07. Sat Set Sat Set

18 11 20
                                    

bismillahirrahmanirrahim

double update!

vote, ya, bestie!

***

Keadaan sunyi menunggu kehadiran sang dokter yang sedari tadi belum kunjung datang dari ruangan ICU.

Beberapa menit kemudian kedatangan laki-laki berseragam putih rapi keluar dari ruang tersebut dan langsung disambut oleh keluarga pasien.

Dokter yang disapa Erlan menghampiri keluarga pasien untuk menyampaikan keadaan pasien.

“Bagaimana keadaan putri saya, Dok?”
Pria paruh baya langsung menghampiri pria berseragam putih yang baru saja menangani putrinya.

“Keadaannya mengalami benturan fisik di kepala, tetapi itu tidak parah, sehingga tidak menimbulkan sakit berat,” jelas Erlan.

“Alhamdulillah. Terima kasih, Dokter. Apa kami diperbolehkan untuk menjenguk keadaan Qiara?” Aza bertanya.

Usia dokter terbilang cukup muda itu mengangguk. “Boleh, kalau begitu saya permisi.”

Di dalam ruangan terdapat bocah gembul tengah memegang kepalanya, mereka sangat sedih melihat putri sulung sudah banjir air mata, tetapi tak kunjung bersuara.

“Kak Ara ...,” panggil bocah perempuan yang sedari tadi juga menangis.

Anak bungsu itu memanggil kakaknya berulang kali kini bocah perempuan dengan gamis hitam menoleh kedua orang tuanya bergantian.

“Sayang.” Wanita yang tak lain bunda mereka memanggil anak sulungnya karena benar-benar tidak ada respon sepatah pun yang keluar dari mulut Qiara.

Reagan tiba-tiba berteriak meminta dokter Erlan memeriksa kembali kondisi putri cantiknya.

Dengan tergopoh-gopoh, laki-laki bertugas sebagai dokter kembali di ruang pasien. Setelah diperiksa dari hasil keseluruhan, Erlan sangat turut prihatin dengan kondisi pasien yang baru saja ia periksa.

“Nona Qiara mengalami tunawicara sebab hilangnya suara terjadi karena kelumpuhan pita suara yang artinya tidak mampunyai pita suara untuk bergerak. Kondisi ini terjadi karena kerusakan saraf yang menyuplai laring, yakni tempat pita suara berada.” Penjelasan pria jas putih membuat keluarga pasien terdiam karena terkejut hebat.

“Jadi, Kak Ara bisu?” beo anak peremppuan yang sedikit paham dengan penjelasan Erlan.

Dokter Erlan mengangguk, bocah gembul itu semakin menjadi mengeluarkan isakannya. Aza langsung memeluk putri sulungnya erat dan mengelus punggung mungil sang putri.

“Kalau begitu saya permisi, Pak, Bu,” pamit dokter muda tengah paham dengan suasana ruang UGD.

Tangis bocah kembar seiras itu kencang, hanya membedakan anak bungsu menggeleng, sedangkan anak bungsu meracau tidak menerima kenyataan kakaknya.

“Hiks, Kak Ara nggak mungkin. Kakak, ayo, bicara! Kak Ara pasti bisa bicara. Kak, ayo, bicara jangan diam!” Nada bicaranya seperti menyuruh, Qiana benar-benar tidak menyangka karena hal ini terjadi.

Qiara diam, tangisnya mulai sesenggukan, ia berusaha tidak menangis lama. Benar kata Erlan tadi, seluruh tubuhnya terlihat normal, tetapi rasanya untuk berbicara dan melontarkan sepatah kata pun, dirinya sudah tidak mampu.

Tak Lagi Salah (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang