CHAPTER IX: The Heirs

3K 319 135
                                    

Deinos melangkahkan kaki menuju gerbang Viridis dengan wajah cemberut masam. Dari kejauhan ia sudah melihat jelas rombongan kecil kakaknya sedang sibuk mempersiapkan perjalanan mereka menuju Igulapis, daerah perbatasan antara Ansaladus dan Ganimedes.

"Apa kau lupa akan adanya aku disini, Nunos?" Deinos memecah konsentrasi Nunos yang sedang sibuk mengemasi barang pribadinya ke dalam peti kayu.

"Tidak." Nunos menjawab ringan, "Apa yang membuatmu berpikir semacam itu?"

"Tidakkah kau rasa aku sudah pantas mendengar perbincangan di dalam tendamu?"

Nunos yang sedang terduduk di depan petinya pun mendongakkan wajah menatap wajah cemberut adiknya, "Ku kira kau begitu benci mendengarku angkat suara."

"Benar." Deinos menjawab mantap, "Tetapi tidak benar bagimu memperlakukanku selayaknya anak kecil. Aku juga seorang pewaris tahta, sama sepertimu. Aku pun berhak mendengar tentang apa yang akan kita hadapi dalam peperangan."

"Baiklah." Nunos bangkit dari duduknya, menyungging senyum kecil mendengar adiknya yang baru berusia belasan menyebut dirinya sendiri seorang yang telah dewasa, "Aku akan mengundangmu ke dalam tendaku di lain waktu."

"Aku akan ikut serta menuju Igulapis." Deinos bersikukuh menunjukkan tekadnya untuk berkontribusi dalam peperangan.

"Tidak." Nunos menolak tegas dengan wajah dinginnya, "Kau tidak akan berada di satu peperangan yang sama denganku."

"Kau pikir aku tak pantas berperang bersamamu?" Deinos menarik pedangnya, tak meragu apabila ia harus menunjukkan kemampuan mengayun pedang di hadapan kakaknya kini.

"Aku tau apa yang kau mampu." Nunos mengangkat peti kayunya menuju kereta barang, "Para prajurit Viridis bicara banyak tentangmu. Mereka berkisah bahwa kau adalah seorang jenius dalam mengayun pedang. Mereka kagum dan hormat pada semangat juangmu."

Deinos terdiam, pedangnya kembali ditempatkan di sisi pinggangnya. Dalam hati ia merasa bangga diri mengetahui bagaimana para prajurit Viridis memandangnya, tetapi mulutnya sudah kembali bersiap mendebat keputusan kakaknya meninggalkannya menetap jauh dari peperangan.

"Lalu apa yang membuatmu mengabaikan kekuatanku? Aku pun mampu maju berperang untuk Ansala—"

"Karena salah satu dari kita harus tetap hidup." Nunos memotong celotehan Deinos.

Ia menatap lelah wajah adiknya yang tumbuh besar di garis peperangan itu. Begitulah Deinos menumbuhkan obsesinya dalam berperang, pikir Nunos. Jika saja Deinos tumbuh besar di kastil Ansaladus, mungkin saja pemuda itu lebih gemar berkuda dan berburu bersama raja dibanding berpedang dan berperang bersama prajuritnya.

"Anax sudah semakin termakan usia, salah satu dari kita harus bersiap naik tahta menjadi raja." Nunos menuturkan alasannya, "Jika dua dari kita mati dalam peperangan, siapa yang akan melindungi tahta dan bangsa ini?"

Deinos mendengus kesal. Meskipun ia merasa iri melihat Nunos kembali memimpin peperangan, ia pun sepaham dengan argumen kakaknya, bahwa satu dari mereka ditakdirkan menjadi Raja selanjutnya dan tak seharusnya Deinos mati konyol bersama kakaknya di medan perang.

Merasa tak ada lagi yang perlu ia perdebatkan dengan Nunos, Deinos pun berbalik badan hendak melangkah pergi. Tetapi Nunos menyempatkan diri memberi komando kepada adiknya yang masih nampak kecewa itu.

"Jika kau ingin buktikan dirimu, pimpinlah Viridis." Nunos meletakkan peti kayunya ke dalam kereta barang, "Menetaplah disini selagi aku sedang jauh dalam peperangan, pimpinlah Viridis."

"Jika itu kehendakmu, bawa serta abdi setiamu itu. Aku tak butuh pengasuh." Deinos melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Nunos yang hanya mampu menghela nafas mendengar ujaran kasar adiknya.

ENIGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang