9A Jemari Lentik

105 2 0
                                    

BA 9 Jemari Lentik

 

 

Syila duduk di sofa pantry, masih terpaku dengan pikirannya. Langkah kaki terdengar memasuki ruang untuk pelarian para karyawan menghalau kantuk dan pegal karena duduk terlalu lama. Perusahaan kosmetik turun temurun milik keluarga Ilyas Arkana Wijaya memang mengedepankan kenyamanan tidak hanya bagi petinggi, tetapi juga bagi karyawannya. 

 

"Nona, Syila. Ngapain di sini pagi-pagi?" Pria berpostur layaknya seorang bodyguard itu berjalan mendekat ke arah rak berisi aneka minuman. 

 

"Eh Pak Alex. Bikin coklat panas, biar moodnya naik, Pak." Syila mencoba memberikan senyum terbaiknya seperti saat dia masih menjadi sekretaris Zein sebelum menikah. Walaupun hatinya sedang dongkol dengan bosnya, Syila tidak mau orang lain kena getahnya. Sebisa mungkin ia menghindari hal itu. 

 

Tidak heran banyak karyawan yang menyukainya sifat Syila. Dia wanita yang mudah bergaul dan pandai bicara. Obrolannya selalu menyenangkan. Bahkan pertemuan pertamanya di Bromo dengan Refan membuat pria itu terkesan. 

 

Alex adalah tangan kanan Ilyas saat menjabat sebagai orang terpenting di perusahaan itu. Dia Turun temurun menemani perkembangan perusahaan kosmetik yang sekarang dipimpin Zein. 

 

"Pak Alex sendiri?" Ganti Syila yang berbasa-basi menanyakan. Sejatinya karyawan yang ke pantry ya pasti bikin minuman atau duduk sejenak menikmati segelas kopi dan semacamnya, sambil makan cemilan yang disediakan. 

 

"Ngopi, nih. Ngantuk, semalam begadang nonton bola," ungkapnya. Syila mengulas senyum, lalu kembali menyesap coklatnya yang mulai hangat kuku. 

 

"Tentang klien yang dijadwalkan memeting siang ini ditunda besok. Pak Alex siapkan berkasnya, ya!" 

 

"Oh, nggak jadi siang ini? Pak Zein belum bilang apa-apa sama saya." Syila mengerutkan keningnya. Ia berpikir kenapa hal sepenting itu, asisten pribadinya belum dikabari. 

 

"Iya, mungkin bos lupa ngabari Pak Alex." 

 

"Iya kali, tadi malam kan bos sama Nona Syila malam pertama. Kenapa juga hari ini sudah masuk kantor. Harusnya Pak Zein sama Nona Syila honeymon dulu." Ucapan panjang lebar Alex hanya dibalas dengan seulas senyum miring dari bibir Syila. 

 

"Bagaimana mau honeymon, Mas Zein aja sikapnya dingin kayak gunung Alpen," gerutu Syila dalam hati. 

 

"Oya, Pak Alex, kenal Mbak Sania?" Pria berusia kepala empat itu menoleh ke arah Syila. Senyum tersungging di bibirnya, membuat Syila tak enak hati ingin melanjutkan obrolan. Secara tidak langsung, Syila sudah mengajaknya membicarakan tentang seseorang. 

 

"Ya. Nona Sania sudah di perusahaan ini lama sebelum Nona Syila." 

 

"Pak, bisa nggak kalau panggil saya kayak biasanya saja. Saya jadi nggak enak sama Pak Alex, nih. Panggil Mbak Syila aja." 

 

Kembali, Alex menarik bibirnya lurus. Syila memang tidak teelalu suka jika ditinggikan posisinya. Ia lebih suka ngobrol dengan suasana cair tanpa kecanggungan. Posisi mereka sama, sama-sama manusia ciptaan-Nya. 

 

"Jadi, Mbak Sania dulu...." 

 

"Dulu dia sekretaris Pak Zein. Belakangan karena ada perselisihan diantara saudara kembar itu, hubungan ketiganya kurang baik."

 

"Maksudnya bertiga Pak Zein, Refan, dan Mbak Sania?" Alex mengangguk. Syila semakin penasaran ingin mengulik masalah yang melibatkan tiga orang di dekatnya itu. Namun sebuah panggilan di ponsel mengurungkan niatnya. 

 

"Ya, Pak, saya segera ke sana." Syila beranjak dari duduknya setelah coklat panas di cangkirnya tandas. Ia mengucap permisi pada Alex dan tidak lupa mengucap terima kasih atas obrolannya. 

 

Gegas Syila kembali ke ruangnya karena panggilan dari Zein. 

 

Sementara itu, Alex masih menikmati secangkir kopi yang asapnya mengepul. Dia memandang cangkir yang masih penuh, pikirannya menerawang jauh. 

 

"Pak Alex!" Refan tiba di pantry menyapa asisten pribadi kepercayaan abinya. 

 

"Eh, Mas Refan. Ngopi, Mas!" ajak Alex berbasa basi seperti biasa. 

 

"Tidak Pak, terima kasih. Semalam saya sudah kebanyakan ngopi. Ganti coklat saja." 

 

Alex tertegun, tidak biasanya Refan menolak minum kopi. Dia hanya menggeleng heran. 

 

"Oya. Pak Alex tadi ngobrolin apa sama Arsyila?" Refan jelas ingin tahu apa saja yang dilakukan Syila, karena itu bagian dari tugas yang diperintahkan abangnya. 

 

"Cuma basa-basi, Mas. Mbak Syila langsung mendapat panggilan Pak Zein supaya pergi ke ruangnya." 

 

"Oh." Refan duduk di seberang Alex yang mulai menyeruput kopinya, sementara Refan masih menunggu panasnya coklat mereda. Refan mengambil biskuit yang ada di meja. 

 

"Nona Sania apa kabar?" Refan mengernyitkan dahi. Ia merasa heran, kenapa tiba-tiba Alex menanyakan wanita itu. Wanita yang telah pergi meninggalkan abangnya dan kini kembali dengan berbadan dua. Setitik nyeri hadir di dadanya, seolah membuka luka lama yang belum kering. 

 

"Baik, Pak. Dia sedang hamil." 

 

"Apa?! Hamil?!" 

 

Menikahi Adik Ipar Sendiri (Bertukar Akad)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang