21. Duapuluh satu

111 3 0
                                    

Bonus up!

Jangan lupa bersholawat untuk hari ini, ya Readers💙

Happy Reading all 👋


***

Gavin menatap Arif yang baru saja memeriksanya. Seperti biasa, sebelum ia melahap makanannya dokter atau perawat akan memeriksa kadar gula darahnya. Arif juga mengganti kantung keteter yang sudah full, mengatur kecepatan cairan infus dan lain sebagainya.

Gavin berbohong jika ia tidak mengakui kalau Arif berparas tampan.

"Kau terus menatapku, ada sesuatu yang ingin kau tanyakan, hemm?" Tanya Arif setelah menyelesaikan pemeriksaannya. Sambil menaik turunkan kedua alisnya. Ia masih kebingungan bagaimana caranya mengambil hati anak kecil itu.

Ia memperhatikan selama ini Reza dengan anak kecil ini sangat akrab, tidak heran karena sudah satu tahun menjadi pasiennya. Meski beneran kali Gavin sudah pulang ke rumah, namun tetap melakukan pemeriksaan rutin.

"Kapan Dokter Reza kembali bekerja?"tanyanya to the point. Arif tak langsung menjawab, ia merapikan peralatannya terlebih dulu, membuat Gavin harus menunggu jawabannya.

"Dokter Reza akan masuk besok, hari ini Dokter Reza harus memulihkan tubuhnya 100%. Hari ini kamu tidak bisa lagi menjenguknya." Arif menggantung kalimatnya, berharap membuat anak kecil itu penasaran dan bertanya.

Satu detik sampai 5 detik, Gavin hanya diam, tidak bertanya. Arif menggeleng tak percaya, ia tidak pernah mendapatkan anak kecil sekaku itu untuk bertanya, biasanya anak kecil dengan cepat merespon untuk bertanya.

Hal ini mungkin dipengaruhi oleh penyakit DMT1nya yang membuat perilaku terganggu. Tapi, mungkin juga itu sudah menjadi sifat bawaan Gavin.

"Astaga, kau tidak mau bertanya kenapa?" Arif menatap tak percaya, sementara Gavin tampak diam sejenak.

"Untuk apa aku bertanya, jika kau tidak mau memberitahu jawabannya?"

"Eh?"Arif mendelik mendengar jawaban Gavin yang terdengar begitu enteng.

"Kenapa kau menyimpulkan seperti itu? Aku menunggu kau bertanya baru ku jawab." Sebisa mungkin Arif mencoba menjawab.

"Kalau begitu tidak usah. Jika Dokter orang baik, pasti akan memberitahukan ku walau aku tidak bertanya." Gavin mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Sudah 2 hari Reza tidak datang menjenguknya. Ia rindu, dokter dingin itu. Bahkan, mainan mobilnya selalu ia pegang.

Sementara Arif semakin dibuat melongo, perkataan Gavin barusan seolah-olah mengatakan dirinya tidak baik? Oh tidak, Arif dibuat makin tidak percaya dengan anak ini.

"Tentu aku orang baik."

"Dokter Reza pernah bilang, orang baik ga akan pernah ngakui dirinya sebagai orang baik." Gavin bergumam, meski begitu Arif masih mendengar, dan seketika bungkam.

"Ya ya ya, kau sangat cerdas." Arif menghembuskan nafasnya mengakui.

"Ya, aku memang cerdas."

Arif lagi-lagi mendelik geli, selain cerewet Gavin sangat percaya diri. "Orang cerdas tidak akan pernah mengakui dirinya cerdas."

Kini giliran Gavin menatap Arif, sementara yang ditatap berusaha menahan senyumnya, Arif merasa lucu dengan ekspresi datar yang ditampilkan Gavin.

"Itu tidak mutlak, terkadang kita perlu mengakui kecerdasan yang kita punya, agar orang-orang yang berusaha membodohi orang lain, ada sadar kalau dia juga bodoh, biar bisa sadar diri jadi orang."

Pak Dokter (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang