Harris menaruh bayinya ke dalam troli, kemudian mendorongnya mengikuti Kirana yang berjalan di depan. Wanita itu melihat ke list belanja di dalam note ponselnya.
Satu persatu barang belanjaan mulai memenuhi troli.
Sansan tampak ceria dan tidak rewel. Bayi kecil itu fokus memperhatikan sekelilingnya yang tampak warna-warni.
"Itu apaan Mi kotak merah-merah?" tanya Harris penasaran setelah Kirana memasukkan barang asing ke troli mereka.
"Mulai sekarang kita pakai garam diet, Pi. Biar gak hipertensi."
Harris tergelak, "Kayak udah tua aja hipertensi."
"Emang udah tua. Inget, Pi. Kita udah 30. Bentar lagi 40."
"Ck. Gak usah diingetin."
Tiba-tiba seorang ibu-ibu menghampiri mereka bertiga.
Dia bersama anak laki-laki yang tingginya hampir menyamainya.
"Harris ya?"
Harris tampak kebingungan, tidak merasa mengenal orang yang menyapanya itu.
"Yera. SMA 3." kata wanita itu lagi.
"Oh! Halo."
Yera beralih ke Kirana masih dengan senyumnya, "Ini Kirana kan?"
"Iya, hehe."
Mereka lalu bersalaman canggung.
"Mom, can i have some ice cream?" tanya anak laki-laki di samping Yera.
"No."
Anak laki-laki itu cemberut.
Yera kembali beralih ke Harris dan Kirana, "Ini anakku. Sean."
"Wah, udah gede banget."
"Iya, udah SD kelas 6."
"Ohhh, ya ampun, udah mau SMP."
Mereka kembali tersenyum canggung.
"Yaudah kalau gitu saya duluan. Ini papanya udah nungguin di luar." kata Yera sambil merangkul putranya.
"Iya, hehe."
"Bye bye adik kecil." kata Yera ke Sansan yang duduk anteng di troli.
"Bye bye, Tante." kata Kirana seolah menyuarakan Sansan.
Yera dan putranya kemudian pergi.
"Itu mantan kamu dulu kan, Pi? Anaknya udah gede banget."
"Bukan mantan, deket doang."
*****
Harris rebahan nyaman di tempat tidur, kemudian Kirana masuk kamar dan menyingkap selimut Harris.
Wanita itu naik ke tempat tidur dan melakukan aktivitas yang membuat Harris senang di bawah sana.
Harris senyum dan sesekali meringis, menikmati apa yang wanita itu kerjakan. Tangan istrinya itu entah mengapa sangat terampil melakukan ini.
Di awal pernikahan, kadang ia membatin, apakah Kirana sering.
Atau ia hanya belajar dari nonton video saja. Pernah Harris bertanya, Kirana bilang, belajar otodidak.
"Udah enak, Pi?"
"Kurang, Mi. Lagi."
Kirana menuruti permintaan suaminya.
"Aduuuh.." erang Harris.
"Sakit?"
"Iya, Mi." jawab Harris. "Tapi lama-lama enak."
Kirana tersenyum, "Ini titik mata, Pi. Berarti mata kamu lelah."
"Iya, kan ngeliat komputer mulu."
"Ntar beli vitamin mata deh. Kemaren Gista ngasih tau aku vitamin yang bagus. Dia udah ngonsumsi terus matanya enakan. Gak gampang capek gitu, Pi."
Wanita itu lanjut menekan-nekan telapak kaki Harris dengan lebih kencang, pada titik refleksi di bawah jari yang merupakan titik mata.
"Oiya, Windy resign kenapa emang, Mi?"
"Biasalah, load kerjanya terlalu banyak. Tapi kantornya belom nambah-nambah orang lagi. Gak sanggup dia."
"Di kantorku kebanyakan bukanya dev. Eh, tapi kemaren ada interview admin sih. Ntar coba kutanyain deh."
"Dia udah buka web Nihao, katanya emang ada yang admin itu. Coba bilangin ke HR-nya, Pi."
"Iya, tapi aku gak janjiin dia lolos loh ya. Tergantung dia sendiri."
"Iya-iya."
Setelah itu, Kirana beralih ke kaki satunya. Memberikan pijatan seperti kaki sebelumnya.
"Lebih kenceng, Mi."
"Iya."
Sansan di sebelah memperhatikan maminya, sesekali ia menempelkan tangannya di kaki papinya, seolah ingin membantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sansan Family
ChickLitKeluarga yang.. begitulah. Warning: Penulisan belum dirapiin