BAGIAN DELAPAN

864 78 22
                                        

Happy Reading.


Meledak-ledaklah hati pemuda itu seusai menikmati sajian yang dia makan bersama kekasihnya di bawah sinar sang candra. Yangyang memirsa kekasihnya tanpa ragu, dagunya menopang memandangi Jaemin yang sekarang memotong steak di hadapannya. Ia terkekeh, senyuman mengurai lebar ketika melihat bagaimana rapinya lelaki itu menyuap makanan.

Bibir terkulum yang tiada henti menyoroti pandangan membuat Jaemin mengangkat kepala. Netranya bertemu, sejenak Yangyang merasa aliran darahnya dipompa lebih cepat. Gerakannya makin meliar hanya karna bertatapan dengan pujaan hatinya yang bercahaya terpantul sinar dari api lilin di atas meja. 

"Kenapa nggak makan?"

"Aku lagi ngerekam memori pertama kalinya kamu ngajak aku dinner." Meski terdengar menghiperbola, namun pemuda ini ingin mengapresiasi usaha Jaemin yang menurutnya sudah mengeluarkan inisiatif untuk mengajaknya duduk berdua di meja khusus ini. "Aku berasa kayak lagi nge-charge energi kalau lagi sama kamu."

Yangyang berterus terang pada lelaki itu. Pemuda itu menunjukkan garis senyuman manis pada Jaemin, ia menyentuh jemari lelaki yang menganggur di atas meja, mengusapnya kemudian menyatukan buku-buku jarinya dengan milik Jaemin.

"Aku capek banget, tapi kamu malah ngasih aku obat. Makasih ya baby."

Jaemin hanya diam. Genggaman Yangyang diabaikan, ia biarkan pemuda itu mengusap buku-buku jarinya sedang dirinya memikirkan cara untuk menyelesaikan ini semua. Lelaki itu berdehem, ia lepaskan genggaman jari Yangyang ketika seorang pelayan mendorong troli makanan ke arah mereka. Bentuk pergerakan yang mana malah membuat si pemuda terpaksa memasang senyuman tipis.

"Makan dulu," titah Jaemin mengambil alat makannya tanpa menyadari bahwa pemuda di depannya merasa kikuk karena ditolak di muka umum.


***


Taeyong mendelik ketika melihat putranya melangkah menggendong seorang bayi ke arahnya. Matanya memicing, pria itu langsung berdiri menghampiri Mark yang membawa Chenle ke acara di mana seluruh keluarga besarnya tengah berkumpul.

"Mark."

"Bubu," ucap Mark mendekati Taeyong dengan bayi di gendongannya.

Manik kelerang Taeyong memandang sinis ke arah seseorang di belakang putranya. Tahu ditatap sedemikian tajamnya, Luke malah menunduk menyembunyikan pandangan karena ketahuan membawa tas Chenle yang berisi kebutuhan bayi kecil dalam gendongan ayahnya.

"Kenapa bawa dia?"

"Daddy dimana Bu?" tanya Mark mengabaikan pertanyaan bubunya karena tahu bahwa pria ini amat tak menyukai apa pun yang berhubungan dengan mantannya termasuk bayi dalam gendongannya. Sekalipun Mark sudah menjelaskan dan membawa rekam medis bahwa Chenle ini anak kandungnya, bubunya tetap bersikukuh bahwa ia menolak kehadirannya sebab dirinya juga menjadi saksi mata di mana adegan menjijikkan itu tersaji dalam pandangan.

Mark tak mencegah. Menurutnya, wajar bubunya merasa kecewa sebab pria ini sudah memberikan banyak hal untuk dirinya dan si mantan—termasuk rumah lama tempat ia dan mantannya itu tinggal.

"Lagi ngomong sama Om Vero," ucap Taeyong. "Omong-omong gimana? Kamu udah coba ngajak orang tua Serra untuk ketemu? Jangan bikin malu Bubu, loh, pastiin reservasi yang bener dan kalau perlu biar Bubu sendiri yang pesen tempatnya."

Mark tersenyum tipis. "Udah ketemu kemarin cuma belum ngobrolin kalau mau ngajak ketemu, Bu."

"Bubu udah sempet omong-omongan sama maminya Serra, kita juga udah mulai liat-liat WO," pancing Taeyong yang mana hanya diangguki oleh putranya.

SINGGAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang