CHAPTER VI: Battle of Old Love

3.1K 312 153
                                    

Di tengah pertempuran yang pecah di tanah vetuamor itu, langit beralih menjadi gelap keabuan, seolah para Dewata sedang menyaksikan bagaimana manusia saling menyerang satu sama lain, memperjuangkan hasrat kekuasaan masing-masing. Nadi-nadi petir menyala berkilap di bentangan langit sendu. Di tengah gaduhnya semangat dan rintihan para prajurit, ada pula mereka yang berhadapan dengan sengit.

Kosakata
Vetuamor: Nama daerah yang berada di garis perbatasan antara Paeciros dan Magnyria. Dibentuk dari frasa Vetus Amor yang berarti old love atau cinta usang/cinta lama.

Pthios hadir untuk menangkal kematian yang sempat begitu dekat dengan Nunos. Dengan wujud manusianya, ia hadir sembari mengusung tombak apinya. Matanya menoleh ke arah bahu Nunos yang terluka cukup dalam, darahnya terlihat mengalir tanpa henti. Meski ia keturunan seorang Dewa, Pthios tidak dianugerahi dengan ketangkasan dalam menyembuhkan luka dan kesakitan. Yang dapat ia lakukan untuk Nunos saat ini hanyalah berdiri di hadapan sosok mage itu, menjadi tameng bagi Nunos di hadapan Minos.

"Seluruh dari umatku dengan patuh berdoa padaku di atas tanah ini. Tidak akan ada restu bagimu untuk membawa celaka pada penyembahku." Begitu Pthios berujar, ujung tombaknya dengan lincah diayunkan menyerang ke arah Minos.

Minos masih bersikap masa bodoh, sungguh ia tak peduli dengan segala narasi yang lawannya ungkap, kemenangan adalah tujuan utamanya. Tubuhnya dengan lincah menghindari serangan tombak Pthios. Kewaspadaannya semakin tinggi begitu menyadari ujung tombak itu memiliki bara api biru, jenis api terkuat yang dapat membakar kulitnya dalam hitungan detik. Meski ia kehilangan satu bilah pedangnya, Minos masih tangkas memanfaatkan satu sisa pedangnya. Beberapa kali ia mengayunkan pedangnya dengan agresif, mencoba menoreh luka di dada atau perut sosok bertombak itu, dimanapun yang dapat membuat sosok itu tumbang dan hilang nyawa.

Pthios bukanlah petarung yang terbaik diantara para keturunan Dewa-Dewi, tetapi ia terbilang cukup gesit dan tangkas. Sayangnya, ketangkasannya terpatahkan oleh beringasnya sosok Minos. Meski pria itu telah kehilangan satu pedangnya, Pthios tidak mendapat jeda apapun untuk melangkah maju menyerbu. Ia terus dipukul telak, kakinya terus melangkah mundur sembari memanfaatkan tombaknya untuk menangkis ujung pedang Minos yang terus menerus mengintai kulit dan dagingnya. Pthios menyempatkan diri untuk mengarahkan ujung tombaknya ke arah sisi kanan perut Minos, namun tertangkis oleh sesuatu, sebuah pelindung yang nampak begitu samar. Dengan cekatan Pthios menoleh ke arah Nunos yang terduduk di atas bebatuan, menyadari bahwa Pangeran Ansaladus itu menyaksikan pergelutannya dengan Minos sedari tadi, menyadari bahwa Nunos memberikan pelindung di sekitar tubuh Minos selama Pthios berusaha menyerang Pangeran Epesia itu.

Geram, Pthios merasa terbakar api cemburu. Tombaknya digerakkan lebih gesit lagi, mencoba mengungguli ketangkasan Minos. Dengan memusatkan segala amarah dan sihirnya di ujung tombaknya, Pthios melangkah mundur, memukul pelat baja yang melindungi tubuh Minos. Dalam sekejap, ujung tombaknya menyemburkan bara api biru yang meledak begitu saja.

"Pthios!!" Nunos berteriak histeris, ia tak lagi mempedulikan bahunya yang terluka, dirinya bangkit dan berlari. Nunos menembakkan busurnya ke arah Pthios, anak panahnya pecah menjadi sebuah angin kencang, menghempas tubuh Pthios menjauh dari Minos.

Minos terdorong ambruk begitu saja, sentuhan api biru di armornya membuat kulit dan lambungnya seolah sedan ditimpa besi yang teramat panas, dalam sekejap perutnya terasa terbakar meleleh. Jemarinya gemetaran menahan sakit yang teramat sangat itu, berusaha melepaskan armor baja yang seolah masih terbakar itu, berharap dengan begiu sakitnya dapat mereda.

Nunos akhirnya terduduk bersimpuh tepat di samping Minos, tangannya turut gemetar ketakutan, ia merapel mantra dan menempelkan jemarinya di pelat baja yang masih menempel di tubuh Minos. Seketika Minos merasa panas yang menyiksa perut dan tubuhnya mereda begitu saja. Ia sempat memandangi sosok Nunos yang hadir dan membantunya dengan sukarela. Mage itu hadir begitu dekat, begitu mudah dijangkau dengan tangannya. Perlahan, Minos meraih kembali pedangnya selagi Nunos masih nampak sibuk merapel mantra pada tubuhnya. Dengan cekatan, satu tangan Minos diangkat, mengayun pedang dengan begitu tepat, hendak memenggal kepala Nunos.

ENIGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang