BAB 11 : POV ADI (MENIKAH)

9 2 0
                                    

# Day11
# 15HMCI
# Pena_Baswara_Makassar

Nama  :  Salya Ningrum
Judul Buku : Rahasia Sepupu Suamiku

BAB 11 : POV ADI ( MENIKAH )

Aku semakin yakin jika sosok Lia adalah cinta sejati yang kucari selama ini. Aku menemukan jawabannya dalam mimpi.  Saat itu aku tertidur sejenak setelah sholat malam, dalam mimpi aku bertemu Lia yang tersenyum manis padaku.

Aku harus menemukan cara yang tepat untuk bisa mendapatkan hatinya. Hingga terpikir olehku untuk membicarakan hal ini dengan bapakku.

Aku sangat mengagumi sosok bapak. Meskipun jarang berbicara, tetapi sangat enak untuk diajak tukar pikiran. Pendapatnya selalu logis dan mudah dikerjakan.

Sore itu setelah pulang kuliah, aku menelepon beliau, awalnya aku bertanya tentang kabar bapak dan ibu. Baru setelah itu aku menceritakan tentang keinginanku memperistri Lia.

Bapak banyak memberi masukan padaku. Beliau setuju dengan rencanaku. Namun menasihati aku agar mempunyai pekerjaan tetap dahulu, supaya bisa menafkahi anak istriku kelak.

Beliau juga menceritakan tentang bagaimana caranya dulu mendapatkan hati ibuku. Menurut bapak, permasalahanku sama seperti beliau.

Dulu eyang kakung (bapaknya ibu) terkenal sangat galak.  Namun bapak bisa mendekati beliau melalui hobinya yang suka bermain badminton. Bapak bahkan belajar khusus pada temannya, supaya bisa menandingi permainan badminton eyang. Hingga akhirnya mendapatkan restu untuk memperistri ibu.

Saat itu aku coba mengamati kebiasaan calon ayah mertuaku. Kalau masalah  olahraga favoritnya, kupikir pasti biasa dilakukan di kantornya. Sering kulihat anggota TNI yang melakukan olahraga bersama setelah apel pagi.

Hingga suatu saat aku baru sadar, jika ayah Lia termasuk jamaah tetap sholat di masjid dekat rumah kosanku. Padahal selama ini aku juga selalu sholat berjamaah di sana.

Sejak saat itu aku berusaha menyapa dan memperkenalkan diri pada beliau. Meskipun aku sering diminta kultum setelah sholat fardhu, ada perasaan berbeda saat aku tahu beliau ikut mendengarkan kultumku.

Syukurnya beliau satu frekuensi denganku. Kami sering berdiskusi tentang sesuatu masalah. Aku banyak mengambil pelajaran dari perjalanan kisah hidup beliau.

Hingga saat aku mengajukan proposal kegiatan sunatan massal, beliau ikut memberi donasi. Hanya saja beliau tidak ingin namanya dicantumkan. Beliau hanya ingin dituliskan namanya sebagai hamba Allah.

Hingga peristiwa kami yang terpaksa berboncengan pulang karena kemalaman bertemu donatur kegiatan, sebenarnya aku sudah memberitahukannya ke ayah Lia.

Namun saat dia ingin menolak ikut denganku, hatiku sempat gelisah. Aku justru khawatir ayahnya nanti marah. Syukurnya Dila, bisa meyakinkannya.

Jangan tanya bagaimana degup jantungku saat tiba-tiba dia memeluk pinggangku, ketika sepeda motor kami menabrak lubang.

Entah mengapa peristiwa itu membuatku tidak bisa tertidur malam harinya. Sampai akhirnya aku bertemu dengan ayah Lia di masjid setelah selesai solat subuh. Dengan tutur kata yang sopan, aku menyampaikan niatku melamar Lia.

Aku menjelaskan jika sebenarnya masa kuliahku sudah selesai, dan tinggal menunggu wisuda. Aku juga tinggal menunggu jadwal wawancara di sebuah perusahaan pemasangan panel listrik di kotaku.

Ayah Lia menerima lamaranku. Beliau berkata merasa yakin jika aku laki-laki yang bertanggung jawab dan mampu membimbing Lia menjadi anak sekaligus istri yang solehah.

Namun beliau menyerahkan keputusan lamaranku ke tangan Lia. Beliau juga menyuruhku menyampaikannya ke Lia. Hingga di malam saat acara kunjungan ke desa terpencil itu, aku menyampaikan lamaranku.

Aku dapat melihat rasa kagetnya saat dia mendengar lamaranku. Tapi aku memang harus menyampaikannya saat itu, sebelum pulang ke kampung untuk meminta restu orang tuaku.

Alhamdulillah setelah wisuda, aku langsung diterima bekerja di perusahaan panel listrik itu. Aku dan keluargaku mulai sibuk menyiapkan semua perlengkapan untuk acara pernikahanku.

Meskipun terkesan cepat, alhamdulilah semua proses menuju pernikahan kami berjalan lancar. Pesta pernikahan pun direncanakan berlangsung saat libur panjang kuliah.

Saat itu kami ingin menerapkan konsep pernikahan islami yang sederhana, dimana tempat para tamu laki-laki dan perempuan dipisah. Alhamdulillah ayah Lia juga menyetujuinya. Hingga akhirnya teman-teman masjid kampus menjadi panitia pernikahan kami.

Alhamdulillah aku dapat mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Setelah itu Lia baru hadir duduk di sampingku. Aku memberi isyarat padanya, jika aku ingin mendoakan kebaikan untuk kami berdua. Aku meletakkan tanganku di atas ubun-ubun kepalanya dan mulai berdoa. Lia ikut mengucapkan aamiin.

Resepsi pernikahan kami berlangsung cukup meriah meskipun tidak memperdengarkan suara musik, dan selesai sekitar pukul sepuluh malam.

Saat itu setelah berganti pakaian dan membantu menyusun beberapa kursi tamu, aku memasuki kamar pengantin kami.

Aku melihat Lia baru saja berganti pakaian. Sekarang dia memakai pakaian tidur berwarna pink dan masih memakai jilbab. Dia terlihat cantik sekali. Dengan malu-malu dia duduk di kursi meja riasnya.

Aku menuju kamar mandi dan ikut mengganti pakaianku dengan pakaian tidur. Lalu aku duduk mendekati dia yang sekarang telah duduk di samping tempat tidur.

"Dek, kamu mau tidur pakai jilbab?" tanyaku padanya.

"Eh, ya enggaklah Mas. Tapi aku malu," jawabnya sambil menunduk.

"Kok malu sih, Dek. Mas sekarang suamimu, pasangan halalmu. Mas bantu buka, ya," ujarku sambil melepaskan jilbabnya. Rambutnya yang hitam legam terurai sebahu.

"MasyaAllah, kamu cantik sekali," tatapku sambil mengangkat wajahnya yang masih menunduk menghadap ke wajahku.

Aku mengecup keningnya, perlahan beralih ke dua pipinya, namun ketika aku hendak mengecup bibirnya. Dia cepat membalikkan tubuhnya, dan cepat berbaring sambil menarik selimut. Dia lalu berkata, "Maaf Mas, aku capek, mau tidur sekarang."

Aku sedikit kaget melihat reaksinya. Sempat terpikir mungkin aku terlalu buru-buru. Mungkin dia belum siap, dan sepertinya aku harus bersabar. Aku lalu menjawab, "Oh, iya, Dek. Mas juga lelah seharian tadi menyalami tamu."

Aku lalu berbaring sambil membaca doa di sampingnya. Saat setengah sadar aku memeluk tubuhnya. Dia tidak menolaknya. Dapat kurasakan jantungnya yang berdegup kencang. Hingga akhirnya aku terlelap tidur dan merasa nyaman tidur sambil memeluknya.

Demikianlah hari-hari diawal pernikahan kami, aku harus banyak bersabar. Lia merasa sangat ketakutan jika kami ingin melakukan malam pertama kami.

Hal ini yang diam-diam aku ceritakan pada ibu, beberapa hari setelah kami pulang kampung. Ibu berhasil menasihati tanpa menyinggung perasaan Lia.

Hingga akhirnya setelah resepsi pernikahan di rumahku. Kami bisa melakukan "siang pertama" kami.

Terus terang aku merasa khawatir saat dia meringis kesakitan setelah kami melakukannya. Hingga aku meminta tolong ibu membuatkan ramuan jamu untuk menghilangkan rasa sakitnya.

Namun jamu itu justru membuatku ketagihan ingin mengulanginya lagi. Syukurnya Lia mulai terbiasa, dan tidak merasa kesakitan lagi.

Aku sangat berharap rumah tangga kami berdua langgeng sampai akhir hayat kami. Aku mau sehidup sesurga bersamanya. Meskipun untuk saat sekarang ini kami masih harus menjalani kehidupan terpisah jarak dan waktu.

Bersambung ...


Rahasia Sepupu Suamiku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang