Part 7

63 10 1
                                    

Reese's POV

Hari dimana aku mengetahui hal itu, tatapanku secara mendadak mulai berubah pada Doyoung. Penilaiku seketika ikut berubah padanya, pada semuanya, pada dunia. Mungkin apa yang sudah aku lakukan di masa lalu tidak baik, namun rasanya tidak adil jika aku harus kembali menelan pil pahit lagi setelah semua yang sudah terjadi.

Sunghoon...

Jungwon...

Giselle...

dan, Papa...

Apakah ini karma yang harus aku terima karena sudah membunuh mereka? Ya, sepertinya benar ini karma.
Sejujurnya, aku tidak ingin membunuh mereka semua jika seandainya mereka tidak menyakitiku. Sunghoon yang tega menjadikan ku sebagai jaminan atas hutangnya, Jungwon yang selalu merendahkan hidupku, lalu aku membunuh Giselle hanya karena rasa cemburu ku terhadap Jihoon. Kemudian Papa... aku bahkan selalu merasa kosong setiap mengingat kejadian waktu dimana aku menghabisi nyawanya.

.
.
.

Saat bangun tidur pada keesokan harinya aku berusaha untuk bersikap seperti biasa pada Doyoung. Aku bangkit dari ranjang tapi atensi ku teralih ketika melihat betapa lelapnya Doyoung kala tidur. Rasanya sisi jahat dari diriku ingin sekali membekap wajahnya dengan bantal hingga dia kehabisan nafas, namun di sisi yang lain aku tidak tega karena bagaimana pun juga aku sangat menyayangi seorang Kim Doyoung.

.
.

"Sarapan dulu, Doyoung." Pintaku ketika melihat Doyoung berjalan melewati meja makan. Seperti disengaja tapi entahlah mungkin perasaanku saja.

Langkah Doyoung berhenti kemudian berbalik badan lalu menatapku. "Bukannya kamu masih marah?"

"Sarapan dulu sebelum ke kantor." Balasku tanpa membalas tatapannya.

Doyoung lalu duduk pada kursi di depanku. Sarapan pagi ini terasa hening, hanya ada suara dentingan sendok dan piring yang terdengar. Karena aku merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini, aku memutuskan untuk mengajaknya berbicara mengenai apa saja kecuali tentang perselingkuhannya.

"Malam ini Jaehyuk mau ajak kita ketemuan sekalian dinner." Ucapku.

"Kenapa mendadak?" -Doyoung.

Aku balik bertanya tanpa melihat ke arahnya. "Kamu ada acara? Mau kemana?"

"A-aku juga udah ada janji sama rekan kerja dari Busan. Aku gak bisa batalin gitu aja."

Aku mengangguk lalu mengelap bibir dengan tissue. "Oke. Aku bisa pergi sendiri."

"Soal pengakuan aku semalam..."

"Gak perlu dibahas." Aku menyela kalimatnya.

"Ree, tolong maafin aku. Kamu gak tau gimana sulitnya buat aku ngomong jujur tentang masalah ini ke kamu. Jangan begini, Ree..."

"Trus kamu maunya aku gimana? Apa aku perlu tepuk tangan sebagai apresiasi karena kamu udah jujur tentang perselingkuhan kamu!? Kamu udah merasa keren karena udah jujur?" -Reese.

"Bukan gitu maksud aku, Ree. Aku mau jelasin kalau ini semua bukan keinginan aku. Please believe me, this is all because of my parents."

PRANGGG!!!


Aku membanting gelas yang semula ada di tanganku. Dia masih bersikeras jika semua ini karena Orang tuanya. Masa bodoh tentang siapa yang terlibat dalam perselingkuhannya. Di mataku, Doyoung tetap salah.

"Gak peduli siapa yang salah sekarang. Di mata aku, kamu tetap bersalah, Doy! Aku ngerti kalau aku gak bisa ngasih kamu anak. Tapi, bukannya kamu sendiri yang bilang sejak awal kalau pernikahan itu gak selalu tentang mempunyai anak. Trus kenapa orang tua kamu sejak awal ngasih restu ke kita kalau ujung-ujungnya sekarang mereka mau punya cucu? Mereka dari awal juga tau kalau aku gak bisa ngasih kamu keturunan!" Emosi yang sejak semalam terpendam akhirnya bisa tercurahkan pagi ini.
Fikiranku semalam terlalu kacau hingga tidak bisa meluapkan seluruh amarah.

THEM IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang