"Hey, lo cowok geh, sini bentar."
Candradeva yang tengah berjalan membungkuk itu terperenjat saat seseorang memanggilnya.
Padahal dia sebisa mungkin nggak menarik perhatian geng pembully itu.
Candra berbalil dengan kikuk. Mampus dah.
"Beliin kita sarapan gih. Laper gue."
"Sa-sarapan apa?" tanya Candra.
"Kita kita bubur ayam aja lah. Lo mau apa, Rai?" Salah satu cowok itu melirik orang di sebelahnya yang sedang santai senderan ke tiang sambil main HP.
Tampilannya mencolok, auranya paling dominan, masih SMP laganya udah tengil kaya anak bos. Tapi emang dia anak bos sih.
"Sama aja. Tapi jangan make micin, kecapnya tiga sendok, sambelnya setengah sendok aja, kaldu ayamnya banyakin, tapi jangan sampe ada tulangnya. Ngerti gak lo? Oh, dan pastiin dulu kacangnya nggak keras, kalau keras nggak usah pake kacang."
Candra mengangguk sambil mengingatnya dengan keras.
"Beliin minuman dingin juga. Rasa apa aja, kalau avokado gulanya tiga, kalau mangga dua, kalau yang lain satu aja," tambah Raiden.
"Udah sana pergi." Mereka mengibaskan tangannya.
"Uangnya ...?"
Raiden berdecak. "Pakek duit lo aja."
"Oh ... oke." Candra cuma bisa mengiyakan.
Padahal uang jajannya pas-pasan. Tapi kalau menolak, akibatnya lebih menakutkan daripada nggak jajan seharian.
Cowok itu kemudian segera bergegas sambil mengingat-ngingat pesanan Raiden. Semoga nggak kesandung batu di tengah jalan.
Pesanan Raiden salah dikit bisa mampus dia.
.
.
.Lima belas menit kemudian, Candra kembali dengan tergopoh-gopoh.
"Lama banget lo! Hampir mati kelaparan gue."
"M-maaf, ngantri tadi."
"Otak lo aja nggak maen. Bego!" Raiden marah-marah. Dia menyambar plastik yang dibawa Candra.
Mereka lalu mulai melahap bubur panas itu.
"Bubur lo aduk dulu pekok."
"Najis, jadi kayak muntahan anjing."
"Bisa diem nggak lo pada?" sergah Raiden. Dia mengaduk buburnya sebentar lalu memakannya hanya untuk memuntahkannya ke lantai sesaat kemudian.
"Hukk!" Raiden langsung meminum jus alpukatnya sambil menatap tajam pada Candra. Dia lalu menyemburkan air di mulutnya tepat ke wajah cowok yang sudah tegang itu.
"Lo kasih kecapnya berapa sendok?"
"Se-setengah se-sendok." Candra menjawab dengan terbata-bata. Mampus ini mah mampus!
"Sambelnya?"
"Ti-tiga ...."
"Kebalik tolol!" Raiden berdecak kesal. Sementara teman-temannya cuma tertawa.
"Nggak bisa diandelin lo!" Raiden melempar buburnya hingga berceceran di lantai, dan sebagian makanan lembek itu mengenai sepatu branded-nya.
Candra hanya mematung sambil menahan napas.
"Ma-maaf, gue lupa ...."
Raiden mendengus kasar. Dia menjulurlan kakinya.
"Jadi kotor sepatu gue nyet. Bersihin," titahnya.Lah, orang lo yang lempar juga.
Candra cuma bisa senyum masam dalam hati.
"Nih ambil." Salah satu teman Raiden memberikan tisu.
Candra lalu berjongkok dan mulai membersihkannya. Dia tidak memedulikan pandangan para siswa yang lewat, dan tidak ada satu pun juga yang peduli padanya. Lebih tepatnya, tidak ada yang berani berurusan dengan Raiden.
Hal seperti ini seperti sudah lumrah di sekolah ini. Jadi Candra tidak terlalu malu karena bukan cuma dirinya yang pernah membersihkan sepatu Raiden.
Raiden menatap cowok yang dengan telaten membersihkan ujung sepatunya itu. Dia masih belum merasa puas.
"Jilat."
"Huh?" Candra agak cengo mendengar perintah Raiden.
"Gue bilang jilat.Tuli lo?"
"Tapi--"
Bugh
Raiden menekan kepala Candra dengan kakinya hingga wajah cowok itu mencium sepatunya.
"Jilat yang bersih. "
"Ugh!" Candra mengepalkan tangannya sambil gemertak. Nggak sampe gini juga sialan ....
"Apa? Lo mau ngelawan? Jangan lupa, ibu lo kerja di--"
"Oke! Oke ... gue bakal lakuin semua yang lo minta. Jangan libatin ibu gue." Candra mengendurkan kepalan tangannya. Urat-urat di lehernya sudah menegang, tapi pada akhirnya dia hanya bisa merendahkan dirinya dan menjilat ujung sepatu Raiden.
Raiden tersenyum dan menepuk kepala Candra pelan. "Good boy!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Destroy Me [Completed]
RomanceKisah ini lebih rumit dari sekedar perundung yang jatuh cinta dengan korban. Ini adalah cerita tentang obsesi, penyesalan, karma, dan ikatan yang berubah-ubah tiada habisnya. Benci jadi cinta, cinta jadi benci, kemudian jadi cinta lagi, dan jadi be...