Part 56

5K 486 132
                                    

Semalam langit cerah banget padahal, tapi siangnya malah mendung. Candra menengadah sambil menemprakkan telapak tangannya dan merasakan tetesan air yang dingin jatuh ke kulitnya.

Wajah cowok itu tanpa ekspresi, kemudian matanya yang sayu kembali menatap gundukan tanah merah yang masih basah di depannya.

Sejak dia menerima kabar dini hari tadi, lalu menyaksikan tubuh pamannya yang tak berupa, hingga sekarang dia duduk di sana, di kuburan pria itu, belum ada satu tetes air pun yang jatuh dari matanya.

Karena suatu alasan, Candradeva gak mampu menangis.

Winara dan Anndika berdiri di belakangnya, memegang payung untuk menaungi mereka.

Wajah wanita itu mungkin sembab, tapi dia tampak baik-baik aja.
“Sejak dia mutusin buat bekerja di bidang ini, Mama udah siap dengan hal ini.” Dia meremas senyum tegar.

“Arjuna anak yang kuat sejak masih kecil. Kami gak pernah sekali pun gak bangga sama dia, dan sekarang Mama juga bangga. Dia gugur dalam impiannya, Mama yakin dia juga gak punya penyesalan apapun.”

Anndika cuma diam, hanya mendengarkan dan melihat. Dia gak pernah bertemu dengan adik bungsu mamanya ini. Sejak kecil Arjuna sudah ikut merantau ke kota bersama kerabat mereka untuk mencapai cita-citanya.

Anndika belum pernah ngelihat dia secara langsung sekalipun, dan ketika dia diberi kesempatan untuk melihatnya hari ini, pamannya itu sudah berubah menjadi onggokan berdarah yang gak bisa dikenali. Dia mungkin gak punya kesan apapun dengan Arjuna, tapi Candra …, Anndika menatap punggung Candra yang masih duduk memeluk lutut di depan makam. Sejak mereka berpisah, anak itu bergantung dan dijaga oleh Arjuna.

“Ayo kembali, biarin Deva di sini,” ujar Winara. Anndika kemudian mengikutinya dalam hening.

Candra duduk di sana selama beberapa jam lagi sampai hujan turun menderas. Dia mengambil segenggam tanah dari kuburan itu dan meremasnya kuat.

"Lo mau gue gak terlibat lebih jauh sama hal ini? Maaf, gue gak bisa. Orang-orang itu, bakal gue hancurin sampe ke akar-akarnya. Inget janji gue."

Candra menengadah saat merasa hujan gak lagi jatuh ke kepalanya. Dia melihat Raiden berdiri memegang payung di belakangnya.

"Gue dateng telat." Raiden membantu cowok itu berdiri kemudian memeluknya.
"Gak papa, ada gue di sini."

"Gue gak papa." Suara Candra emang kedengeran biasa-biasa aja seolah gak ada duka.

Dia ngangkat kepalanya dan tersenyum. "Arjuna gugur karena pilihannya. Sekarang bukan saatnya gue nangis, gue udah janji sama dia, gue bakal bales mereka semua, gue sumpah."

Raiden menatapnya tanpa mampu mengatakan apa-apa. Dia kemudian mengangguk dan kembali memeluknya.
“Jangan gegabah. Tenangin dulu diri lo baru pikirin bales dendam.”

.
.
.
.
.
.
.
.







“Gimana itu bisa terjadi? Apa lo gak punya perhitungan sampai ngebunuh semuanya tanpa sisa?” Anndika berpangku tangan, menatap Raiden yang tengah memijat keningnya pusing.

“Lo tanya aja mereka.” Raiden menunjuk dua benda yang menggantung beberapa meter di belakangnya. Gak jelas kelihatan kalau itu manusia. Mereka gak memiliki kulit, hanya merah dan meneteskan darah.

“Kacau. Harusnya kita ngebuang semua jasadnya tapi gak mungkin kalau mayat Arjuna gak dikembaliin. Dan lagi, ada satu orang yang selamat.” Raiden mendengus kasar.

“Bunuh,” ujar Anndika.

“Tapi polisi yang itu juga cukup deket sama Candra,” sahut Revy yang berdiri di belakang Anndika.

Destroy Me [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang