Bab 37 ; Sebuah Pilihan

684 84 1
                                    

"Sial sial sial sial!" Katanya berteriak kencang.
Seorang laki-laki remaja dengan amarahnya yang membara menghamburkan seisi kamarnya, melampiaskan seluruh kekesalannya. Rambutnya yang berwarna pucat ini kini acak-acakkan, kemejanya sedikit robek terkena serpihan guci yang baru saja ia pecahkan.
"Kenapa bisa gagal?? Tidak! 'Ia' pasti tidak akan memaafkanku! Mana mungkin? Aku bodoh! Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Ia mengguncang-guncangkan kepalanya sendiri seperti orang gila.
"Aku takut, bagaimana jika aku tidak bisa mewarisi gelar karena ini? Katanya 'ia' akan membantuku untuk mendapatkan gelar jika aku berhasil, tapi aku gagal!" Kini tubuhnya gemetar.
"Aku harus mewarisi gelar! Aku tidak akan membiarkan 'anak sialan' itu mendapatkan apa yang seharusnya kumiliki! Aku harus, aku harus, aku harus!"

Seekor burung merpati mengetuk jendela, di paruhnya terdapat surat yang ia bawa.
Laki-laki itu menoleh, dengan cepat ia membuka jendela kamarnya, merampas surat dari paruh merpati itu dengan kasar. Satu persatu laci di dekatnya dibuka dengan tergesa-gesa, mencari pisau untuk membuka surat itu.
"Ini dia!" Dengan cepat surat itu dibuka. Tubuhnya gemetaran, ia memberanikan diri membaca isi surat tersebut. Bola matanya terus bergerak ke kanan lalu kembali ke kiri, sekilas tiap kata demi kata tidak ingin dilewatinya.

"Oh astaga! 'Ia' tidak marah padaku!" Katanya bergetar dengan senang.
"Bagaimana bisa ada seseorang yang rendah hati sepertinya! Aku sungguh beruntung!" Laki-laki itu mengambil lonceng di atas meja, lalu membunyikannya dengan kencang.

Pintu diketuk, seorang pelayan memasuki ruangan.
"Ada yang bisa saya bantu tuan muda?" Tanyanya.
"Bawakan aku kertas dan pena. Berikan tinta hitam pekat, dan kertas yang berwarna sedikit kecoklatan."
"Baik tuan muda."
"Oh ya, satu lagi."
"Ya?"
"Siapkan pakaianku dan kereta kuda. Sekarang juga!"
"Baik tuan muda." Pelayan itu menunduk, dengan cepat pergi meninggalkan si tuan muda itu sendiri.
.
.
.

Sesampainya di kastel Bethovel, Merillia kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa, sama halnya juga dengan ayah dan adiknya. Merillia menatap langit yang cerah dari koridor sambil tersenyum. Setelah pembelajarannya dengan Marchioness Yubira telah selesai, ia hendak pergi ke tempat latihan kesatria.
Aku ingin tahu bagaimana mereka semua berlatih! Mereka pasti bersemangat!

"Tidak mau! Aku tidak mau!" Terdengar teriakan yang tidak jauh dari sana. Merillia menoleh, mendekati asal suara. Di depan pintu yang terletak menghubungkan asrama pelayan dengan halaman belakang, dua orang pelayan dewasa, mencoba menahan Joey yang terlihat memberontak. Sementara itu, anak-anak lainnya hanya menatap peristiwa itu dengan bingung dan berbisik satu sama lain.

"Apa yang terjadi?" Merillia berlari mendekat.
"Oh lady!" Kata seorang pelayan dewasa.
"Merillia! Tolong aku! Mereka memaksaku untuk mencuci taplak meja!" Lirih Joey.
"Apa? Beraninya kau berbicara tidak sopan di depan lady? Kamu seharusnya berterima kasih!" Pelayan senior itu berteriak.

"Diam. Jangan teruskan pertengkaran ini!" Merillia angkat bicara, semua orang terdiam.
"Baik. Sekarang, Joey! Ceritakan apa yang terjadi!"
"Oh, begini. Tadi aku diam-diam menonton teman-temanku di tempat latihan kesatria. Lalu, pelayan ini tiba-tiba mendatangiku dan menyuruhku untuk mencuci taplak meja. Aku memintanya untuk menunggu sebentar lagi, tapi ia malah menyeretku kemari." Joey merilirik pelayan itu.
"Apa itu benar?" Tanya Merillia.
"Maafkan saya lady. Sebelumnya kami para pelayan kekurangan orang untuk mencuci taplak meja, jadi saya meminta anak ini untuk membantu, tetapi ia malah menunda pekerjaan sehingga saya harus membawanya kemari." Pelayan itu menunduk sedikit ketakutan.

"Hmm? Joey, kau tidak boleh menunda pekerjaan."
"Aku tahu kok." Katanya.
"Lalu? Mengapa kau seperti ini?"
"Keren."
"Apa?"
"Aku ingin menonton latihan kesatria! Itu terlihat keren!" Katanya dengan mata berbinar. Merillia menatapnya, menangkap apa yang telah terjadi.
Begitu. Di kehidupan sebelumnya, Joey juga merupakan kesatria kerajaan. Aku semakin yakin bahwa ia pasti menjadi kesatria karena ia menyukainya.

"Hei! Beraninya kau berbicara begitu!" Pelayan satunya marah mendengar pernyataan dari Joey.
"Diam! Aku tak memintamu berbicara!" Merillia menyela. Pelayan itu terdiam, memilih untuk membungkam mulutnya kembali.
"Fiuh. Kalau begitu akan ku beri kau pilihan." Merillia tersenyum.
"Mana yang kau pilih, menjadi pelayan di kediaman ini? Atau menjadi kesatria pelindung Bethovel?"
Suasana mulai sedikit melonggar, dengan senyum yang masi terpampang di wajahnya, Merillia membuat Joey yang masih mencerna perkataan tersebut, kini diliputi kegembiraan.
"Kesatria!" Jawabnya dengan spontan.

"Baiklah. Kalau begitu aku akan mengabari sir Gree. Sekarang lanjutkan pekerjaan kalian." Katanya berbalik.
"Terima kasih, Merillia." Lambai Joey.
"Tentu saja. Tapi sebelum itu, tolong selesaikan pekerjaanmu dengan baik!"
"Baiklah!" Joey menggulung lengan bajunya, ia terlihat bersemangat.
.
.
.

Tok! Tok!
"Silahkan masuk." Merillia dengan cepat menutup buku catatannya. Pelayan itu memasuki kamarnya, membawakan teh.
"Oh ya lady. Anda mendapatkan surat." Katanya.
"Siapa pengirimnya?"
Apa itu Diva? Tapi bukankah seharusnya ia sibuk? Ia pasti harus pergi ke istana untuk bertemu kaisar utara terlebih dahulu.

"Dari tuan muda Clairevon."

Once Again, I Will Protect My LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang