Bab 3

480 36 6
                                    

"Kalau kau mau tertawa tertawa saja" Astaga, lihatlah, dia menggembungkan pipinya. Aku menatapnya sedikit terkejut, dia menatap ku bingung. Akhirnya, satu tawa lolos dari mulut ku, di susul dengan tawa kecil lainnya.

Setelah selesai tertawa, aku mempersilahkan Raphael untuk duduk. Dia mendengus melihatku masih menahan tawa ku, aku kali ini dengan perlahan mengatur nafas ku. Lalu, kembali fokus dengan apa yang ingin aku tanyakan pada orang di seberang sana.

"Jadi, mengapa Yang Mulia Putra Mahkota datang ke kamar yang akan segera saya tempati ini pada siang hari seperti ini?" Dengan senyuman terpaksa, tentu saja. Dia memicingkan mata nya pada ku saat mengetahui senyuman terpaksa ku berikan untuknya.

Dia me mendengus kesal, lalu merubah posisi duduknya. "Jangan terlalu formal sama aku begitu dong, Lla. Panggil aku Ael aja, kenapa?" Aku terkejut, lalu berpikir sejenak.

Cukup menarik memanggil seorang Putra Mahkota dengan nama kecilnya, yang bahkan hanya untuk ku saja, aku tidak pernah mendengar sedikitpun nama Ael di sebutkan dimana pun, termasuk dengan Kaisar. "Tapi Yang Mulia, ini adalah formalitas yang memang harus saya lakukan. Jika tidak itu akan sangat tidak sopan, Yang Mulia" Aku memberikan sedikit penolakan untuknya, aku ingin mendengar apa jawabannya.

"Lla, kita kan sudah dekat sedari kala itu. Kamu lupa?" Aku mengangkat alis ku saat mendengarkan jawaban yang tak terduga keluar dari mulutnya, dengan iseng aku mengangguk. Raphael membelakkan mata nya, seperti menatapku tak percaya.

Aku semakin terkejut saat melihat ekspresi putus asa darinya di tambah dengan air mata menggenang di pelupuk matanya, bahkan air mata itu hampir jatuh. Dengan khawatir dan takut, aku bangun dari dudukku, lalu duduk di sebelahnya.

Ku peluk kepalanya, lalu mengelus rambut belakangnya hingga ke punggung. Aku sedikit tidak menyangka ini akan terjadi, untuk kamu yang masih belum mengerti apa hubungan ku dengan Raphael ini, biarlah aku menjelaskannya.

Raphael dan aku adalah teman dekat semenjak aku di terima menjadi ksatria penjaga gerbang sebelumnya, tetapi semakin lama kami berteman, dia menjadi sedikit jahil dan kejahilan itu semakin bertambah. Hingga, sewaktu itu dia mengungkapkan perasaannya pada ku saat aku sedang tanding berpedang dengannya.

Memang sangat tidak romantis kala itu, entahlah. Dengan bodohnya, aku termangu hingga mata dan mulut ku terbuka selebar mungkin. Berakhir dengan aku yang menjatuhkan pedang ku, ya aku kalah bertanding darinya. Saat itu aku bertanya untuk meyakinkan perasaan Raphael untuk ku, dan dia bersungguh-sungguh untuk itu, aku sangat terkejut kala itu. Dan berakhirlah kami yang menjadi seperti ini.

***


Raphael memeluk ku balik, bahkan dia sudah duduk di pangkuan ku. Aku mengelus punggungnya, dia menyembunyikan wajahnya di pundak bagian kiri ku. Lengan dan kakinya melingkar di tubuh ku, seperti tidak ingin melepaskannya sama sekali.

"Kamu benar-benar lupa?" Dia bertanya dengan suara pelan di sela-sela isakan tangis, aku masih mengelus punggungnya untuk menenangkannya, lalu mencium kepala nya.

Aku menangkup pipinya, lalu mendongakkan kepalanya dengan kedua tangan ku,ku menggeleng. "Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya bercanda saja, Ael. Sudahlah jangan menangis, di bawah mata, pipi dan hidung mu menjadi merah, juga nanti mata mu bisa sembab"

Dia semakin melengkung kan  bibirnya ke bawah, mata nya semakin berkaca-kaca. Dengan inisiatif, aku mencium keningnya, pipinya, kedua mata nya, lalu hidung, dan terakhir mengecup bibir nya. Dia menjadi terdiam seketika, pipinya menjadi merah, tidak, bukan hanya pipinya, tetapi seluruh wajahnya bahkan hingga sampai ke telinga.

Aku kembali terkekeh, mencubit pipinya gemas. "C-ciuman pertama aku" Dia menatap ku tepat di mata ku, aku tersenyum lembut padanya. Raphael memeluk ku erat, dia bergerak menyamankan dirinya sendiri. Ku dongak kan kepalanya. "Itu juga ciuman pertama ku, Ael" Ku jepit hidungnya dengan ibu jari dan jari telunjukku.

Wajahnya kembali bersemu merah, aku kembali terkekeh. Aku sejujurnya sangat suka menggodanya, karena melihat responnya sangat menggemaskan. Membuat ku ingin menerkamnya langsung dan-

Cukup. Tak usah dipikirkan, Raphael sudah keluar saat aku menyuruhnya untuk mandi. Pada awalnya dia menolak dan memilih untuk mandi bersama ku, namun aku pun menolak. Dan aku memikirkan sebuah ide yang benar-benar membuatku menyesal mengatakannya.

"Nanti, kalau sudah mandi dan makan malam. Kamu boleh tidur sama aku" Saat itu matanya berbinar imut, jujur, saat aku mengucapkan itu aku sama sekali tidak berpikir dua kali. Dan dengan cepat dia mengangguk dan menyetujuinya, aku melambaikan tangan ku saat Raphael melambaikan tangannya terlebih dahulu.

Sekarang, sudah selesai makan malam. Juga, aku sudah menggunakan baju tidur, namun aku masih belum tidur. Aku sedang mengerjakan tugas ku yang masih merupakan seorang Grand Duchess, ya, bertemu dengan kertas-kertas perizinan ini dan itu. Yah, ini sudah menjadi tugas seorang Duchess, sebenarnya tidak seberat itu.

Tetapi, hei aku tidak memiliki seorang Duke di sini. Jadi, aku mengerjakan semua ini sendirian. Di temani dengan lilin dan pena membuatku menjadi semakin tekun, lihat saja bahkan aku menggunakan kacamata baca untuk bekerja. Bukan karena aku tidak bisa melihat jarak dekat, hanya saja ini menambah semangat ku saja.

"Lla~" Aku mendongak dan terkejut mendapati Raphael yang sedang tepat berada di depan meja kerja ku. Dia mengenakan baju tidurnya, dan sandal tidurnya yang terlihat nyaman. Aku menjawabnya dengan deheman saja, lalu melanjutkan tugas-tugas ku.

Aku terkejut lagi saat dia mendorong kursi ku kebelakang, lalu dia duduk di pangkuan ku dengan tubuh menghadap aku, lalu dia melingkarkan tangannya di tubuh ku, dan tentu saja dia akan menyamankan posisinya yang sekarang.

Dengan tangan yang masih memegang kertas dan pena, saat dia melakukannya, aku hanya bisa mengangkat kedua tangan ku sebagai gerakan yang tiba-tiba. Aku menaruh kembali kertas dan pena ku, lalu menatapnya yang sudah menyembunyikan wajahnya di dada ku. Aku menepuk dahi ku saat mendengar dengkuran halus yang dia buat.

"Kamu benar-benar tertidur, Ael?" Aku berbicara padanya yang sedang tertidur, kembali ku tepuk dahi ku karena terlalu bodoh berbicara pada orang yang sedang tertidur, bahkan sudah mendengkur.

Tidak, maksud ku seperti ini, bagaimana bisa ada seseorang yang baru saja menyesuaikan posisi dia untuk tidur dan dia langsung tertidur pulas, bahkan mendengkur halus. Bukan kah itu pertanda bahwa dia sudah memasuki alam mimpi, bukan.

Akhirnya aku benar-benar mengerjakan tugas-tugasnya itu dengan Raphael yang tertidur di pelukan ku dalam posisi duduk di pangkuan ku. Tenang saja, aku tidak merasa terganggu. Menurutku posisi ini sangat nyaman untuk ku, maupun Raphael.

I CAN'T, CROWN PRINCE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang