah ia biarkan saat dirinya mengikuti kata hati temannya untuk mengabaikan Jaemin. Sayangnya, Yangyang hanya mampu mendiamkan dan mengabaikan Jaemin kurang dalam kurun waktu seminggu. Ia tak mampu. Angannya terlalu jauh berkeliaran membuat Jaemin terbiasa tanpanya. Hasilnya, ia terus membuat dirinya ada di sekitar kehidupan pemuda itu. Yangyang harus ada di tiap dua puluh empat jam Jaemin. Pemuda itu harus mengisi harinya, entah beberapa menit atau bahkan detik di mana ia bisa mendengar suara Jaemin sekalipun dari telepon genggam. 

Yangyang kerap bertanya; siapakah ia sesungguhnya di kehidupan Jaemin? Pentingkah peran dirinya bagi kehidupan lelaki itu sedang Jaemin sudah mengambil banyak tempat di hatinya?

Yangyang takut. Ia takut jika kelak pada akhirnya semua akan sia-sia. Jika pada akhirnya Jaemin tak pernah mencintainya. Sedikit pun.

Embusan yang dihelakan berat membuat lelaki di sampingnya menoleh. Jaemin, si pemeran utama yang membuat kalutnya Yangyang karena ketakutannya itu menatap pemuda di sisinya. Bibirnya yang biasanya mengoceh atau bercerita panjang lebar hanya diam. Alis Jaemin tertarik mengerut, merasakan keanehan akibat diamnya si rambut pirang.

"Kalo ngantuk tidur aja."

"Aku nggak ngantuk," sanggah Yangyang pada kekasihnya, pemuda itu menatap Jaemin terang-terangan, mengagumi bentuk wajah lelaki tampan itu. Jaemin itu indah, benar-benar sempurna dalam balutan pakaian kerja dan rambut hitamnya. "Pacarku ganteng gini masa dianggurin aja, mending dipandangin daripada ditinggal tidur."

"Cih."

Jaemin mendecih dan Yangyang tersenyum. Pemuda itu cekikikan di samping Jaemin, menikmati perpindahan sore ke malam dengan kemacetan di luar kendaraan di tengah nyanyian klakson dan debu serta asap kendaraan berbaur menjadi satu.

"Jaemin."

"Hm."

"Renjun kasihan ya?"

Jaemin menoleh pada Yangyang. Pemuda itu menatapnya serius, raut wajahnya berubah. Pandangan pemuda bersurai pirang menyendu mengingat ia tahu bahwa sahabat Jaemin itu telah resmi bercerai dengan suaminya.

"Aku nggak nyangka ada cowok segila mantan suaminya yang tega ngebiarin orang kayak Renjun tinggal di kost, cari kerja sampai usia kandungannya delapan bulan demi biayain rumah sakit, terus waktu ketahuan bayi itu punya darah yang sama kayak mantan suaminya, baru deh diakuin." Pemuda itu bercerita berapi-api, ia bahkan mengepalkan tangan sebagai tanda bahwa dia amat murka dengan lelaki bernama Mark. "Aku bahkan nggak bisa bayangin gimana susahnya dia waktu itu, apalagi dengan keadaannya yang—aish! Aku beneran benci sama mantan suaminya."

"Aku juga."

"Kamu sahabatnya Renjun, pasti kamu juga ngerasain hal yang sama."

Jaemin diam tak menjawab. Ia ingin menyela namun tak sampai hati mengungkapkan bahwa ia memiliki perasaan yang lebih dari status itu. Tak sekadar kata sahabat saja yang ingin Jaemin miliki sesungguhnya. Namun, Jaemin tak punya kemampuan untuk mengutarakan pada Yangyang. Ada halangan dari kedua orang tuanya yang teramat menyetujui hubungan ini membuat Jaemin tak punya kuasa untuk menentukan jalan hidupnya lebih lagi dia sudah terikat perjanjian.

SINGGAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang