Bab 48 ; Itu Buruk

297 27 1
                                    

Semua mata memandang Merillia, menunggu jawabannya.
"...Saya akan memutuskan hubungan pertunangan ini dengannya." Kata Merillia.
Baroness menghela napas, meletakkan cangkirnya, "Fyuh... lady, jika sedari awal dirimu memang berencana menjadi suksesor, seharusnya lady menolak semua lamaran yang datang. Jangan mempermainkan perasaan seseorang seperti ini."
"Saya..."
"Kau tahu, laki-laki bisa saja menyimpan dendam kepada perempuan yang mencampakkannya. Apalagi ini... seorang Grand Duke, dari negara lain pula. Cobalah berbincang dengannya, jangan sampai membuatnya marah. Rasa sakit dicampakkan oleh orang yang dicintai itu.. sangat menyakitkan."
Merillia menunduk, "baik Baroness. Saya akan berusaha memikirkan solusi ini."
Baroness benar. Sepertinya aku tidak memikirkan konsekuensi saat aku memutuskan hubungan dengan Diva. Ia bisa saja langsung mengirim pasukan untuk menyerbu kami, atau menyatakan perang seperti kehidupan sebelumnya. Tapi... cinta? Kurasa itu tidak mungkin.

"Fyuh... sepertinya lady terlihat banyak pikiran. Mari kita selesaikan saja." Marquis beranjak, diikuti dengan Duke, Baroness Estrelle, Viscount Tredia, dan Count Alma. Satu persatu meninggalkan ruangan setelah saling memberi salam. Merillia tetap berdiri di tempat sembari mengucapkan terima kasih kepada para tetua satu-persatu.
"Terima kasih atas kedatangan anda, Viscount Tredia." Merillia menunduk.
"Kau sudah besar. Jangan membohongi dirimu sendiri." Katanya lembut.
"Terima kasih atas nasehat anda."
Viscount pergi ke arah pintu, menyisakan Duke dan Merillia di ruangan itu.

"Merry..." Duke menghampiri putrinya, Merillia menoleh.
"Maafkan aku ayah, pada akhirnya aku tidak memberikan kesan yang baik pada mereka." Ia cemberut.
Duke menggeleng, "Sekarang buktikanlah pada mereka kalau dirimu layak. Lalu aku juga mau bertanya satu lagi tentang Grand Duke."
Merillia terkejut sedikit, melihat pernyataan Baroness Estrelle tadi, sudah jelas poin itu yang paling krusial diantara semuanya. "Silahkan, ayah." Katanya.

Sebuah suara larian menggema keras di koridor, derap kaki itu berhenti di depan pintu, lalu disusul dengan gebrakan pintu yang dibuka dengan tergesa-gesa. "Aku sampai!" Terlihat Lenorille, masih mengenakan pakaian kesatrianya dan terengah-engah di ambang pintu. Merillia dan ayahnya menatap sang paman yang datang terlambat.
"Lho paman? Kukira paman tidak datang." Komentar Merillia.
Lenor berdiri tegak, melihat sekeliling.
"Mana yang lain? Belum datang?" Ia terlihat bersyukur.
"Bukan, mereka baru saja pulang." Jawab duke.

Lenor terdiam, aura kekesalan menyeruak dalam dirinya. Ia memasang wajah kaku, lalu berbalik. "Baiklah, aku pergi sekarang."
"Hahahahaha" Duke tertawa terpingkal-pingkal. Merillia menatap ayahnya, lalu kembali menatap pamannya yang masih berdiri. "Ppft.."
"Hei! Jangan tertawa! Kuberi tahu ya, aku sudah memacu kuda dengan cepat! Dan tuan Duke yang terhormat, tolong jangan ceritakan hal ini ke yang yang mulia ratu saat kalian bertemu!" Wajah Lenor merah karena malu, dengan cepat meninggalkan ruangan.
"Tunggu... paman... aku ingin bertanya sesuatu..." Merillia menghentikan tawanya lalu berlari mengejar Lenor.

Lenor menoleh, masih memasang wajahnya yang cemberut, "Apa?"
"Aku... aku akan ikut pergi ke Lembah Tribos melawan bandit." Katanya memegang jubah sang paman dari belakang. Lenor mencerna perkataan itu, ia berbalik, mencengkram pundak Merillia.
"Kau gila!? Apa yang mau kau lakukan disana!? Jangan pernah coba-coba kesana!" Tatapnya tajam.
"Tapi–"
"Tidak tidak! Pokoknya tidak!" Tegasnya sekali lagi.
"Itu adalah misi Merillia Lenor." Duke mengikuti dari belakang, berjalan dengan santai.
Lenor menoleh, melepas Merillia dari cengkramannya.

"Misi?"
Melihat wajah pamannya yang kebingungan, Merillia mencoba menjelaskan misi yang diberikan Marquis Corde padanya. Lenor mendengarkan, sesekali mengumpat karena sedikit marah. Setelah penjelasan singkat itu selesai, Lenor mau tidak mau mengiyakan tawaran tadi.
"Pokoknya! Aku akan mengirim surat sebelum kami akan melakukan investigasi lagi. Jangan datang sebelum aku mengirim surat!" Katanya.
Merillia mengangguk, "Tentu saja paman."
"Sudah? Kalau begitu aku akan pergi ke istana." Lenor melambaikan tangan, meninggalkan ayah dan anak itu.

Once Again, I Will Protect My LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang