Joshua
Aku tersenyum melihat Daniel tidur dengan lelap.
Aku memandangi adikku yang sudah tertidur itu dengan lamat-lamat. Ini kali terakhir aku bisa melihatnya. Aku menghela nafas, beranjak ke luar kamarnya dan menuju kamarku sendiri. Handphone-ku yang sedang di-charge itu bergetar menandakan pesan masuk.
| Mama: Hari ini mama nggak pulang.
20.49Aku mengiyakan dalam hati. Kubalas mau pun tidak toh sama saja. Aku memandangi chat tersebut, mataku beralih ke foto profil mama. Disitu ia berfoto menggunakan jas dokter dan seorang anak, pasiennya. Aku mendengus, mama bisa dekat dengan anak orang tapi tidak dengan anak sendiri.
Mungkin karena aku memang tidak diharapkan.
Kucabut handphone itu, memasukkannya ke kantung celana. Aku mengecek jam, sudah pukul sepuluh lewat dua puluh menit. Sebentar lagi.
Aku memandang sekeliling, memastikan kamarku tidak berantakan. Kupandangi meja belajarku, tempat Mama biasa memarahiku karena nilaku yang kurang meskipun aku tidak pernah mendapat kurang dari delapan puluh. Secarik kertas menarik perhatianku, aku mengambil kertas tersebut dan pulpen bertinta merah yang ada lalu mulai menulis beralaskan meja. Alamat dan nomor telepon Mama kutulis di kertas itu serta satu pesan singkat yang berbunyi; 'maaf ma, aku udah nggak kuat.'
Kertas itu kutaruh dalam kantung celanaku seandainya nanti hoodie yang kukenakan terkena terlalu banyak darah.
Aku lalu pergi dari kamarku ke arah dapur. Aku membuka kulkas, mengeluarkan tiga botol soju milik mama. Sejujurnya aku tidak begitu menyukai soju, tapi ini yang di stok oleh mama, ia menyukainya.
Aku memasukkan dua botol itu ke dalam tas ranselku, tak lupa kuberi kain di sekelilingnya agar tidak berisik. Aku lalu membuka pintu apartemenku, melangkahkan kaki ke tempat yang sebentar lagi akan jadi tempat peristirahatanku. Aku akan melakukannya di sebuah gedung bekas kebakaran dari tiga tahun lalu. Suasananya relatif sepi, aku sering melihatnya karena gedung itu dapat terlihat dari jendela kamarku.
Aku membawa kakiku berjalan ke lift apartemen. Kupencet lantai yang kuinginkan lalu menunggu. Aku lalu berjalan ke luar apartemen melewati dinginnya kota. Celana pendekku yang hanya sepaha agaknya pilihan salah, untungnya aku memakai sebuah hoodie abu-abu favoritku. Poni rambutku beterbangan terkena angin dan kulit putihku agak memerah karena kedinginan.
Meski dingin, aku suka suasana damai ini. Aku memperhatikan sekitar, ada beberapa orang berjalan dengan kekasihnya ataupun berjalan sendiri. Aku terus berjalan sampai sebuah supermarket. Di sinilah aku harus mulai memakai google maps.
Aku berpikir sebentar, sejujurnya aku mulai lapar lagi. Kuputuskan untuk memasuki supermarket itu lalu membeli satu buah es krim dan satu roti sobek. Aku mengaca sebentar demi memastikan wajahku terlihat oke–walau aku memakai masker.
Selesai dari supermarket aku membuka google maps lalu mengetik titik di dekat gedung tujuanku. Hanya enam menit jalan kaki. Setelah memastikan benar, aku berjalan lagi. Aku memutar lagu dari aplikasi lalu memasukkan handphone itu ke saku hoodie-ku. Aku mengeluarkan earphone, kusumpal telingaku dengan itu.
Es krim rasa white almond kugenggam dalam tangan, menikmati manisnya untuk menenangkan pikiran. Aku berjalan sambil menikmati es krim serta lagu.
Andai saja suatu saat nanti aku bisa berjalan-jalan seperti ini lagi namun dengan tujuan berbeda.
Aku menghapus pikiran itu, memfokuskan pandangan ke jalan. Gedung itu semakin dekat sampai akhirnya aku sampai di depan tangga untuk naik ke atap gedung. Berdasarkan pengamatanku sepulang sekolah, akses ke gedung ini mudah. Aku pernah mengetesnya sendiri, tinggal naik beberapa tangga. Sebelum itu aku membuang bungkus es krim di tong sampah di luar gedung.
KAMU SEDANG MEMBACA
I've Walked Through a Day;
Genç KurguHari ini pun, aku masih hidup. TW & CW: - Self harm - Suicidal thoughts (bunuh diri) - LGBT - Mpreg Read at your own risk.