Bab 2A Malam Pertama

518 8 0
                                    

BAB 2A Malam Pertama

 

 

Mata Syila mengerjap pelan. Ia memejam kembali, lalu membuka perlahan matanya. Yang dilihat pertama kali bukanlah suaminya, melainkan mertuanya umi Hira.

 

"Mi. Mas Zein mana?" Tampak raut bingung terlukis di wajah Hira.

 

"Oh, Zein sedang mandi di kamar sebelah. Tunggulah sebentar, nanti dia kemari!" 

 

"Kepalaku pusing, Mi." Syila mer4ba kepalanya yang tertutup jilbab instan berbahan kaos. Ia juga merab4 badannya ternyata kebayanya sudah terlepas berganti dengan gamis. Melihat kebingungan di wajah Syila, Hira tersenyum sekilas.

 

"Umi yang tadi nggantiin baju kamu." Syila terkesiap, lalu beroh ria. Rasanya malu jika sampai suaminya yang mengganti bajunya.

 

"Mi, Wanita yang hamil besar tadi?" Wajah tersenyum Hira berubah sendu. Seolah ingin menyampaikan berita sedih untuk Syila.

 

"Oh, nggak usah dijawab kalau gitu, Mi. Syila sudah tahu. Mas Zein yang sudah jelasin tadi."

 

"Maafkan umi, Syila! Umi hanya ingin Zein bahagia, menemukan wanita yang bisa membuatnya tersenyum kembali setelah terluka. Umi percaya wanita yang cocok itu kamu.

 

"Bahagia? Apa hanya Mas Zein yang berhak bahagia? Lantas aku?" Syila berkutat dengan pikirannya sendiri. Otaknya mendadak buntu. Ia teringat ucapan wejangan dari ayah dan ibunya sebelum memutuskan menerima perjodohan ini.

 

"Syila, perusahaan ayah sedang diujung tanduk. Hanya kamu putri satu-satunya  yang bisa menyelamatkan. Mas Arka sudah berkeluarga dan punya anak. Dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai pengajar."

 

"Maksud Ibu gimana?" Syila mengerutkan keningnya tak paham.

 

"Menikahlah dengan putra rekan bisnis ayah ya!" Syila tercenung. 

 

"Menikah. Yang benar saja?" Bagi Syila menikah muda belum masuk dalam list rencana jangka pendeknya. Haruskah ia mengikuti jejak sang ibu yang menikah di usia 22 tahun dengan sang ayah yang seorang duda beranak satu. Usia mereka terpaut jauh, hampir 17 tahun kala itu.

 

Di usianya yang baru genap 20 tahun, Syila ingin meniti karirnya. Begitu ibunya meminta, bagaimana bisa ia menolaknya. Ia termasuk anak yang patuh, meski gejolak hati ingin menentang itu ada. Syila tidak ingin mengecewakan ibunya. Terlebih akhir-akhir ini ayahnya sering keluar masuk rumah sakit untuk pengobatan sakit jantung. 

 

"Syila mau asal ayah dan ibu merestui. Karena tanpa restu kalian, Syila tidak mungkin bisa kuat menjalani." Swari sang ibu mengulas senyum. Kenyataan membujuk putrinya tidak sesulit yang ia bayangkan. 

 

Sebulan setelah keputusan menerima perjodohan, Syila berangkat ke Jakarta meninggalkan kota kelahirannya Yogyakarta. Sesuai ijazahnya, Ia bekerja sebagai sekretaris di perusahaan calon mertuanya. Perusahaan kosmetik ternama itu dipegang oleh pria tidak lain putra pemilik perusahaan. Namanya Zein Raditya Arkana. Syila dan Zein menjalin hubungan perkenalan melalui statusnya yaitu sekretaris dan bos.

 

Syila terbangun dari lamunannya. Ia tersenyum kecut jika mengingat proses perjodohannya dengan Zein. Terlintas sebuah penyesalan karena tidak mengindahkan ucapan adik iparnya bernama Refan Raditya Arkana saudara kembar suaminya.

 

"Umi ke kamar dulu ya, mau mijit abi katanya capek tadi berdiri terus menyalami tamu." Syila mengangguk, mencoba tersenyum pada ibu mertuanya.

 

"Jangan lupa supnya dihabiskan sama jahe panasnya juga ya! Biar pusingnya reda."

 

"Ya, Mi. Terima kasih."

 

Malam telah menyambut, terlihat dari jam di nakas menunjuk pukul setengah delapan. Syila melihat semangkuk sup yang masih mengepul ada di nampan bersama segelas jahe yang membuat air liurnya mengucur. Sepertinya lezat dan hangat. Gegas ia mengambil jahe itu dan menyeruputnya sedikit karena masih panas. Ia beralih mengambil mangkuk sup.

 

Sup berisi kuah daging ayam dan sayuran brokoli, wortel serta daun bawang menghangatkan tubuhnya setelah tandas masuk ke perut. Rasa pening di kepalanya mulai berangsur hilang. Namun hatinya masih terasa nyeri. Menepuk-nepuknya berulang pun tidak mampu mengubah rasa nyeri itu. Memilih menenggelamkan kepalanya di atas lutut yang ditekuk, Syila justru tergugu.

 

Suara derit pintu dibuka pun tidak disadari oleh Syila yang tenggelam meratapi nasibnya. Langkah kaki kian mendekat, lalu si pelaku berdiri tidak jauh dari ranjang.

 

"Ngapain menangis! Gue pikir cewek bar-bar kayak lu nggak bisa nangis. Syila, Syila. Memangnya sudah berapa lama kamu mengenal abangku, sampai-sampai tidak tahu kalau ditipu." 

 

Kalimat serupa ejekan bergulir masuk ke indra pendengaran Syila. Lama kelamaan darahnya mendidih sampai ke ubun-ubun. 

Ia menghentikan tangisannya, lantas mengusap wajah agar tidak terlihat kuyu.

 

"Ngapain kamu ke sini? Kalau kemari hanya ingin mengejekku, silakan pergi sekarang juga!"

 

"Huh, dasar cengeng!"

 

Menikahi Adik Ipar Sendiri (Bertukar Akad)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang